Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Kisah Langit Jingga (06)

4 Agustus 2011   03:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:06 122 0
“Oh…”


“Oh? Ta-tapi, tidakkah kamu merasa sangat penasaran? Kamu ingin mengetahuinya ‘kan? Ini penemuan hebat, lho!”


“Bukankah tadi saya sudah bilang kalau Kakek hebat?”


“Hehehehe… Ah, tidak juga kok! Memang kelihatan ya?”


Dasar profesor sinting haus pujian!


“Ini penemuan penting yang bisa mengubah masa depan dunia,” kata Profesor Haris. “Makanya harus dirahasiakan agar tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.”


“Menarik. Tapi tak ada hal yang dapat mengubah masa lalu,” sahutku dingin sambil terus menyetir, pandanganku lurus ke depan. Tiba-tiba aku teringat pada peristiwa kematian Jingga kemarin. Dan itu terasa sangat menyesakkan di sini—di dadaku.


“Apa ada yang mengganggu pikiranmu, Anak Muda?” Profesor Haris memandangku prihatin. “Kamu tahu, tubuh manusia mempunyai sistem pembuangan yang berfungsi menyaring racun dan mengeluarkannya dari dalam tubuh. Begitu juga seharusnya dengan pikiran yang mengganggu. Itu harus dikeluarkan, kalau tidak akan menyumbat masuknya pikiran baik ke dalam kepalamu dan membuat harimu menjadi buruk, bahkan lebih buruk.”


Mendengar hal itu aku berpikir mungkin itulah yang sebenarnya terjadi pada Jingga. Seandainya saja, ah, seandainya saja aku bisa mengatakan hal itu padanya… Tapi nyatanya semua itu sudah terlambat sekarang! Aku kemudian menceritakan semua yang kurasakan berikut kesedihanku pada Profesor Haris. Ia mendengarkanku dengan seksama dan merasa prihatin untukku. Meski itu tidak serta merta membuatku merasa lebih baik, tapi aku merasa cukup lega setelahnya.


Profesor Haris memintaku menurunkannya di sebuah halte busway di pusat kota. Menurutnya, aku sebaiknya segera pulang dan butuh waktu untuk berpikir sendiri. Sebelum turun dari mobilku ia meletakkan selembar kartu nama di atas dasbor, dan berucap dengan tulus padaku: “Kamu seorang anak muda yang baik. Kalau kamu mau datang ke tempat saya, mungkin saya bisa sedikit membantumu.”


Aku mengambil kartu namanya dan terkejut. Tercetak dalam huruf tebal: Prof. Haris F. Wijaya Ph.D. Bukankah ia seorang ahli fisika nasional yang tersohor hingga ke mancanegara itu?


Saat itu aku tak mengerti apa yang barusan diucapkan oleh profesor tua itu. Tetapi, keesokan harinya, ketika aku bertandang ke rumahnya, ia menjelaskan padaku sesuatu yang mencengangkan yang mungkin dapat menyelamatkan kisah cintaku…


***


Profesor Haris tinggal di sebuah rumah besar dengan halaman luas di sebuah lingkungan yang tenang. Aku tak menyangka sebelumnya ternyata profesor tua itu begitu kaya. Begitu menekan bel di muka pagar sebuah suara tegas menyapaku dan menanyakan siapa diriku lewat interkom yang menempel di dinding pagar. Kujawab kalau aku adalah pemuda yang menolong Profesor Haris kemarin. Suara itu lantas mengatakan kalau Profesor Haris memang telah menungguku, kemudian pintu pagar pun membuka secara otomatis.


Aku melangkah masuk ke dalam, kutinggalkan trukku di luar. Hamparan rumput hijau yang luas dan tertata rapi menyambutku di sepanjang jalan menuju serambi rumah. Seorang perempuan Jawa berusia separuh baya berdiri di depan pintu. Ia memperkenalkan dirinya sebagai pembantu di rumah itu. Rupanya dengannya-lah tadi aku berbicara di interkom. Tak ingin membuang waktu ia pun mempersilakanku masuk dan mengantarkanku melewati sebuah tangga yang menuju ke basement alias ruang bawah tanah. Di sanalah Profesor Haris tengah sibuk bekerja di depan komputernya.


Penilaian pertamaku, tempat itu luas, agak gelap, sekaligus berantakan. Di atas meja kerja sang profesor terdapat tumpukan kertas yang berantakan dan berisi gambar-gambar aneh disertai coretan rumus-rumus yang tak kumengerti. Beberapa dari tumpukan kertas itu sepertinya berakhir di sebuah keranjang sampah yang menggunung di sudut ruangan. Tulisan di badan keranjang sampah itu, di atas kertas putih yang menempel, jelas mengatakan: BEBERAPA IDE TIDAK BOLEH LANGSUNG DIBUANG, sehingga wajarlah, menurutku, bila tak ada yang berani membersihkannya selain si empunya sendiri. Lanjut, pengamatanku menemukan sebuah lemari tinggi seukuran lemari pakaian di sudut lain ruangan. Lemari itu seluruhnya terbuat dari kaca yang tebal—hal ini mengingatkanku pada boks telepon umum zaman dulu. Hanya saja di atas lemari itu terdapat rangkaian kabel-kabel sebesar lengan yang merayap ke langit-langit ruangan yang gelap, kemudian menurun dan berakhir di sebuah saklar bertegangan tinggi. Bekerja di tempat pengap seperti ini, wajar saja membuat Profesor Haris tak sempat menyisir rambutnya selama bertahun-tahun, gumamku dalam hati.


“Maaf, Tuan,” si pembantu wanita menghampiri majikannya, “Tamu yang Tuan tunggu sudah datang.”


“Ah, baiklah. Terima kasih. Kamu boleh pergi,” sang tuan rumah memutar kursinya dan tersenyum menyambutku. “Selamat datang, Anak Muda—ah, maafkan saya, siapa namamu kemarin?”


“Langit,” sahutku.


“Ya! Baik sekali kamu mau datang ke laboratorium sederhana saya ini, Langit.”


“Jadi itu fungsi mug bertuah Kakek kemarin?” Aku melirik sebuah mug yang kutemukan dari si pemuda berandalan kemarin berisi setengah cairan kental hitam yang hangat di atas meja kerja sang professor, mengejek.


“Kopi, ah, tentu saja! Ini adalah mug favorit saya yang senantiasa menemani saya bekerja. Mug ini merupakan hadiah dari almarhumah istri saya—oh ya, itu cerita lain lagi. Tapi, kamu pasti bertanya-tanya, yang membuatnya lebih spesial lagi adalah mug ini merupakan satu-satunya benda di tempat ini yang telah berhasil berkelana menembus waktu.”


“Apa? Be-berkelana menembus waktu?” seruku kaget.


Profesor Haris mengangguk, lalu tunjuknya, “Kamu lihat lemari kaca yang seperti kotak telepon di ujung sana! Itu adalah karya terbesar saya. Sebuah mesin waktu. Hebat ‘kan? Hohohoho… Ehem! Jadi begini, kemarin saya telah mentransfer mug ini ke masa seminggu yang lalu di titik koordinat yang telah saya tentukan. Tentu saja sebelumnya mug ini telah saya tandatangani dengan inisial saya di bawahnya. Kamu lihat; H.F.W—kemudian saya yang di masa depan berusaha mencari mug tersebut untuk membuktikan eksperimen saya…”


[bersambung…]

Kisah Langit Jingga (01)
Kisah Langit Jingga (02)
Kisah Langit Jingga (03)
Kisah Langit Jingga (04)
Kisah Langit Jingga (05)
Kisah Langit Jingga (07)
Kisah Langit Jingga (08)
Kisah Langit Jingga (09)
Kisah Langit Jingga (10 - Selesai)

>>Baca dan berlangganan karya saya lainnya disini.
>>Kunjungi juga blog saya di http://sihirkata.blogspot.com.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun