aku harus berpikir berulang kali memikirkan siasat agar ia menyukai pelajaran matematika. mengapa dia dan anak sejenisnya yang normal menganggap matematika seram dan menakutkan.
"Susah kak, kakak aja yang buat. aku yang menghitung"
"Yang sekolah siapa dek, misalkan ade mau ikut olimpiade yang menggunakan bahasa inggris kalo gak bisa bahasanya walau bisa menghitung gak akan bisa kan?"
dia terdiam. akupun merenung, sepertinya pertanyaan itu buatku juga. menganggap segalanya dengan serba mudah juga berdampak tak baik. memudahkan segala urusan dan menyepelekannya. hasilnya berbanding lurus dengan pekerjaan.
dia lalu mengatakan " sudahlah aku bosan melakukan hal ini. ngapain juga tak penting"
mendengar hal itu aku menjadi sedih. teringat bagaimana dulu aku meratap untuk bisa privat sedangkan sosok yang di depanku in menyepelekannya. mungkin dia masih terlalu dini untuk mengerti, namun pengertian harus diberikan sedini mungkin. agar tak menianyiakan kesempatan.
aku berikan motivasi agar tak menyerah dengan keterbatasannya. namun dia merajuk. aku semakin sedih teringat gambara masa kecilku. mungkin juga desakkan orang tua agar anaknya bisa masuk sekolah unggulan. namun si anak menganggap waktu mainya tersita.
bayangan demi bayangan masa kecil terus berseliweran di benak, betapa banyak anak yang mengharapkan sekolah atau privat karena kehausannya akan ilmu. sungguh malam itu membuatku bertekad tak akan menyianyiakan ebuah kesempatan.
hal yag kuingat dan akan terus ku ingat adalah saat aku akan pulang sempat berkata padanya.
"Dk, ada banyak orang yang tak mampu mengharapkan kesempatan belajar privat. ada banyak orang yang menangis agar bisa belajar. ada banyak orang yang rela tak tidur demi menunggu pengajar datang. hingga akhirnya kesempatan tak datang juga..."
bukankah mengajar juga sebenarnya mengajar si pengajar, agar lebih arif bertindak. maka malam itu adalah evaluasi bagiku