Wulan, demikian gadis kecil itu biasa disapa. Sudah hampir 5 bulan ini ia berada di tempat itu. Membantu budenya berjualan. Memang, upah yang diterimanya tidak seberapa. Namun ia cukup gembira karena dengan uang itu, ia bisa membantu ibunya, mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Sudah hampir setahun ini ibunya tidak lagi bekerja sebagai buruh cuci karena hasil pekerjaannya dinilai kurang bersih oleh para konsumen. Ibunya kini hanya mengurusi ketiga adiknya yang masih kecil-kecil di rumah. Sedangkan ayahnya hanyalah buruh kasar di pelabuhan. Mereka tinggal di rumah kontrakan yang tidak seberapa besar.
Kebutuhan hidup yang semakin banyak dan kehidupan yang makin sulit memaksa Wulan untuk tidak melanjutkan sekolahnya yang baru kelas 1 SMP. Ia tidak ingin menambah beban pikiran ibunya apalagi ketiga adiknya masih butuh perhatian dan dana yang lebih. Karena itu, ia memutuskan untuk menerima tawaran budenya, membantu berjualan di terminal.
Dan pagi pun terus merambat naik. Siang yang panas memaksa orang yang berlalu lalang menghentikan sejenak langkahnya. Beberapa di antara mereka mampir ke tempat Wulan. Sekedar minum, membeli rokok dan menghisapnya, juga untuk melepas lelah, ngobrol, sambil mengunyah penganan yang tersedia.
Wulan baru saja selesai melayani pembeli yang terakhir ketika matanya melihat seorang nenek tua berjalan tertatih-tatih. Nenek itu menuju ke arahnya.
”Nenek mau kemana?” sapa Wulan ramah, sesaat setelah nenek itu duduk di depannya.
Nenek itu diam. Wajahnya tampak kebingungan. Tangannya yang keriput berulangkali meremas-remas saputangan yang dibawanya. ”Ne... ne... nek habis kecopetan, Cu,” ujarnya terbata-bata. ”Semua uang nenek diambil... padahal uang itu akan nenek pergunakan untuk menengok anak nenek yang sedang sakit,” sambungnya.
Wulan terhenyak. Sesaat dipandanginya nenek itu dengan perasaan iba. Dan sejurus kemudian, ia sudah membuatkan segelas teh hangat. ”Nenek minum dulu ya... biar perasaan nenek jadi tenang,” katanya, menghibur.
”Tapi, Cu... nenek sudah tidak punya uang lagi untuk membayarnya?” jawab sang nenek.
”Ini untuk nenek... jadi tidak perlu dibayar,” balas Wulan.
Segera nenek itu menyeruput teh hangat yang sudah dibuat Wulan. Perasaannya sedikit lega.
”Sebenarnya, dimana rumah anak nenek?” tanya Wulan sambil menggeser duduknya.
”Rumahnya memang tidak begitu jauh dari sini. Tapi tanpa uang itu, nenek tidak bisa pergi ke sana dan membeli oleh-oleh untuk cucu nenek,” terang nenek itu.
Wulan terdiam. Ia sedang memikirkan sesuatu. ”Apakah aku harus menolong nenek ini?” tiba-tiba sebuah tanya muncul di hatinya. ”Harus!” jawab sisi hatinya yang lain. ”Tapi jika aku menolongnya, pasti aku tidak memiliki cukup uang untuk kubawa pulang?”.”Ibumu di rumah pasti bisa mengerti... malah ia akan bangga kepadamu.” Akhirnya setelah bergulat dengan pemikirannya, Wulan segera beringsut. Dibukanya sebuah kotak kecil yang terletak di bawah meja dan diambilnya beberapa lembar uang.
”Ini untuk nenek,” kata Wulan sambil memberikan beberapa lembar uang itu kepada sang nenek. ”Aku harap nenek tidak menolaknya,” tambahnya menegaskan.
Nenek itu tidak bisa berkata-kata. Wajahnya berbinar karena gembira. ”Tuhan, terima kasih karena Engkau sudah mempertemukan aku dengan seorang malaikat.” katanya dalam hati.