Demi keuntungan dan kepentingan diri sendiri, orang-orang egois sulit melepaskan diri  dari sikap dan perilaku manipulatif.  Keseharian hidupnya dipenuhi dengan kata dusta. Berbohong dan tipu-tipu menjadi makanan dan minuman harian seolah telah menjadi suplemen gaya hidup. Seperti orang kecanduan, mabok dan terperangkap dalam dunia khayalan atau trans, ekstase.  Tak melakukan manipulasi sehari serasa sakit.
Mereka akan sulit bersimpati apalagi berempati, ikut merasakan pedih, derita dan sengsara orang lain. Bila ada terjadi perbuatan karitas, seolah filantropis membantu derita sesama umat manusia, perhitungannya sangat jelimet. Ujung-ujungnya pasti tak lepas  dari ego, kepentingan pribadi baik moril, apalagi materiil. Berapa banyak lembaga dan badan-badan yang mengatasnamakan dana sosial kemanusiaan, bahkan mengusung penderitaan kaum dhuafa, sesungguhnya bersembunyi dibalik ego dan kepentingan pribadi?
Adakah orang-orang yang egoistis tak memanipulasi situasi dan kondisi demi kepentingan dan keuntungan diri pribadinya? Apabila bisa keluar dari sikap dan perilaku egois, maka terjadilah perubahan paradigma. Perubahan pola dan kerangka berpikir pasti tak bisa instan, tak mungkin terjadi seketika. Tak semudah membalik telapak tangan. Perlu konsistensi sikap dan perilaku, disiplin diri dan tekad bulat hati nurani!
Walau sulit dan perlu proses waktu lama dan panjang, spirit mengikis egoistis perlu digelorakan sejak dini. Egoistis adalah pangkal dari sikap dan perilaku hidup penuh nafsu serakah. Lalu mewujud dalam tindakan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, memuaskan nafsu kebendaan, materialistis. Bila tak segera sadar diri dan paham untuk mengubah sikap dan perilakunya, manusia egois akan jatuh menjadi sekelas hewan. Hewan bertahan hidup untuk cari makan, menguasai wilayah aman dan melawan atau menghindar (fight or flight) dari segala penghadang, lalu melanjutkan keturunan (kawin), tua dan mati. Semua berjalan dengan nafsu hewani, tanpa akal sehat dan pikiran jernih layaknya manusia mulia. Maka mengapa manusia yang bisa berpikir cerdas tega meniru hewan, men-dehumanisasi kemanusiaannya?
Sebaliknya alangkah mulianya orang-orang yang terbiasa bersikap dan perilaku altruis selaku altruistis. Orang yang telah membiasakan diri, melekat dalam jiwanya untuk menjalani kehidupan asketis, jujur dan benar, lebih mengutamakan dan mendahulukan kepentingan orang lain. Bahkan tak jarang mengorbankan kepentingan diri sendiri demi memuliakan anak manusia. Menolong dan memberi perhatian, kasih sayang dan kepedulian yang intens, tulus ikhlas tanpa pamrih. Menjadikan hidup manusia lebih manusiawi.
Sesungguhnya jauh dilubuk hati nurani terdalam, hakekatnya manusia sangat ingin dan peduli untuk memberi dan berbagi berkah serta kasih sayang kepada semua makhluk Tuhan. Â Godaan pangkat, jabatan harta dan kekayaan dunia materialisme serta pengaruh lingkungan dan keluarga membuat manusia lupa. Kelupaan yang membawa celaka dan sengsara batin serta jiwapun menjadi hampa. Resah gelisah karena hati nurani tak bisa dibohongi. Semakin tenggelam terperangkap gemerlap dunia matree, semakin hampa jiwa.
Kehampaan jiwa dampak kesadaran hati nurani berontak atas sikap dan perilaku yang sering paradoks dengan kehendak dunia matree. Manusia seolah menjalani hidup dalam dua dunia. Dunia palsu namun nyata sebagai realita kehendak nafsu, sering mengalahkan kebenaran sejati dari hati nurani. Tantangan dunia hedonis materialistis mempersulit untuk belajar hidup sederhana. Menjaga kebenaran nilai luhur dalam keunggulan moral dengan selalu berbagi dan menghormati sesama manusia secara proporsional.
Hidup altruis tiap saat sedia berkorban membela kepentingan dan kebutuhan orang lain. Terutama manusia belum beruntung, lemah tak berdaya, semestinya menjadi tujuan kebajikan dan kemuliaan hidup manusia. Altruistis sudah semestinya menjadi tradisi dan kebiasaan manusia agar mampu hidup penuh makna. Kepahaman dan kesadaran secara konsisten bersikap dan berperilaku altruis perlu diajarkan dari sejak usia dini. Hanya dengan paham, sadar dan kesediaan berkorban untuk manusia lain memungkinkan kita mampu hidup menjadi lebih manusiawi. Berbagi kasih hidup altruis, memberi makna mulia sesama makhluk Tuhan.
Mungkinkah sifat-sifat manusia yang saling bertentangan selaku egoistis bisa hidup selaras altruistis? Mampukah menjalani kehidupan tulus ikhlas berdampingan secara harmonis, bersinergi manusia lain, memicu, menumbuhkan dan memelihara kebiasaan hidup altruis? Â Ataukah mereka dengan sifat-sifat bertolak belakang akan saling meniadakan, menafikan atau menghancurkan satu sama lain? Â Mengapa percaya bahwa hanya manusia yang kuat-terbaik yang mampu bertahan hidup sukses ? (survival of the fittest). Bukankah semestinya yang kuat membantu menguatkan yang lemah? Wallahu'alam bissawab.