Mengapa demikian? karena, apabila hendak menjadi seorang guru atau pengajar harus ditempuh melalui pendidikan profesi guru (PPG) terlebih dahulu yang padahal banyak mahasiswa yang bersekolah di IKIP, demikian sudah berbasic pendidikan pula.
Lalu bagaimana nasib calon-calon guru yang memang sudah menempuh study di universitas eks. IKIP? Kemudian mengapa PPG ditujukan pula oleh mahasiswa yang tidak berbasic kependidikan melainkan ilmu murni? Hal inilah yang dianggap sangat merugikan. Banyak pula mahasiswa yang merasa resah dengan adanya PPG, banyak pula kendala-kendala yang ada yaitu persoalan biaya yang dikabarkan cukup mahal, waktu, dan tidak semua mahasiswa dapat mengikuti PPG karena diberlakukannya sistem kuota.
Tentu terdengar tidak adil. Mengapa tidak dibuat seperti sistem coas yang ditempuh para mahasiswa fakultas kedokteran yang memang seluruh mahasiswanya wajib menempuhnya.
Dengan diberlakukannya sistem kuota tersebut maka apabila hendak mengikuti PPG passti ada pula seleksi masuk yang artinya para mahasiswa berbasic kependidikan akan bersaing pula dengan mahasiswa ilmu murni. Yang sebenarnya dilihat dari segi isi otak sama-sama tidak diragukan tetapi timbul adanya kekhawatiran pula apabila ilmu yang di peroleh  lebih kompleks para mahasiswa non kependidikan dibanding mahasiswa kependidikan.
Sakit yang di rasakan terasa datang secara berduyun-duyun. Selain harus melaksanakan PPG sebagai syarat untuk dapat menjadi seorang guru, kemudian diberlakukannya sistem kuota, yang paling menonjol adalah disediakannya pula PPG ini di ikuti ole mahasiswa non kependidikan.
Maka dari itu, sangat disayangkan apabila mahasiswa berbasic kependidikan tidak dapat mengikuti PPG yang pada dasarnya mereka lah calon-calon pendidik yang seharusnya memperoleh keadilan agar dapat mengikuti PPG secara keseluruhan atau dihapuskanna sistem kuota.