Membuat sebuah film, sulit gak ya?
Itulah pertanyaan pertama yang terbesit dibenak saya, ketika saya mulai memperhatikan film-film indie yang saat ini menjadi trend dikalangan anak muda. Ada beberapa behind the scene sebuah film indie, terlihat proses syutingnya begitu mengasikkan. Saya semakin tergoda untuk bisa menjadi bagian kru produksi film indie. Keinginan itu ternyata akhirnya terwujud.
Awal mula mengenal dunia produksi film adalah saat masa kuliah. ‘Sungaiku, Hidupku’ adalah karya pertama yang saya kerjakan bersama teman sekampus. Melalui film ini saya benar-benar merasakan terjun langsung didunia film. Melelahkan, menyenangkan, menyebalkan, ya semua saya rasakan saat pertama kali menikmati menjadi kru. Hal yang melelahkan ketika berada dilokasi syuting, menahan panas terik dan berpindah-pindah menyesuaikan angle kamera. Menyenangkan, karena saya bisa lebih mendekatkan diri bersama 3 teman kampus ini yang pada akhirnya menjadi sahabat saya.
Hal menyebalkan saat pertama kali mengenal dunia produksi film adalah saat menyesuaikan diri bersama pemeran (artis). Ini adalah karya pertama dengan modal saling mengumpulkan dana untuk membayar Sang Artis. Berhubung semua kru (saya beserta teman) adalah mahasiswa,yang mempunyai uang bulanan terbatas jadi kami hanya mengumpulkan dana seadanya. Tetapi, ternyata dana yang keluar melampaui batas perkiraan. Hal ini dikarenakan Sang Artis ‘tidak sadar’ akan keterbatasan isi dompet kami.
Saat itu, setelah syuting berakhir, bertepatan saat makan siang. Maka, kami pun berinisiatif untuk pergi menuju warung makan. Tanpa dipandu semua sudah berjejer mengambil makanan masing-masing, dan duduk bersama dimeja. Semua hening menikmati santapan. Peristiwa menyebalkan terjadi saat pembayaran makanan. Sang Artis sudah pergi berlalu menuju parkiran motor, sementara kami (kru) masih menunggu dikasir. Semua terkejut saat melihat daftar pesanan yang telah dimakan.
Tanpa disadari, Sang Artis memesan menu yang jauh dari perkiraan kami. Ia memesan segelas soda gembira, es kelapa, dan menu makanannya adalah ayam. Sedangkan, kami para kru hanya memakan menu seadanya dengan minum es teh saja.
‘woohh, mentang2 kita yang bayarin, lalu seenaknya sendiri mesan makanan. kan dia tau kita ini pas-pasan dana-nya, adeehh..’ gerutu teman saya.
Pengalaman bermain di dunia film pun kembali saya rasakan. Berawal dari ajakan teman, saya pun ikut berpartisipasi pada sebuah produksi film indie yang dilombakan. Hal ini yang membuat saya semakin ingin ikut belajar dunia nyata sebuah produksi film indie yang dilombakan. Meskipun, disaat kuliah saya telah mendapatkan ilmu tetapi bagi saya itu masih kurang karena hanya sebatas teori dan praktek yang seadanya. Untungnya proyek ini dikerjakan oleh teman-teman yang sudah saya kenal, sehingga tidak canggung jika ada sebuah pertanyaan yang mendadak terbelenggu dihati untuk diutarakan.
‘Kita sama-sama belajar,’ itulah kalimat yang saya ingat saat saya mengatakan teman saya hebat ketika menentukan sudut kamera.
Disini saya tidak menceritakan soal teknis produksi film kami, tetapi hanya bercerita hal-hal unik yang membuat saya tertawa bernostalgia mengingatnya. Ya, kurang lebih sudah satu tahun berlalu produksi ini. Tetapi, saya masih ingat betul peristiwa menganggetkan bahkan menggelikan saat produksi.
‘Akamsi’ adalah nama film yang kami produksi. Akamsi adalah singkatan dari Anak Kampung Sini, dimana kami menyebut hal tersebut untuk para preman kampung yang merasa berkuasa ditempat tersebut (venue syuting). Pengambilan lokasinya pun kita benar-benar memilih sebuah perkampungan yang jauh dari suasana hiruk pikuk, yang berada disudut Kota Yogyakarta.
Film ini bercerita tentang perebutan cinta antara geng anak kota dengan geng anak kampung (desa). Dengan gelar ‘Akamsi’, bos geng anak kampung merasa dirinyalah yang dipilih oleh gadis desanya. Tetapi, ternyata disaat bos geng tersebut ingin mendekati sang gadis sayangnya bos geng anak kota sudah mendahului. Hal inilah yang membuat panas, sehingga bos geng anak kampung menantang geng anak kota. Perkelahian terjadi ditengah sawah, dan sang gadis tak pernah tau soal perkelahian tersebut dikarenakan memperebutkan dirinya. Perkelahian dimenangkan oleh geng anak kota, geng anak kampung hanya menang dimulut saja.
Sebutan ‘akamsi’ keluar disaat Sang Gadis bertanya pada Bos geng anak kota, ketika geng anak kampung lewat menunduk dihadapan mereka.
‘Siapa sih mereka, Mas?’
‘Biasa Akamsi..hehe’
Dialog itulah yang pada akhirnya ternyata menjadi kenyataan. Pada saat produksi film dikampung tersebut kita memang berisik, sebab ada beberapa adegan yang membuat geli. Sebelum produksi ini dilaksanakan, kami sudah meminta ijin pada ketua RT (Rukun Tetangga) dikampung tersebut. Sehingga, kami tidak segan untuk tertawa tetapi ya tetap pada batasan suara. Ternyata, saat kami bercanda ada dua pengendara motor yang melintas sambil menaikkan suara gas motor (seperti sedang memanasi). Karena, mereka merasa terganggu dengan aktifitas yang kami lakukan. Saat dua pengendara tersebut pergi berlalu menjauh, secara refleks teman saya berucap: ‘itu Akamsi sebenarnya! Haha..’. Pernyataan tersebut akhirnya diselingi gelak tawa teman-teman dilokasi syuting.
Sebenarnya cerita diatas adalah hal yang menganggetkan, seharusnya kami takut pada garangnya preman kampung. Tapi, kami malah menertawai mereka, hingga waktu proses produksi selesai kejadian diatas masih menjadi bahan tertawaan saat kami berkumpul. Biasanya ada anggapan ‘apa yang direncanakan (skrip) tidak bisa sesuai apa yang ada dilapangan’, seperti menggambarkan lokasi dan peristiwa yang akan terjadi. Dan hal ini ternyata tidak terbukti pada pernyataan ‘Akamsi’, berawal dari keisengan menyingkat sebuah panggilan. Pada akhirnya, Akamsi pun menjadi julukan nyata atas realita yang ada. Ya, benar, akhirnya kami menemukan ‘Akamsi’ di dunia nyata, bukan dunia imajinasi (skrip) saja.
Kedua pengalaman ini sudah menjawab pertanyaan saya, betapa rumitnya membuat sebuah film. Hal yang saya pelajari dari film sederhana ini adalah belajar menyatukan rasa (semangat) diantara ribuan rasa (keluhan), belajar menghargai pendapat mereka (ide dari skrip yang sudah ditulis), dan belajar menyesuaikan diri dari segala sifat yang dimiliki oleh kru. Karena, setiap orang memiliki prinsip yang berbeda. Selain itu, apapun kerja yang dilakukan sekalipun hanya sebagai clipper (salah satu bagian dari kru yang memegang andil penghitungan take dan scene) itupun tetap menjadi bagian penting dari produksi film. Semua tugas memiliki nyawanya sendiri, maka tak perlu mengeluh sekalipun ditugaskan menggulung kabel.
Membuat sebuah karya film membutuhkan semangat dan kerjasama yang kuat, meskipun pembuatan karya film tersebut tidak dibuat saat ada sebuah penghargaan. Karena, menurut kami (para kru) seniman itu akan tetap berkarya tanpa mementingkan adanya penghargaan.
**GeeR**
Dua (Film dan Pengalaman)
Akan berlanjut pada hitungan berikutnya!
Gilang Rahmawati
Yogyakarta