Dalam perjalanan saya tinggal di sebuah negara maju, Jepang, berbagai pengalaman begitu mengesankan sehingga mendorong saya untuk berbagi melalui tulisan ini.
Keberadaan ummat Islam disini minoritas, bahkan di kota tempat saya tinggal hanya ada 3 orang. Itupun semuanya pendatang. Semua kebutuhan yang mutlak diperlukan oleh kaum Muslimin harus disediakan sendiri. Pemerintah setempat masih belum mengindahkan hal ini.
Misalnya makanan halal, atau paling tidak label halal, sangat sulit ditemui sehingga seseorang harus membuang waktu lebih banyak untuk membaca ingredients daripada berbelanjanya. Pernah suatu ketika saya diberi coklat oleh teman Indonesia yang saya kira dia tahu masalah ini. Sambil saya makan, iseng-iseng saya baca bungkusnya. Disitu terbaca “mirin”! seketika saya lari ke kamar mandi dan memuntahkan apa yang ada di tenggorokan. Mirin salah satu komponen yang diharamkan, ternyata teman saya tidak tahu hal tersebut.
Dalam kesempatan lain kami sekeluarga disuguhi berbagai macam kue dan makanan. Anak-anak sudah bergembira menerimanya, namun lagi-lagi saya periksa, ternyata terdapat kandungan lain yang syubhat (meragukan), sehingga terpaksa saya menolaknya. Anak saya kecewa, begitu pun orang yang memberi kue tersebut.
Dari pengalaman-pengalaman tersebut saya merindukan suasana di Indonesia, dimana dengan adanya MUI yang telah diakui oleh pemerintah, mereka mengeluarkan label halal untuk produk makanan dan minuman sehingga sangat memudahkan masyarakat untuk memilih. Kami tidak pernah sewas-was di Jepang.
Keberadaan lembaga keagamaan ini ternyata juga disukai oleh teman saya dari Filipina. Mann Lee Fortuna setiap kali datang dari Ilo-Ilo, kota tempat tinggalnya sering berbagi makanan halal yang dia bawa dari negaranya. Kesannya terhadap label halal adalah membuatnya percaya bahwa makanan itu lebih bersih dan sehat.
Kebiasaan makan makanan halal ini juga mendapat perhatian dari para hostfamily saya. Host family adalah program pemerintah Jepang untuk mengenalkan keluarga Jepang dengan mahasiswa asing. Saya sering diundang ke rumah mereka untuk sekedar makan malam. Dan tiap kali hendak mengundang, mereka selalu bertanya makanan apa yang boleh dimakan dan apa yang tidak. Tidak ada keberatan bagi para hostfamily untuk jauh-jauh ke kota lain membeli sambal gado-gado dan kerupuk udang untuk saya. Padahal mereka kebanyakan tidak beragama. Saat saya datang, dengan semangat mereka menunjukkan label “halal” dalam bahasa Arab yang tertulis di bungkus makanan, seolah bangga bisa melayani tamunya.
Dari sini saya berkesimpulan bahwa syariat Islam sama sekali tidak mengganggu dan memberatkan orang lain meski berlainan keyakinan. Seandainya kita mau bertoleransi, dengan memberikan keleluasaan negara untuk menerapkan syariat Islam bagi pemeluknya, niscaya tidak akan ada ruginya, bahkan saya yakin orang akan bahagia dengan memberikan kemudahan dan ketentraman bagi Muslim untuk menjalankan keyakinannya.