Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Reformasi "Rasa Orba"

27 April 2011   11:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:20 59 0
Pasca 13 tahun reformasi penguasa silih berganti, tapi kemajuan bangsa tak beranjak setara bahkan makin tertinggal dibanding negara tetangga. Apalagi diadu negara maju, bahkan untuk bergabung BRIC saja Indonesia kalah sama Afrika Selatan yang telah diakui masuk BRICS (Brazil, Rusia,India,China n South Africa), lima negara berkembang tergolong maju.  Mestinya Indonesia dengan penduduk (SDM) tergolong besar disertai berkah sumber daya alam yang berlimpah  berpeluang duluan maju, namun ulah kepemimpinan yang tidak memimpin untuk memajukan bangsa, berakibat berkah berubah menjadi tulah alias kutukan. Para elite sibuk membangun citra diri dan oligarki, merekayasa kasus dan pengalih issue pokok menjadi prioritas yang tak jelas maknanya bagi kemajuan anak bangsa.

Pelan tapi pasti terbaca kecendrungan pembelokan tujuan reformasi. Mulai dari pergantian rezim yang tak tuntas, penyelusupan pikiran dan sisa-sisa rezim lama terus mengisi posisi strategis partai, eksekutif, legislatif, dan yudikatif baik sebagai invisible hands maupun secara kasat mata. Diperlukan kesadaran kaum muda agar tak terlena ikut menikmati Reformasi "Rasa Orba". Dalam berKKN, rezim Orba melakukan dengan TST, alias Tahu Sama Tahu-lah, tidak terlalu berani terang-terangan, kecuali pada lingkaran dalam penguasa-pengusaha. Pasca reformasi KKN berlangsung mulai dari hulu penyusunan sistem dan RUU oleh legislatif maupun inisiatif pemerintah, sampai ke hilir pada para pelaksana di eksekutif. Tak sadar para elite memberi contoh perilaku koruptif kepada masyarakat, hingga tingkat RT-RW.  Bahkan ketika berproses perkara melalui penegak hukum di kejaksaan, kepolisian dan yudikatif tak jelas lagi prioritasnya. Demi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, membela kepentingan rakyat (posisi lemah) atau kepentingan penguasa, partai, elite, oligark atau demi pengusaha (penguasa uang). Jelas sekali kita tak beranjak maju sebagai negara hukum (recht staat) dalam praktiknya, tetap masih sebagai negara kekuasaan (macht staat), sebagaimana di jaman Orba. Bedanya lebih bebas berteriak sekeras-kerasnya asal tak menghina dan anarkis, tapi sayangnya teriakan tak didengar elite, opini rakyat masuk kanan keluar kiri. Hlo partisipasi rakyat dimana, kalau tak lagi didengar? Anjing menggonggong kafila tetap berlalu-EGP. Kalau begitu sadarkah kita semua atas kenyataan hidup kini berada di jaman Reformasi namun dengan Rasa Orba? Walau kita semua tahu penguasa Orba Soeharto tak bisa diadili karena rujukan para dokter mengatakan Soeharto telah kehilangan fungsi luhur!  Saya kuatir elite penguasa pasca reformasi juga kehilangan nilai luhur ataupun sistem nilai yang dianut para leluhur kita yang semestinya semua tercermin dalam Panca Sila. Pikirkan dan praktikkanlah! Hiduplah dengan niat-pikiran-perkataan-perbuatan yang berpihak pada kemuliaan manusia, kemajuan rakyat Indonesia. Tingkatkan kecerdasan kita sendiri, walaupun UUD mewajibkan pemerintah melakukannya. Kita rakyat harus cerdas dan unggul dalam IQ, EQ, SQ, utamanya MQ (Kuosien Moral) dan HQ (Kuosien Kesehatan Otak/Pikiran dan wadahnya-fisik). Dengan demikian kita mampu berperilaku positif, kreatif, produktif, damai, sejahtera, bahagia dengan memuaskan hasrat terdalam jiwa dan nurani kita. Hidup dengan nilai ilahiyah -terutama bagi elite penguasa- mampu menghindarkan diri dari niat-pikiran-perkataan dan perilaku Koruptif dan ber-KKN-ria. Memberi kebaikan, menjalani kebenaran, keadilan dan kedamaian demi kemuliaan hidup semua makhluk ciptaan-Nya dalam dunia yang fana ini.  Semoga demikianlah adanya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun