Jujur saja aku baru sebegitu pesimisnya terhadap nasib. Yaa, siapa sih yang tak mau masuk Perguruan Tinggi Negeri favorit (tau kan), meskipun akhirnya aku diterima di salah satu universitas negeri Bandung (alhamdulillah..). Oke, bukan itu inti topik nya.
Mamahku cerita, anak temannya yang sepantaran denganku diterima di jurusan akuntansi. Jurusan favorit, bangga sekali pasti ibunya, masalahnya nampaknya Mamahku juga agak membandingkan denganku. Aku tidak pernah suka itu. Karena bagus tidak nya jurusan tersebut sebenarnya relatif. Itu hanya sekelumit cerita.
Salah satu kawanku juga pernah bercerita, saat wisuda kemarin ada defile universitas. Jadi anak-anak yang di terima di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) dan PTS (swasta) secara berurutan naik keatas panggung bersama rombongan defile universitasnya masing-masing. Nah, kebetulan kawanku ini belum dapat universitas. Ia merasa sedih karena tidak bisa ikut dalam defile itu. Kau tahu, aku bahkan miris mendengarnya merasa seperti pecundang.
Ada juga beberapa yang merasa nasib itu tidak adil. Yah, itu lah hitam putih masa-masa akhir SMA. Universitas kadang dianggap sebagai prestige di kalangan anak-anak yang baru lulus SMA. Momen saling membanggakan diri terhadap dunia luar, padahal aku tahu ini masih semacam gerbang permulaan.
Sampai tadi, sambil memberi makan si Towel aku membalik pikiran.
Orang-orang berkata "si ini masuk jurusan akuntansi di UI, hebat yaa" atau "ih, gile ye dia lolos masuk hukum UGM"