Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Pertanyaan Haditya untuk Dewa Gilang

30 Juni 2013   23:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:11 808 26
Siapa yang berani menulis, harus berani pula mempertanggungjawabkan tulisannya.

Itu yang perlu diingat oleh dewa gilang.

Melihat sepak terjangnya menyebarkan ajaran syiah dengan 'mengotak atik'  kitab Ahlussunah, di antaranya hadits-hadits dalam Shahih Bukhari dan Muslim:

http://filsafat.kompasiana.com/2012/06/29/pertanyaan-yang-belum-dijawab-dewa-gilang-474141.html

Bahkan sampai memanipulasi data untuk menguatkan argumennya silahkan lihat:

http://filsafat.kompasiana.com/2013/06/22/inilah-kedudukan-shahih-bukhari-muslim-tanggapan-untuk-dewa-gilang-571204.html

Tentu saja itu memprihatinkan.

Tapi yang lebih memprihatinkan adalah tatkala ia berani menulis artikel provokatif tapi tidak berani mempertanggungjawabkan tulisannya.

Dalam artikel terbaru, DG menulis artikel yang cukup provokatif dengan judul "sejarah islam harus ditulis ulang! "

Dan ternyata ada Kompasianer yang mengkritisi tulisan DG itu. Beliau adalah Pak Haditya Endrakusuma

Berikut ini tulisan Pak Haditya dalam kolom komentar  pada tulisan DG itu :

-----------------------------------------------------------------

DG:
Ketika sebagian dari sarjana Islam berteriak lantang bahwa “sejarah Islam harus ditulis ulang”.

HE:
Pertanyaannya, siapa sarjana Islam yang anda maksud itu?.

DG:
maka teriakkan itu harus dimaknai sebagai ajakan kepada umat agar tidak melupakan sejarahnya sekaligus bersikap kritis terhadap setiap lembaran sejarah yang tercantum di berbagai kitab “sirah” (sejarah).

HE:
Sikap kritis yang bagaimana dan seperti apa yang anda maksud itu?.

DG:
Salah satu “pecundang” yang nyata disingkirkan dari penulisan sejarah ialah “ahlul bait” Nabi Muhammad Saww. Sebagai “pecundang” mereka harus rela disingkirkan dari gelanggang sejarah, agar umat -kelak-tidak menyadari akan pentingnya posisi mereka dalam Islam.

HE:
Siapa yang anda maksud yang menyingkirkan “Ahlul Bayt” dari penulisan sejarah Islam itu?.

DG:
Sebagai contoh adalah munculnya hadis agar umat berpegang teguh kepada “kitabullah wa sunnati”. Demikian masyhurnya hadis ditulis di berbagai kitab, sehingga umat melupakan hadis satu-nya lagi yang -bahkan- memiliki kedudukan yang lebih tinggi, yakni serua Rassul agar umat berpegang teguh kepada “Kitabullah wa Ahlul Bait”.

HE:
Kata siapa Hadits Tsaqalain yang berbunyi “Ithrati atau Ahlul Hadits” itu jarang tertulis diberbagai Kitab. Justru Hadits tersebut malah banyak bertebaran dan dengan mudah ditemui dalam kitab-kitab Hadits yang termasuk dalam kelompok Kutubus-sittah.

Hadits tsaqalain baik yang “Sunnati” maupun yang “Ithrati atau Ahlul Bait” itu keduanya banyak riwayatnya, ada yang Shahih adapula yang Dloif. Nah, berkaitan dengan komentar anda yang menyatakan:

“memiliki kedudukan yang lebih tinggi, yakni serua Rassul agar umat berpegang teguh kepada “Kitabullah wa Ahlul Bait”.

Pertanyaan saya, hadits tsaqalain dari riwayat mana yang menyatakan seperti yang anda tulis itu?.

DG:
Jika kita hubungkan pengertian “ahlul bait” Nabi dengan hadis di atas, maka Nabi menganjurkan umatnya agar berpegang teguh kepada “Kitabullah, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain”.

HE:
Sekali lagi, Hadits tsaqalain dari riwayat yang mana yang menyatakan seperti itu?.

----------------------------------------------------------------

Itulah pertanyaan-pertanyaan kritis dari Pak Haditya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun