Satu: Ketuhanan yang Maha Esa
Dua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Tiga: Persatuan Indonesia
Empat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Lima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Marapal kembali kelima sila tersebut membuat hati saya sedih karena melihat bagaimana masyarakat kita bukannya semakin mendekat ke Pancasila, malah terasa semakin meninggalkan asas ini.
Sila pertama menyiratkan bahwa masyarakat Indonesia adalah bangsa yang ber-Tuhan, namun nyatanya banyak yang tidak takut Tuhan, bahkan ada yang menggunakan nama Tuhan dan/atau agamanya secara sembarangan. Tidak sedikit pula masalah pengkotakan masyarakat menurut agama, termasuk saling tuding antar agama -- padahal Pancasila menyatakan Ketuhanan yang Maha Esa.
Sila kedua menyatakan setiap bangsa Indonesia (tidak hanya penegak hukum) harus berlaku adil dan beradab dalam menyikapi sesuatu. Tetapi bagaimana saya tidak sedih saat melihat begitu banyak individu dan institusi (yang terkadang tidak ada urusannya dengan kasus terkait) yang menuding dan menghakimi secara sepihak tanpa mengetahui duduk perkara dengan baik, seakan-akan mereka adalah hakim teradil dan terberadab?
Bukankah kita dahulu belajar asas "Praduga Tak Bersalah" yang berarti pihak manapun akan diduga tak bersalah hingga putusan memutuskan bersalah? Beradabkah jika kita memojokkan pihak tertentu tanpa mengetahui duduk perkara sebenarnya dengan lengkap? Apakah kita lebih suci daripada pihak yang dituding?
Sila ketiga, Persatuan Indonesia merupakan salah satu sila yang membuat saya masih mampu berharap akan kembalinya Indonesia kepada Pancasila. Lingkungan sosial di Indonesia masih tergolong "nyampur" dalam hal keberagaman individu, baik dari sisi agama, sosial, ekonomi, ras, dan budaya. Bahkan tidak jarang saya mendengar warga negara asing yang takjub dengan toleransi keberagaman di Indonesia.
Tetapi kita juga tidak dapat menutup mata bahwa ada pula pihak-pihak yang berusaha memecah-belah persatuan Indonesia dengan senjata bervariasi. Entah dengan senjata perbedaan suku/ras, perbedaan agama, status sosial atau ekonomi, bahkan dengan senjata perbedaan pilihan (politik). Atau yang paling aneh adalah pecahnya persatuan karena perbedaan klub olahraga, yang tidak jarang berakhir tragis.
Sila keempat juga menyesakkan karena dilaksanakan secara parsial lalu dibelokkan menjadi "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Kepentingan Pribadi/Golongan dalam Permusyawaratan/Perwakilan." Jika MPR/DPR diarahkan oleh hikmat/kebijaksanaan, maka mereka akan ingat bahwa apapun pemikiran yang dimiliki harus didasarkan pada kepentingan masyarakat Indonesia secara umum, terlepas dari partai politik atau golongan si wakil rakyat.
Tetapi terdapat pula pelita-pelita kecil dari beberapa pasangan kolega yang ber-Bhinneka Tunggal Ika: berbeda-beda tetapi tetap satu. Salah satu contohnya adalah pasangan gubernur/wakil gubernur DKI Jakarta saat ini yang datang dari partai politik berbeda, tetapi begitu dilantik, mereka berubah dari kader politik menjadi perangkat masyarakat DKI Jakarta yang saling mendukung satu sama lain untuk kepentingan DKI Jakarta. Bahkan saya (dan beberapa orang lainnya) terkadang lupa bahwa mereka datang dari dua golongan berbeda.
Keadilan sosial di sila kelima tentu saja sulit dilihat tanpa sesak dada. Masih banyak saudara kita yang tidak hidup layak. Di beberapa daerah bahkan penduduk sulit memenuhi kebutuhan dasar: sandang, pangan, papan (dan kesehatan). Perputaran ekonomi terpusat hanya di beberapa kota besar, sehingga menyedot banyak penduduk dari kota lain ke pusaran maut tersebut dan akhirnya berakhir buruk karena mereka tidak siap menghadapi kerasnya kota-kota besar. Akhirnya kesenjangan sosial yang menganga tidak hanya terjadi antara penduduk kota besar dan penduduk kota kecil, tetapi juga terjadi antara penduduk kota besar yang hidup (sangat) layak dan penduduk kota besar yang hidup (sangat) tidak layak.
Sumbangan dan aksi sosial yang seharusnya merupakan panggilan hati setiap orang untuk melakukannya setiap saat pun menjadi aksi yang ditunggangi kepentingan tertentu. Tiba-tiba "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" menjadi riil menjelang Pilkada, Pemilu, dan pemilihan-pemilihan lainnya. Saat pemilihan tidak berjalan sesuai hati, "keadilan sosial" tersebut ditagih kembali.
Kemanakah Pancasilaku? Kemanakah Pancasila kita bersama? Tak mampukah kita untuk setidaknya berusaha mendekati asas Pancasila, walaupun tidak dapat melakukannya secara sempurna?
Kemanakah negara kita akan pergi tanpa Pancasila sebagai acuan?