Di sudut gang belakang, di bawah lampu jalan yang ngantuk,
seekor kucing tidur seperti raja tanpa mahkota,
melingkar dalam lingkaran takdir yang terbakar,
cakar-cakarnya seperti tanda baca di kalimat malam,
bulu pasirnya bergulung seperti halaman-halaman
kitab kuno yang dilupakan.
Aku ingin tidur seperti itu,
tanpa rasa bersalah, tanpa beban hutang waktu,
dengan dengkuran yang menggetarkan jendela kamar tua,
dan ekor yang mencatat sejarah trotoar retak
tempat puisi-puisi pecah seperti kaca botol.
Baca Juga:Â Diamnya Pohon-Pohon
Di mimpinya, ia memburu hantu-hantu tikus,
bayangan yang melintasi negeri sampah,
menyelinap ke celah-celah tembok yang bernapas,
menyelam ke sungai gelap di bawah kota
dan lampu-lampu merah berkedip seperti mata serigala tua.
Kadang-kadang, dalam tidurnya yang panjang,
ia tumbuh sebesar harimau purba,
melompati puncak gedung pencakar langit,
terbang melewati billboard usang dan tiang listrik patah,
meninggalkan jejak halus di atap-atap dunia,
seperti tanda tangan rahasia di catatan mimpi para gelandangan.
Baca Juga:Â Bahasa Tanpa Kata-Kata
Kucing itu, imam malam dengan kumis batu,
penjaga gerbang antara tidur dan sadar,
mengawasi mimpi-mimpi kita yang tergeletak di lantai dapur,
menjaga setiap napas, setiap desir langkah,
seperti seorang penyair tua yang tetap terjaga,
menghitung bintang satu per satu
sampai pagi menyala di cakarnya yang tajam.
KEMBALI KE ARTIKEL