“Ka-kamu berani menjitakku?” tanyaku. Air mataku tumpah, aku menangis penuh haru di bahunya.
“Apapun akan saya lakukan untuk membuatmu tetap berada di sampingku…”
Tak kusangka pelukan seorang Langit akan sehangat ini. Membuat air mataku meleleh sejadi-jadinya dan seakan tak mau berhenti, seperti derai hujan yang turun dari gumpalan mendung yang telah lama menggantung. Di pelukannya, aku menumpahkan segenap kesedihanku.
Terima kasih, terima kasih, Langit… Terima kasih untuk selalu ada untukku.
Setelah Langit menceritakan semuanya padaku, ia lalu menunjukkan padaku, dari atap gedung tempat kami berdiri, pada sebuah truk pick up yang berjalan perlahan memasuki halaman kampus. Truk itu berhenti di depan kantin di sebelah gedung utama. Seorang pemuda bertopi dan mengenakan seragam pekerja muncul dari dalamnya, membawa dua dus susu kedelai di depan dadanya. Itu adalah sosok Langit di masa kini. Ia bilang, ia sudah menyukaiku sejak pertama kali melihatku, namun tak pernah berani untuk memperkenalkan dirinya padaku. Sebelum berpamitan dan kembali ke masanya, Langit, sambil berdiri di sampingku dan mengenggam tanganku, berpesan padaku agar aku berbaik-baik pada dirinya di masa ini. (“Huh, nadanya sudah belagu banget nih anak!” batinku. “Biar, akan kukerjain dia nanti!") Tak lama ia pun kembali ke sepeda motornya, menstarternya, kemudian melaju ke dalam sebuah lubang gelap yang secara tiba-tiba muncul di dinding dan berputar-putar seperti pusaran—tepat sebelum motor itu menabrak pintu yang menuju tangga turun.
“ZZZAPP!” Seketika Langit telah lenyap dari pandanganku bersamaan dengan menutupnya lubang tersebut.
Sementara itu, khusus mengenai permintaanya tadi, aku sudah memikirkan sebuah rencana tersendiri di dalam kepalaku.
***
Aku berjalan memasuki kantin sambil menyeruput sekotak orange juice dan sengaja menabrak Langit yang hendak berjalan keluar. Jusku tumpah mengenai bajuku. “Heh, kalau jalan lihat-lihat dong!” bentakku.
“Ma-maaf, Mbak… Saya gak sengaja!” katanya, penuh penyesalan. Dari balik topinya wajahnya terlihat seperti orang bodoh—hihihi!
“Berapa nomor handphone-mu?” aku bertanya.
“Apa?”
“Kamu mau mati? Atau kamu mau saya jitak sampai koma, hah?” teriakku. “Kamu pikir saya akan melepaskanmu begitu saja setelah minta maaf? Ini baju mahal, tahu! Tentu saja saya akan menagih biaya laundry-nya ke kamu… Kenapa melihat saya seperti itu? Kamu keberatan? Cepat berikan nomor handphone-mu!” Aku nyaris terkikik saat mengucapkan kalimat terakhirku itu manakala kulihat wajah Langit tampak terbengong sekaligus… senang.
Ya, ia sekarang punya alasan untuk berkenalan denganku.
Bagaimanapun juga, kamu hanya belum tahu betapa berartinya kamu di hatiku, Langit…Kamu adalah penyelamatku![]
Kisah Langit Jingga (01)
Kisah Langit Jingga (02)
Kisah Langit Jingga (03)
Kisah Langit Jingga (04)
Kisah Langit Jingga (05)
Kisah Langit Jingga (06)
Kisah Langit Jingga (07)
Kisah Langit Jingga (08)
Kisah Langit Jingga (09)
>>Baca dan berlangganan karya saya lainnya disini.
>>Kunjungi juga blog saya di http://sihirkata.blogspot.com.