Jakarta, 18 November 2014
Baru saja saya menyelesaikan urusan saya di kampus sebelum akhirnya melanjutkan petualangan bersama dua rekan saya, Adi dan Bang Haposan berkelana di kehidupan malam Jakarta. Tugas observasi di kawasan hiburan malam merupakan sebuah tantangan baru bagi saya, khususnya saya adalah seorang perempuan. Kami bertiga memutuskan untuk berjumpa di area sekitaran Mangga Besar sebagai arena pertama untuk kami jadikan objek observasi.
Saya naik kereta dari stasiun Serpong dan turun di stasiun Tanah Abang sekitar jam 8 malam. Terlalu pagi memang jika dibandingkan dengan janji kami untuk berjumpa jam 10 malam. Saya pun enggan untuk keluar dan menyambangi Mangga Besar, saya memutuskan untuk berjalan sendirian di sepanjang tepi jalan stasiun Tanah Abang.
Stasiun Tanah Abang adalah area yang akrab dengan saya, karena sejak kuliah dan kerja magang hampir setiap malam saya ke sana, dan kerap kali saya menjumpai pekerja seks komersial tengah menjajakkan diri.
Tetapi jujur, baru pertama kalinya saya memberanikan diri hari itu untuk berjalan sendirian sepanjang stasiun Tanah Abang. Berjalan dengan sangat dekat dengan para PSK yang menjajakan dirinya. Saya mencoba bersikap biasa, padahal hati saya begitu kedat kedut terutama karena saya beberapa kali menangkap mata dengan para PSK tersebut. Saya juga bertemu dengan beberapa lelaki yang tengah menggoda para PSK tersebut, atau sekedar mengobrol dengan mereka.
Mungkin dempul berhasil menghapus menutupi kerut wajah atau urat usia yang menua. Namun pancaran mata tidak bisa berdusta. Saya sempat bertemu mata dengan seorang perempuan berpakaian seksi yang tengah mengisap sebatang rokok sambil menyilangkan kakinya dan bersandar di angkutan umum yang tengah terparkir di depan sebuah hotel.
Namanya hotel teratai, dengan cat warna hijau dan perempuan berpakaian seksi dengan beberapa lelaki tua, sebagian juga lelaki dengan perut buncit dan merokok keluar masuk di hotel itu. Saya sempat melihat seorang lelaki yang baru bersama dengan seorang perempuan dan melepas kaosnya. Mungkin saya kurang kuat iman, karena seketika ada apa saya meneteskan air mata dan saya mempercepat langkah untuk naik angkot menuju Mangga Besar.
Di dalam angkot saya meneteskan air mata lagi, untungnya hanya saya seorang diri di angkot. Saya putuskan turun di Harmoni untuk makan malam sebelum akhirnya saya bertemu dengan Adi di halte busway Mangga Besar.
Seusai makan, saya pun bertemu dengan Adi di halte busway Mangga Besar tepat jam 10 malam. Kami berdua berjalan keluar menyusuri Mangga Besar. Kami tidak tahu arena lokalisasinya dimana. Hingga kami menemukan seorang perempuan bertubuh gempal tengah merokok dan di keliling oleh dua orang perempuan berpakaian seksi di pinggir jalan. Beberapa mobil berhenti di depan mereka, saya berasumsi bahwa perempuan gemuk itu adalah ‘mami’ dari para PSK itu.
Tepat di depan mereka berdiri ada sebuah lorong yang panjang, saya memutuskan untuk masuk bersama dengan Adi. Ternyata kaki kami membawa kami ke tempat yang kami cari, ternyata lorong penuh ruko yang gelap dari depan ini adalah arena lokalisasinya. Kami masuk ke dalam lorong berbatu, kiri dan kanan adalah ruko panti pijat dengan musik ‘jedag jedug’. Tak hanya itu kami juga bertemu dengan banyak ‘mami’ dan PSK yang berdri di depan panti-panti pijat tersebut. Mobil-mobil berbagai mereka dari kalangan kelas menengah ke atas memenuhi lorong tersebut.
Hampir semua pasang mata menyusur ke arah kami, maklum saja, kami pasti warga asing yang sepatutnya mereka curigai. Sampai di ujung lorong itu masih ada jalan ke kiri yang tembus ke perumahan penduduk dan masuk ke lorong baru. Lorong yang sama, lorong panti pijat dan hotel. Saya dan Adi memutuskan untuk masuk ke arena perumahan penduduk yang berada tepat di belakang arena lokalisasi tertutup itu.
Kawasan rumah penduduk ini penuh dengan motor. Anak-anak muda, hingga orang dewasa masih terjaga dan semua warung masih dibuka padahal itu sudah jam 11 malam menuju pergantian hari. Adi mengajak saya beli makan atau minum di salah satu warung. Adi berbisik, banyak pasang mata lelaki muda yang duduk diatas motor yang memenuhi jalan itu memandang saya. Mereka menyisir pandangan dari bawah ke atas. Merasa risih, Adi pun mengajak saya keluar dari kawasan rumah golongan kelas menengah ke bawah itu.
Saya dan Adi lalu duduk di Sevel Mangga Besar sembari menunggu kelarnya para PSK bekerja. Di Sevel kami menjumpai juga beberapa orang dengan perilaku yang bagi kami cukup unik, dan kami mencoba berasumsi bahwa mereka adalah PSK untuk sesama jenis. Lalu kami berpindah ke rumah makan padang ketika mendekati jam 3 malam. Saya lalu mencoba bertanya kepada pelayan restoran padang kapan panti pijat ditutup, dia berkata panti pijat sudah tutup sejak sore. Padahal jelas jelas tadi malam saya masuk ke dalam itu masih ada. Mungkin mereka memang saling menjaga kerahasiaan disini, pikir saya dan Adi.
Ketika tepat jam 3, kami pun beranjak kembali ke lorong lokalisasi itu, mami yang sedang bersama para PSK nya itu langsung melihat kami dengan pandangan curiga. Berhentilah sebuah mobil avanza, ia membuka kaca dan perempuan itu menunjuk perempuan-perempuan di belakangnya. Seolah tengah terjadi tanya jawab antara dia dengan supir mobil untuk memilih perempuan itu.
Saya dan Adi pukul 3 memasuki arena lokalisasi setelah di rumah makan padang kami menjumpai beberapa lelaki yang baru keluar dari arena lokalisasi dan membeli makanan. Arena lokalisasi yang awalnya gelap namun ramai dengan suara musik seketika menjadi sepi dan tidak ada mobil bagus yang masih terparkir. Para PSK juga banyak yang pergi dan atau hanya masih duduk duduk bersama PSKnya.
Kami memang menemukan ketakjuban dalam wisata malam kami kala itu, bahwa ada kesenjangan antara kehidupan para PSK. Bahwa di balik dinding tembok kehidupan glamor ada lapisan dinding kehidupan yang miskin dan dibawah rata-rata kelas menengah. Permukiman kumuh di belakang area lokalisasi menguatkan asumsi kami bahwa bisa jadi ketidaksejahteraan menjadi dalang utama alias mucikari utama yang memaksa para PSK ini berlaku sedemikian rupa.
Saya dan Adi dengan kecewa melangkah pulang karena kami tidak berani untuk menanyakan kepada PSK tersebut. Pertama, karena kami selalu dipandang dengan penuh kecurigaan oleh beberapa ‘mami’ disana. Sungguh pemandangan yang bagi kami tidak mengenakkan. Kedua, karena kami tidak menemukan PSK yang sedang duduk atau berdiri seorang diri sehingga mudah bagi kami untuk memulai dialog.
Saya dan Adi pun memutuskan obervasi hari ini harus dilanjutkan dengan melakukan observasi berikutnya di tempat yang berbeda. Entah di Jatinegara, entah di Tanah Abang, atau di Blok M.
Jakarta, 26 November 2014
Saya dan Adi bersama Bang Haposan memutuskan untuk melanjutkan observasi dan wawancara di Blok M. Sederhana saja, alasan pertama karena di Tanah Abang dan Jatinegara banyak premannya, sehingga demi keamanan bersama Bang Haposan menyarankan kami pindah haluan ke Blok M saja.
Saya dan Adi berangkat duluan ke Blok M. Sejujurnya, saya dan Adi pun tidak tahu dimana letak pasti dari arena lokalisasinya, kasus yang serupa dengan di Mangga Besar. Tak heran jika akhirnya saya kembali mengharapkan keberuntungan dari langkah kaki. Saya hanya ingat ketika salah seorang teman saya yang pernah observasi PSK menyatakan arena lokalisasi di blok M bisa ditemukan di Blok M Square.
Sejujurnya saya sangat akrab dengan kawasan Blok M mengingat ketika saya SMA, saya selalu pulang pergi dari terminal Blok M. Siapa sangka, ternyata arena lokalisasi yang dimaksudkan teman saya adalah kawasan Jepang, yang mana syaa sendiri pernah meliput Festival Ennchisai tahun 2011, festival kebudayaan Jepang di Blok M Square. Kala itu mungkin pagi hari jadi cerminan kehidupan malam tak terasa nyata, tetapi malam ini saya menemukan wajah lain dari kawasan Blok M yang banyak menyentuh dimensi masa remaja saya dulu.
Saya dan Adi berjalan memasuki tempat itu, di depan sudah ada bar dan tempat karaoke bernuansa Jepang. Di pintu masuk tentu saja ramai dengan mbak-mbak yang sudah berdandan dengan sangat cantik dan berpakaian serba mini dengan make up tebal dan rambut panjang terurai. Pria-pria Jepang keluar masuk dan memberi salam kepada perempuan-perempuan itu.
Saya sempat terkejut ketika berdiri di sebuah tempat karaoke, bernama Junko, karena saya pernah masuk ke tempat karaoke itu bersama teman saya. Itu adalah tempat karaoke yang dikelola oleh tante dari teman saya saat SMA. Saat itu sepulang sekolah, saya diajak oleh teman saya berjumpa dengan tantenya yang katanya punya bisnis karaoke di Blok M. Saat berdiri di depan tempat karaoke Junko yang ramai dengan tiga orang perempuan berbaju seksi dengan menyapa tamu yang lewat menggunakan bahasa Jepang, tiba-tiba keluarlah perempuan berpakaian pesta, yang saya kenali sebagai tantenya teman SMA saya. Spontan saya kaget, namun sepertinya si tante tidak lagi mengenali saya.
Saya dan Adi lalu berkeliling, kawasan itu terbuka untuk umum sebagai tempat hiburan malam yang terdiri dari tempat karaoke, bar, hotel, dan rumah makan Jepang. Orang-orang Jepang begitu ramai, saya dan Adi pun mencoba bertanya pada salah seorang tukang rokok yang berjaga di depan karaoke.
“Mas, ini semua tamunya orang Jepang ya?”
“Iya Mbak. Disini orang Jepang semua. Kalau di Blok M yang di depan itu, untuk orang bule,” ungkap mas mas tersebut.
Mas itu memang sudah lama berjualan di Blok M Square. Dia juga membeberkan bahwa rata-rata karaoke disini sampai jam 1 malam, setelah lewat dari jam 1 pagi semua sudah bubar. Saya dan Adi memutuskan apapun yang terjadi, malam ini kami harus berhasil berdialog dengan salah seorang pekerja malam itu.
Saya dan Adi mencoba membunuh waktu dengan makan sate, kami pun berbincang-bincang dengan tukang sate. Ia juga membeberkan bahwa disana memang arena “lokalisasi’ tetapi rata-rata untuk para warga asing khususnya Jepang. Para pekerja bisa diajak berdialog setelah jam 1 malam.
Saya dan Adi menunggu, siapa sangka tepat jam 1 berbondong-bondong ramai perempuan-perempuan itu keluar dari ruang kerjanya masing-masing. Saya dan Adi mencoba mendekati tiga orang perempuan yang baru keluar, namun sayang mereka menghindari kami. Pantang menyerah, saya dan Adi mencoba kembali ke tempat tukang sate yang mulai ramai dengan para pekerja seks. Adi mulai beraksi dengan merokok untuk mencairkan suasana di tengah para perempuan yang juga merokok itu. Datanglah dua orang perempuan mendekati tukang sate, saya mencoba meminta Adi untuk mendekati tukang sate dan minta bantuannya untuk memulai diskusi.
Adi pun berhasil berbincang dengan Mbak Agis, salah seorang pekerja di karaoke Maimu. Mbak Agis ini ternyata bekerja di rumah karaoke Maimu. Saya dan Adi mengaku tengah menunggu salah seorang teman juga. Mbak Agis membeberkan memang kawasan ini untuk orang Jepang, dan bahkan ada bar yaitu ‘Jawa-Jawa’ yang hanya menerima tamu orang Jepang. Mbak Agis juga sempat menawarkan kepada Adi untuk datang besok karena ada sexy dancer.
Mbak Agis mengaku tinggal di Depok bersama ibunya. Ketika saya menanyakan soal keluarga, saat itulah saya merasa dia mulai merasa risih dan raut wajahnya berubah menjadi sedih. Sebelum bekerja di Maimu, dia mengaku sudah bekerja di tempat karaoke lain. Namun karena tempat kerjanya pindah, dia pun ditawarkan masuk ke Maimu saja. Mbak Agis pulang bersama temannya ke Depok, sementara banyak teman-temannya yang lain naik angkot.
Saya bertanya kepada Mbak Agis, ternyata teman-temannya ngekos di berbagai tempat, di Radio Dalam misalnya. Setiap berangkat kerja, setiap malam angkot-angkot ini akan mengantarkan mereka dan juga menjemput mereka pulang ke rumah masing-masing. Tak heran jika seketika mobil-mobil mahal yang terparkir semakin malam tersingkir oleh angkot-angkot charteran. Ternyata angkot itu memang sudah disediakan oleh pemilik rumah bar atau karaoke untuk pekerja-pekerjanya.
Saya melihat adanya tirani kekuasaan disini, dimana yang berkuasa adalah bos-nya. Sehingga bos bisa menyediakan semua kebutuhan pekerja, asalkan bekerja mau melayani tamu-tamunya. Unik ketika ditanya soal pekerjaan, Mbak Agis merasa pekerjaan ini sebanding dengan yang mereka lakukan.
“Lebih dari cukup, lebih worth it. Kerja Cuma 4-5 jam saja tetapi hasilnya besar banget,” ujarnya sambil ketawa-ketawa cekikikan. Saya dan Adi menilai itu adalah pandangan lumrah.kebutuhan akan makan dan minum membuat mereka memilih melakukan pekerjaan itu. Tidak ada konteks moralitas ketika dihadapkan pada benturan akan ketidaksejahteraan manusia. Bisa jadi, mucikari utama adalah negara sendiri karena tidak memberdayakan komponen perempuan dengan baik dan membiarkan perempuannya dijajah dalam segala aspek.