Keabsahan alat bukti dalam prosesi persidangan merupakan salah satu ikhwal krusial yang menjadi penentu konstruksi hukum acara dalam persidangan, salah satunya pada persidangan mengenai alat bukti pada perkara perdata.
Saat ini, dalam rangka mewujudkan peradilan yang efisien maka dalam perkembangannya diadakan E- Cort yang mana sistem tersebut dibawah naungan daripada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dalam HIR Keabsahan suatu alat bukti diaktakan sah atau tidaknya adalah adanya pengakuan daripada hakim, adapun bunyi pada HIR mengenai keabsahan tersebut termaktub pada pasal 165 HIR :
"Semua alat bukti harus diakui dan disahkan oleh hakim sebelum dapat digunakan dalam persidangan."
Lahirnya ketentuan E- Cort pada dunia hukum terkhususnya pada ruang lingkup peradilan adalah hal yang terbilang baru sehingga pengaturan secara teknisnya acap kali menjadi bahas diskusi lebih lanjut. Adapun sebagai peraturan yang mengatur teknis e-Court dalam pengiriman alat bukti elektronik di Indonesia, merujuk kepada beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, khususnya terkait dengan sistem peradilan elektronik atau e-Court. Adapun pengaturan E Cort pada PERMA dan SEMA diatur sebagai berikut :
PERMA No. 3 Tahun 2018 Pasal 1 angka 6
Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik adalah rangkaian pengelolaan perkara secara elektronik yang meliputi pendaftaran, pembayaran biaya perkara, pemanggilan, penyampaian dokumen, dan persidangan.
PERMA No. 1 Tahun 2019 Pasal 18
Pengiriman alat bukti elektronik harus dilakukan melalui sistem informasi yang telah disediakan oleh Mahkamah Agung dan harus memenuhi ketentuan teknis yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung.
SEMA No. 3 Tahun 2018
Sistem e-Court mencakup fitur untuk mengunggah dokumen elektronik, termasuk alat bukti elektronik, yang kemudian akan diverifikasi oleh petugas pengadilan sebelum digunakan dalam persidangan.
Implementasi e-Court mempermudah proses pengajuan alat bukti elektronik, tetapi tetap harus melalui proses verifikasi dan validasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Alat bukti elektronik harus diunggah melalui sistem e-Court dan akan diperiksa oleh petugas pengadilan untuk memastikan keabsahan dan relevansinya sebelum digunakan dalam persidangan.
Akan tetapi kemudian yang menjadi diskusi adalah, bisakah dalam persidangan ketika sidang tepat khendak dimulai verifikasi baru dilakukan oleh majlis hakim ?
Dalam perkara perdata, alat bukti yang belum terverifikasi seyogyanya tidak langsung digunakan dalam sidang. Proses verifikasi atau autentikasi alat bukti sangat penting untuk memastikan keabsahan dan relevansi bukti tersebut.
Namun, dalam praktiknya, hakim memiliki diskresi untuk menentukan bagaimana dan kapan alat bukti dapat diterima dan dipertimbangkan. Ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi:
Alat Bukti Dipresentasikan dan Diverifikasi Selama Sidang
Hakim dapat memutuskan untuk melanjutkan sidang dengan presentasi alat bukti tersebut, namun dengan syarat bahwa verifikasi atau autentikasi akan dilakukan selama proses sidang.
Penundaan Sidang untuk Verifikasi
Hakim dapat menunda sidang untuk memberikan waktu bagi pihak yang mengajukan alat bukti untuk memverifikasi atau mengautentikasi alat bukti tersebut sebelum dipresentasikan di sidang.
Penerimaan Alat Bukti dengan Catatan
Hakim mungkin menerima alat bukti dengan catatan bahwa keabsahan bukti tersebut masih perlu diverifikasi, dan keputusan akhir mengenai relevansi dan keabsahannya akan dibuat setelah verifikasi dilakukan.
Secara umum, dalam hukum acara perdata, alat bukti yang tidak diverifikasi atau tidak autentik dapat menimbulkan risiko penolakan oleh hakim, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi hasil perkara. Oleh karena itu, penting bagi pihak-pihak yang berperkara untuk memastikan bahwa semua alat bukti yang diajukan telah diverifikasi dan siap digunakan dalam sidang.