Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

UU Otsus Papua : Istana Pasir yang Rapuh

5 Oktober 2014   01:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:21 50 0
Menulis topik diatas seharusnya hanya oleh pakar, pengamat, maupun akademisi. Siapa diriku beraninya nulis-nulis seperti ini? Pakar bukan, pengamat bukan, akademisi pun bukan. Sok amat pake nulis-nulis segala. Saya hanya menempatkan diri sebagai seorang petualang yang sedang duduk diatas bukit, sambil memandang kota yang penuh hiruk pikuk dari kejauhan, kemudian menulis setiap kejadian yang terlihat dari kota itu dalam sebuah notes kecil.

Tulisan yang diadaptasikan dari sebuah topik dialog interaktif yang disiarkan oleh Kantor Berita Radio yg bersiaran dari Jl. Utan Kayu No. 68H Jakarta Timur (KBR 68H) pada rabu pagi (20/8/2014) - membahas tentang Otonomi Khusus Papua. Tentang KBR 68H, siaran “sarapan pagi” setiap hari memang benar-benar jadi sarapan pagi saya. Itu tidak pernah terlewatkan; sesibuk apapun, dan dalam keadaan apapun pagi itu. Informasi menjadi sangat penting sebelum memulaikan aktivitas. Itu ritual saya.

Ada satu kalimat yang disampaikan oleh Mbak Vivi Zabkie (presenter KBR diacara itu); “Daerah-daerah lain jangan cemburu yah dengan Papua karena diberikan otonomi khusus.” Sejenak imajinasiku menjadi liar kemana-mana. Apa yang harus dicemburui dari Papua karena diberikan kekhususan itu? Papua layak dan berhak untuk mendapatkannya. Bayangkan, sejak Papua bergabung dengan NKRI sejak 50 tahun lalu, mereka seperti “anak tiri” yang tidak diberi makan, pakaian dan tempat tinggal yang layak oleh ibu tirinya, walau memiliki “harta warisan” melimpah.

Usia 50 tahun itu bukanlah waktu yang pendek, dengan berbagai dinamika yang dialami serta tantangan yang dihadapi. Tentu tidak bisa dipungkiri bahwa perlakuan yang dialami oleh rakyat Papua selama ini telah melunturkan sikap nasionalisme sebagian besar dari mereka terhadap NKRI – yang secara demonstratif mengembangkan gagasan yang justru berbalik dengan cita-cita the founding fathers. Manifestasinya muncul dalam bentuk gerakan separatism, bentrok fisik (konflik horizontal) dalam masyarakat, dan lain-lainnya.  Apa mereka salah? Tentu saja tidak! Ini hanyalah bentuk protes atas ketidak-nyamanan anak yang tidak dirawat dengan baik oleh orang tuanya.

Setelah melihat reaksi sang anak, sekarang “orang tuanya” sepertinya mulai takut “kehilangan” dan mencoba untuk menebus “dosa”. Sayang, apa yang dilakukan terkesan seperti dipaksakan dan tidak rela. Diberikanlah “permen” untuk menghentikan protesnya. Karena permen rupanya tidak mampu mendamaikan hati anak, ditambah pula “mainan” dengan harapan dia benar-benar berhenti untuk berontak. Tentu saja ini hanyalah sebuah metafora.

Sekarang mari kita bentuk sebuah istana yang indah dengan permen dan mainan itu. Coba bertanya kepada masyarakat Papua,; apa itu Otsus? Barang apa itu? Makanan apa itu? Apa mereka tahu? Pernah disuatu seminar dan lokakarya “8 tahun perjalanan Otsus di Papua” pada 2009 lalu di Timika, seorang narasumber dari propinsi bertanya apa itu otsus? Ruangan itu hening, diam seribu bahasa. Tidak ada satupun peserta, panitia dan masyarakat yang hadir bisa jawab apa itu otsus. Yang mereka tahu, otsus itu adalah UANG! Lihat, ini stigma yang sudah terbentuk dari dulu dan bahkan sampai sekarang.

Rakyat Papua tahu bahwa otsus itu adalah dana yang disumbangkan oleh pemerintah Indonesia kepada Papua. Tragis bukan? Pada hal Otsus itu bukan hanya sekedar uang. Pemerintah Indonesia melalui pejabat-pejabat yang mensosialisasikan Otsus di Papua pada awalnya telah salah memberikan pemahaman yang baik tentang Otsus. Apa mereka kehabisan kosa kata? Ataukah yang dipikirkan adalah jika Papua disodorin uang makan bereslah masalahnya? Picik! Saya bilang itu adalah tindakan yang tidak pantas diterima oleh rakyat Papua. Bahwa mereka bukanlah anak kecil yang bisa dihentikan tangisannya dengan uang atau permen atau mainan. Penyelesaian masalah-masalah di Papua bukan tentang UANG! Sekali lagi bukan tentang UANG!

UU Otsus ini kan hanya merupakan kompromi politik antara pemerintah Indonesia dan Papua, agar Papua tidak terlepas dari NKRI. tapi celakanya, utk menenangkan rakyat papua, Indonesia mencoba utk memberikan "permen lolipop" yg mereka sebut dgn dana atau uang otsus, yang walaupun ada 5 substansi pokok tercantum di dalam UU itu. Membangun Papua bukan hanya tentang uang. Indonesia harus pintar-pintar melihat masalah fundamental di Papua dan kemudian menterjemahkan dengan baik dalam UU otsus. Tidak hanya gelontorkan uang. Bayangkan 12 tahun sudah Otsus itu diberikan utk Papua, tapi coba lihat perubahannya? 12 tahun bukan waktu singkat.

Belakangan, pemerintah Indonesia mendorong rekonstruksi UU Otsus Papua, karena tekanan-tekanan atas kegagalan implementasi UU Otsus No. 21/2001 itu. Tujuan rekonstruksi UU Otsus yang dirubah menjadi UU Pemerintahan Papua atau yg disebut UU Otsus Plus ini sebenarnya memberi penegasan bahwa Papua adalah khusus, istimewa, asimestris dalam pemerintahan Indonesia. UU ini juga memberikan penegasan penghormatan terhadap identitas dan jati diri orang Papua.

UU Pemerintah Papua (UU Otsus Plus) ini merupakan langkah yang bersifat percepatan pembangunan. UU ini juga memberikan makna yang bersifat rekonsiliatif untuk membangun sebuah kehidupan sosial politik yang lebih damai dan berkelanjutan. Setidaknya ini yang disampaikan oleh Felix Wanggai, staf khusus presiden bidang otonomi daerah di Jayapura, Mei 2014 lalu.

Walau Indonesia memberikan UU Otsus sebagai solusi final untuk menyelesaikan masalah-masalah di Papua, namun kenyataannya Otsus tidak mampu menyelesaikan semua masalah itu. Kehadirannya justru menjadi masalah besar. Hari demi hari implementasi UU Otsus mendapat tantangan dari kelompok masyarakat Papua. Demonstrasi di depan kantor DPRP oleh ribuan massa 2 Agustus 2005 lalu; menyerukan untuk mengembalikan UU Otsus kepada pemerintah pusat, demonstrasi di Jakarta, Jayapura serta Timika untuk meminta PT. Freeport ditutup, merupakan sejarah kelam atas penolakan Otsus ini. Kasus gizi buruk, kekurangan tenaga pengajar, kekurangan tenaga medis di daerah terpencil, pertikaian horizontal, penembakan-penembakan yang cukup dramatis merupakan sebagian kecil potret yang menampilkan wajah suram dan gambaran buruk dari banyak peristiwa lain yang telah menambah pengeroposan perjalanan UU Otsus ini.

Dalam 12 tahun perjalanannya, UU Otonomi Khusus yang merupakan kebanggaan rakyat Papua ternyata hanyalah tonggak keropos, tidak tahan banting dan hampir kehilangan arah. Sementara implementasinya terhadap 5 substansi pokok hampir semua rontok. Semua itu disebabkan oleh hasil manajemen yang buruk dari pemerintah; yang menyediakan kesempatan untuk manipulasi dan pelanggaran, khususnya dalam hal penggunaan dana otsus.

Dengan gambaran suram tersebut, membuat hampir sebagian rakyat Papua mengemukakan pesimisme mereka. Apakah UU Otsus akan bertahan? Apakah pemerintah serius dan jujur dalam implementasinya? Apakah itu akan terkonsolidasi?

Secara substansial, UU Otsus memberikan pencerahan dan makna penghormatan terhadap hak dasar rakyat Papua dan terhadap hak budaya dan sosial, yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup dan kehidupan mereka. Namun ternyata UU Otsus di Papua bagaikan Istana pasir yang rapuh. Dalam 12 tahun ini, masyarakat belum mendapat pencerahan itu. Gantinya, masyarakat terus menderita, berpenyakitan, dan merasa tidak nyaman hidup diatas tanahnya sendiri, sementara penyalah-gunaan dan penyimpangan dana otsus terus dipraktekkan

Tidak heran jika terjadi perubahan yang signifikan terhadap selera dan gaya hidup yang glamour serba keelit-elitan dari “konglomerat dadakan” yang hidup dan menari-nari diatas penderitaan rakyat dan terus memamerkan kekayaannya yang gila-gilaan dari uang yang seharusnya milik rakyat. Semua skandal ini merupakan sahabat intim yang menjadi cangkul penggali liang kubur bagi UU Otsus di Papua. Ini jelas-jelas bernuansa ironi. Suasana kebathinan rakyat Papua menjadi tertusuk dan terusik karena sikap inkonsistensi dari pemerintah daerah dalam memperjuangkan kesejahteraan mereka.

Pemerintah tidak boleh lambat untuk melakukan implementasi akan seluruh penjabaran dari UU Otsus tersebut, sehingga tidak menimbulkan “negative image” bahwa Otsus hanya merupakan “permen” bagi Propinsi Papua yang tidak pernah diseriusi.

Walau kritikan terus dilancarkan, implementasi UU otsus diharapkan dapat terlaksana. Ini tidak berarti pemerintah terus berdiam diri, rakyat harus bersikap pesimistis dan apatis. Namun harus bersama-sama menatap jauh ke depan menembusi hutan belantara permasalahan ini.

Cukup sudah teriakan rakyat Papua; sampai berapa lama lagi kami harus menjadi “penonton” di tanah kami sendiri? Sampai berapa lama lagi kami terus mendapat perlakuan diskriminatif? Sampai berapa lama lagi kami terus dibodohi dan dibohongi oleh pemerintah kami sendiri?

Ini semua adalah renungan yang menantang dalam perjalanan 12 tahun UU Otsus di Papua. Tanpa penyelesaian, masa lalu akan terus menggelayuti masa kini dan juga masa depan. Dengan demikian, dibutuhkan kesadaran kita semua untuk mengawal proses pembangunan saat ini secara bertanggung jawab.

Oleh karena UU Otsus; baik hakekat yang ada dalam UU itu, maupun amanat yang harus dilakukan sebagai alternatif pemecahan masalah adalah untuk mempercepat pembangunan di Papua menuju Papua baru yang lebih baik.

Papua bagaikan gadis kecil yang sedang berlari di tengah taman bunga untuk menangkap kupu-kupu yang indah; tapi akhirnya berhenti disuatu tempat karena ternyata kupu-kupu itu hinggap di semak belukar ditepi jurang yang terjal. Tentu saja ini hanyalah sebuah metafora. Papua kini sedang berlari-lari untuk menangkap “pembebasan” diatas tanahnya sendiri.

Eme Neme Yauware...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun