Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

JULI, BULAN AIR MATA (Bagian 2)

28 Agustus 2010   18:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:38 71 0
Sebuah Catatan : Ahsan Andi Husain

Tuhan memang tidak mengijinkan aku untuk bertemu dengannya, meski itu hanya seonggok tubuhnya yang dingin. Aku berangkat ke Surabaya untuk mencari jalur lain ke Kendari. Di bandara Juanda, adikku, Tatink, sudah menungguku dengan wajah gusar. Di keluargaku, dia termasuk anak yang paling tegar. Dia seperti baja yang tidak pernah lekang oleh panas. Dia paling tenang. Tapi pagi itu, dia menangis. "Pampang, Sank," hanya kata itu yang keluar dari bibirnya. Matanya berkaca kaca, merah.

Selanjutnya kami berangkat menuju Makassar karena waktu itu belum ada penerbangan langsung ke Kendari dari surabaya. Matahari semakin beranjak turun. Kami seperti berkejaran dengan waktu. Gelisah selama dalam perjalanan. Sampai di Makassar, rasanya waktu tidak terkejar lagi. Perutku yang tidak terisi sejak pagi, sudah kehilangan gairah makan.

Aku seperti tak merasakan lapar karena rasa sedih yang menyusupi seluruh rongga di tubuhku. Lagi lagi penerbangan ke Kendari hanya tersisa sore hari jam 4 lewat. Berarti aku tiba di Kendari sekitar pukul 5. Adikku sudah terlalu lama menunggu. Aku tidak ingin membiarkan dia kedinginan terlalu lama. Akhirnya aku ikhlaskan dia untuk dimakamkan, sebelum aku menyentuhnya.

Ketika aku sampai di Kendari setelah Magrib, aku hanya disambut tangis. Bekasnya tak ada lagi, bahkan wangi tubuhnya pun sudah tidak tercium. Dia seperti hilang di telan langit. Ingin rasanya melihatnya saat itu, entah seperti apapun keadaannya. Bahkan bayangannya pun sangat aku rindukan. Tapi ternyata mungkin hanya dia yang bisa melihat kami menangisi kepergiannya, tanpa bisa menyentuh kami.

Terlalu banyak kenangan bersamanya. Takkan pernah cukup tinta untuk menulisnya, takkan pernah habis waktu untuk mengisahkannya. Aku terakhir bertemu dia, dua bulan sebelum kepergiannya. Dia memutuskan akan pulang kampung, setelah sekian lama di Surabaya. Niatnya ingin istrahat, makan sepuasnya supaya badannya yang kurus itu sedikit berisi, karena dia akan berangkat ke Jepang untuk bekerja. Semua persiapannya sudah matang. Tinggal pelatihan.

Selama dia di Jakarta, aku hampir tidak berbicara banyak seperti biasanya. Seperti sebelumnya kami sering bercerita hal hal lucu. Aku suka ketika dia tertawa, suaranya kecil, ringan. Dia tidak pernah tertawa terbahak bahak. Dia sangat bersahaja dengan suaranya, dia lebih banyak tersenyum. Wajah manisnya, sampai sekarang masih melekat di mataku, di pikiran bahkan di hatiku.

Waktu itu aku masih kost dengan penghasilan yang hanya cukup buatku makan dan sedikit bersenang senang, itu pun dengan bekerja sambilan apapun selama halal. Aku benar benar berjuang dari tidur beralaskan tikar di Jakarta, dengan bantal tas berisi pakaian. Tapi aku punya tekad, aku tidak akan kembali. Jakarta adalah kota impianku. Kota yang ingin aku taklukkan. Kota yang aku tahu kejamnya lebih dari ibu tiri.

Setiap kali adikku datang, kami sama sama tidur di lantai makan nasi bungkus bersama, yang kadang dia sisakan sedikit untuk makan dia berikutnya. Tapi kami bahagia, bahagia sekali. Bahagia berada di rimba Jakarta yang hendak aku taklukkan ini.

Jujur saja aku dendam pada Jakarta. Ketika pertama kali aku mengais rejeki di kota ini, dua tahun sebelum jadi wartawan dan saat itu aku masih kuliah di Surabaya, aku pernah sangat terhina, diperlakukan serendah rendahnya di lokasi syuting. Tapi dalam hati aku berjanji, lihat suatu saat aku akan melebih kalian, supaya kalian tidak menyepelekan aku lagi. Tidak ada maksud apa apa dari kata kataku, itu hanya sekadar membuat hatiku sedikit terhibur.

Aku sering berkisah pada almarhum adikku, tentang apa yang aku rasakan selama tinggal di Jakarta. Tapi tidak ketika dia datang untuk terakhir kalinya. Aku terlalu sibuk. Aku berangkat pagi, pulang menjelang subuh. Kadang aku tidur di kantor, karena sudah kelelahan mengejar deadline. Aku bahkan tidak terpikir adikku sudah makan atau belum. Dia pegang uang atau tidak.

Aku baru merasa bersalah telah menyia-nyiakan kedatangannya, di hari dia akan kembali ke Surabaya. Dia pamit dengan wajah sedikit dingin. "Aku mau pulang kampung, mungkin aku tidak akan kembali lagi ke Surabaya," katanya. Tidak ada perasaan curiga dengan ucapannya itu, bahkan sebersit firasat pun tidak ada. Sama sekali tidak ada. Itu terakhir kali ketemu dia, sekitar dua bulan sebelum aku menerima kabar, kalau dia memang benar benar tidak kembali lagi ke Surabaya.

Dia pulang kampung, seperti mengejar ajalnya. Sebuah cerita panjang menuntunnya ke arah kematiannya. Dia sempat ketinggalan kapal dari Kaleroang, pulau tempat kelahirannya di perbatasan Sulawesi Tengah dan Tenggara. Tapi dia tetap harus ke Kendari hari itu juga, karena sudah janji akan datang di perkawinan keponakanku di Kendari. Dia pun pergi ke kampung lain hanya untuk mendapatkan tumpangan kapal agar bisa berangkat. Dan ternyata dia mengejar ajalnya, sehari setelah dia tiba di kota kecil itu.

Sekarang dia telah pergi, selama lamanya. Tidak ada tempat bahkan pojok dunia yang membuat kami sanggup mencarinya. Dia bagai angin yang berlalu begitu saja. Hilang entah kemana. Tuhan seperti telah memberikan aku tanda tanda bahwa adikku nomor 4 ini akan pergi terlebih dahulu sebelum kami.

Aku pernah bermimpi ketika masih tinggal bersama, lima bersaudara. Dalam mimpiku, rumah kami diserang tornado, berputar putar di atas rumah. Atap rumah kami terbang, kami melayang layang berputar putar. Tapi tak lama kemudian, kami terjatuh ke tanah, secepat kilat kami berpegang pada tiang tiang rumah yang tersisa, tapi tidak dengan almarhum adikku, dia ditarik oleh angin berputar itu, dia menggapai gapaikan tangan, aku pun berusaha meraihnya, tapi tidak tertolong, dia semakin menjauh, menghilang diantara angin berputar. Sampai angin puyuh itu berhenti, dia sudah tidak ada.

Hari ini 6 tahun silam.

Setahun lalu, tepat di jam dan tanggal yang sama, aku membuka selembar kertas usang dengan bekas lipatan yg sudah sulit untuk dirapikan lagi. Kertas isi berisi tulisan almarhum adikku. Di selembar kertas itu, adikku becerita ketika pada suatu malam dia menangis, karena menemukan selembar kertas berisi puisi yang aku tulis tangan.

Puisi itu seolah warisan yang entah tercecer dimana, sehingga dia menemukannya, membacanya hingga bercucuran air mata. Aku ingat betul, saat aku masih awal kuliah di Surabaya, aku menulis puisi itu pun dengan air mata yang berurai. Hidup kami memang penuh dengan air mata. Bahkan saat bahagia pun sering membuat kami menitikkan air mata, agar kami ingat air mata yang dulu jatuh karena bersedih.

Almarhum adikku itu terlalu pendiam, tidak pernah ada masalah yang tidak dipendamnya sendiri. Bahkan kami tak pernah tahu ada duka di hati terdalamnya. Hari harinya penuh dengan senyum. Hanya tubuhnya yang ringkih dan kurus, membuat kami sadar kalau dia kekurangan sesuatu, karena mungkin dia kurang beruntung di rantaunya.

Dia tidak pernah mengeluh. Dia tidak pernah membagi dukanya. Hanya rasa sukanya saja yang dia ceritakan. Kami baru sadar, begitu menderita batinnya, ketika dia telah pergi untuk selama lamanya. Sebuah catatan catatan kecil dibuatnya di lembaran lembaran buku tulis, yang disimpannya sebagai diary. Dia berbicara pada buku itu. Dia berkisah tentang kesedihannya, penderitaannya, yang tidak pernah diceritakan langsung pada siapapun.(BERSAMBUNG...)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun