(Layla)
Sore ini menjadi sesuatu yang berbeda bagiku. Ku lihat mereka sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ku tinggalkan kesibukan didapur, melangkahkan kaki sambil membawa secarik kertas beserta pena berwarna biru. Kini aku telah duduk manis disofa balkon rumah.
“fuuh..”
Nafas ini sedikit sesak, terlebih saat ku tatap sebuah kalender yang telah tercoret. Ya, hari ini tepat ditanggal 5 februari 2012. Satu tahun yang lalu ditanggal ini aku punya kenangan indah. Dan sore ini akan ku buat kenangan itu bermain-main dikepalaku.
Ku teguk segelas coklat panas. Ku lihat jam ditangan, ah masih terlalu lama menanti sinar itu menjadi berwarna yang ku suka. Balkon rumah ini menjadi tempat paling pas untuk mengingat satu tahun yang lalu. Aku tak akan menangis, sebab ini kemauanku menggali kenangan.
Ku cuil sepotong roti berselai strawberry. Mataku masih asik menunggu mentari itu setengah terbenam. Tanganku pun sudah asik menari menuliskan sebuah sajak. Ku nikmati setiap inchi pergerakan mentari.
****
(Fathir)
Ku lihat tumpukan obat itu telah menggunung menanti dimasukkan kemulutku. Tanganku telah menggengam mereka sedaritadi, tapi lidah ini sudah tak sanggup untuk merasakan pahitnya. Ku lihat jam didinding, sudah tepat pukul 5 sore. Aku merasakan ada sesuatu yang harus ku lakukan hari ini.
‘Nak, ayoo..diminum obatnya, daritadi ibu lihat dari dapur, kamu terus saja menggenggamnya!’
Ah, ibuku terlalu cerewet. Seharusnya ia tahu, kalau aku sudah muak minum obat. Sakit yang ku rasakan ini pun tak jua pulih. Diam-diam aku berjalan pelan turun dari atas kasurku, berjalan ke depan rumah. Rasanya ada yang mendorongku untuk tetap berdiri disini, meski sakit sedang mengrogoti tubuhku. Ku tarik sebuah kursi dipojok teras, ku nyamankan badan untuk duduk diam.
Perlahan aku mulai merasa aneh dengan sore ini. Ada yang janggal. Mataku terbelalak menyaksikan mentari itu menebar warna orange kemerahan.
Senyumku mengembang menyaksikan syahdu sore ini. Aku mulai menikmati senja bersama lamunanku. Layla, sosok itu masuk ke dalam fikiranku. Perlahan pertanyaanku terjawab.
‘Ibu, ini tanggal berapa?’ suaraku memecah kesunyian.
‘Tanggal 5 februari nak!’
Aku menghela nafas, ah benar saja. Harusnya hari ini aku masih menikmati senja bersama Layla. Harusnya sore ini aku tak merasakan sakit ini, aku ingin merasakan bahagia. Tanganku mengepal kuat, terasa sesal didalam hatiku. Kini aku diam, penyesalan itu larut pada syahdunya warna langit.
‘Bu, bisa ambilkan kertas dan pena?’
‘Ya, sebentar nak!’
Masih terdiam, menikmati ia yang mulai terbenam.
‘Ini kertas sama pena, dan ini jaket! Kamu sudah tau sakit kenapa duduk didepan sini, kertasnya buat apa Fathir?’
‘Ah, hanya menuliskan surat’
‘Buat siapa?’
Kini ibu duduk disampingku, menemani senja nan syahdu.
‘Buat Layla bu, hehe..’
‘Ngapain kamu tulis untuk perempuan itu lagi! Dia kan sudah meninggalkan kamu, dia sudah punya keluarga sekarang’
‘Ah ibu, hanya sekedar surat biasa’
Ibu pun terdiam, diteguknya segelas susu jahe hangat. Ya, senjaku hari ini ku nikmati bersama orang pertama yang ku sayang. Ibu larut dengan kalimat-kalimat disebuah buku, ia membiarkanku menulis surat untukmu. Tak perlu waktu yang lama, tepat disaat mentari telah terbenam, surat itu selesai dan ku lipat rapi.
‘Sudah selesai?’
‘Sudah Bu..’
‘Ya udah, kalau gitu kita masuk ke dalam ya..sudah mulai gelap diluar’
Ku rebahkan badan dikasurku yang mulai berwarna kusam. Ntah kenapa, rasanya hari ini aku ingin sekali dimanja oleh ibuku. Sebenarnya aku ingin Layla yang ada saat kondisiku seperti ini. Ah, sudahlah harapan itu mustahil bisa terwujud.
‘Bu, aku ngantuk..’ ucapanku lirih.
‘Tidurlah..’
‘Aku mau secangkir kopi hitam bu’
‘Kamu sakit nak! Dilarang minum kopi’
‘Ah ibu, hanya segelas aja’
Ibu tak menjawab, ia berjalan keluar kamarku. Mataku teramat berat untuk masih terjaga. Perlahan ku tutup mataku, ku rasakan dingin menjalar dari kepala hingga ke kaki. Dan akupun diam dalam gelapnya mata yang tertutup.
*****
(Ibu dan Layla)
*tok-tok
Pintu telah terbuka, tampak wanita berambut hitam semampai menyambutku. Matanya terbelalak kaget saat mengetahui aku tiba didepan pintu rumahnya. Ia lalu mempersilahkan aku untuk masuk dan duduk disofa berwarna biru diruang tamu.
“Ibu..ada apa? Baru kali ini Ibu datang kerumahku yang baru, sepertinya ada sesuatu yang penting” ucap Layla.
“Iya nak, maaf sebelumnya kalau ibu lancang tanpa memberitahu dulu sebelum kesini”
“Ah, tak apa bu, sebentar, saya buatkan teh manis ya”
“Oh gak usah repot-repot, ibu hanya sebentar, untuk mengantarakan ini saja (menyodorkan secarik kertas)”
“Apa ini bu?”
“Itu surat dari Fathir, harus disampaikan padamu”
“Terus kenapa ibu yang ngantar, kenapa dia tidak mengantarkannya sendiri saja”
“Kamu baca saja, nanti kamu akan tahu. Baiklah nak, ibu permisi pamit”
“Nanti dulu bu, saya mau membacanya disini, bersama ibu saja. Biar nanti ibu bisa sampaikan pada Fathir langsung balasan dari mulutku”
“Haha, itu tak mungkin bisa nak, ya sudah, bacanya perlahan ya”
Layla kini mulai asik membaca setiap bait curahan didalam surat itu. Raut gembira itu kini berubah menjadi raut kesedihan, air matanya menetes tepat di tulisan “terima kasih pernah menjadi kekasihku, dari Fathir untuk Laylaku”.
Diremasnya surat itu, Layla sontak langsung memeluk perempuan didepannya. Ibu pun menanggapi pelukan itu dan mengelus pelan kepala Layla.
“Fathir telah pergi nak, tepat dua hari lalu ditanggal 5 februari, maafkan semua kesalahannya, biarkan ia tenang dialam sana ya nak. Maaf kalau ibu baru memberikannya padamu, ya setidaknya ini amanah sudah disampaikan padamu”
“Mamaahh…”
Suara teriakan dari arah dapur memecah kesedihan. Anak perempuan berbadan kecil berlari menuju Layla, lalu menarik-narik tangan ibunya.
“Anak mu ya nak Lay?”
“Ah, ehh..iya bu”
“Wah, adeee..sudah besar ya sekarang, kelas berapa sayang?”
Mata anak perempuan itu melihat sosok Ibu Fathir, lalu menjawab pelan.
“Aku kelas matahari bu!”
Kesedihan itu perlahan hilang, berganti hangat. Layla beranjak kekamar untuk menyerahkan secarik kertas pada ibu Fathir.
“Ibu..ini aku juga sempat membuat puisi untuk Fathir, sebagai gantinya, ibu boleh membacakannya padaku. Aku membuatnya tepat disaat Fathir menulis surat itu untukku”
Ibu tertegun, diambilnya kertas itu. Dibacanya perlahan, bait demi bait.
**
‘Mas, Aku Kangen..’
Merindukan kita menikmati senja (lagi)
Senja kita hanya butuh empat langkah kaki yang bergerak
Tak perlu menggapainya jauh kesebrang sana
Kita selalu punya cara tersendiri menikmati senja
Bersandar dibahumu
Menikmati senyummu yang merekah
Meneguk segelas cokat panas, dan mencuil sepotong roti berselai strawberry
Senja kita, hangat dan manis, ya..kan mas?
****
Palangkaraya dan Jakarta
Gilang Rahmawati dan Arif Subagor