matahari lemah, wajah pucat yang lupa namanya sendiri.
Aku rebahan, selimut kusut seperti peta perjalanan yang tak pernah selesai.
Jendela tinggi itu berdiri:
sebuah bingkai panjang,
seperti pintu hantu atau panggung teater murahan.
Di sana aku melihat tukang cukur ini,
dengan apron penuh bekas potongan mimpi.
Dia menatapku, pisau cukurnya berkilau seperti garis waktu,
mengiris udara dengan pertanyaan yang tak pernah kutanya:
Sudahkah kau bersihkan luka ayahmu hari ini?
Tapi aku hanya diam,
mengunyah pagi seperti permen karet basi.
Cahaya menembus tirai tipis,
mengalir seperti ceramah panjang
dari seorang dosen yang suka mendengar suaranya sendiri.