Konflik bersenjata KKB di Papua sampai saat ini masih berlangsung dengan suasana yang mencekam. Setiap harinya TNI yang berpatroli di Wilayah Papua, senantiasa berwaspada dari situasi darurat. Dari Tahun 2024 ini, menurut CNN Indonesia data korban yang gugur dari TNI dan Polri akibat konflik tersebut sebanyak 6 Orang. Yaitu Sertu Afriandi, Bripda Alfandi, Sertu Ismunandar, Bripda Arnaldobert, Bripda Sandi, dan Praka Riadi. Para Aparat Militer tersebut gugur pada saat bertugas di wilayah Papua. Sungguh Sebuah Ironi yang menyakitkan melihat situasi tersebut dengan kondisi yang selalu dihaadapkan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap pemberontakan yang terjadi di Papua. Secara Hak Asasi Manusia, negara mempunya kewajiban untuk Menghormati (to Respect) Melindungi (to Protect) dan Memenuhi (to Fulfill) kebutuhan HAM setiap warga negaranya.Â
Konflik bersenjata menjadi suatu peristiwa yang dipenuhi dengan kekerasan dan permusuhan antara pihak-pihak yang sedang berkonflik. Hukum Internasional dikembangkan secara khusus untuk menjaga serta menegakan HAM warga sipil yang menjadi korban dari konflik bersenjata tersebut. HAM yang selalu disandingkan dengan Hukum Humaniter yang ditegaskan untuk menjamin hak-hak dari orang -orang yang dalam daerah konflik dan kekerasan, karena dalam konflik bersenjata bermacam-macam perlakuan bisa terjadi dalam mengalahkan lawan. Begitupun Konflik yang terjadi di Papua antara KKB OPM dengan pihak Militer Indonesia. yang mana dalam hal tersebut mencakup Pemberontakan suatu kelompok dengan Negara. yang mana terkadang perlindungan HAM kepada pihak Pemberontak sangatlah kuat dan di dukung oleh Hukum Internasional.Â
Maka dari itu, KKB sampai saat ini masih sulit unutuk di berantas. Faktor kamuflase yang sering dilakukan oleh KKB pun menjadi sebuah tantangan yang berat bagi Pemerintah Indonesia. Seringnya terjadi penyamaran KKB menjadi masyarakat lokal Papua menjadikan pihak Militer Indonesia tidak bisa sewenang-wenang menangkap bahkan membunuh KKB. Kelompok belligerent menjadi tergantung kepada penguatan hukum perang dan menjadi subjek Hukum Internasional karena memiliki kedudukan dan juga hak sebagai pihak yang bersengketa dalam beberapa keadaan tertentu.Â
Kelompok Belligerent ini sangat bergantung kepada pengakuan yang harus diserahkan dari berbagai pihak atau pihak dalam hal ini adalah pemerintah Negara, pengakuan diberikan ketika kelompok Belligerent ini telah mengganas dalam melakukan penyerangan atau bahkan menguasai suatu wilayah yang menjadi markas atau benteng pertahanan mereka. Pada dasarnya, tidak ada pemberontak yang dapat ditetapkan sebagai pejuang karena ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar diakui sebagai pejuang menurut hukum Internasional. seperti Pemberontak dipimpin oleh suatu kekuatan yang mempunyai dewan direksi dan bertanggungjawab penuh atas tindak bawahannya, dan Pemberontakan mengenakan tanda khusus pada senjata mereka sesuai dengan hukum perang biasa.  mengutip pernyataan dari Adolf, syarat yang perlu dipenuhi agar seorang pemberontak dapat disebut sebagai Belligerent. seperti Pemberontak diatur oleh komando yang tertib dan bertanggung jawab atas tindakan bawahannya, pemberontak mempunyai ID atau seragam mereka sendiri sebagai identitas mereka. Pemberontak mempunyai kontrol yang dinilai efektif atas beberapa daerah, dan Pemberontak mendapatkan dukungan dari orang-orang di daerah mereka. Hal tersebut bisa dikatakan ketika suatu Pemberontakan yang mendapatkan perlindungan Hukum Internasional. Jika dilihat dari syarat-syaratnya, Pemberontakan yang terjadi di Papua seharusnya tidak bisa disebut Pemberontakan yang mendapatkan Perlindungan Hukum Internasionak karena tidak memenuhi perysaratan tersebut. Akan tetapi, pengaruh perlindungan HAM yang masih kuat menjadi tameng bagi KKB seakan-akan mereka menjadi kebal terhadap hukum. Hal tersebut alh yang menjdi Problematika dilematisnya Perlakuan Negara terhadap KKB di Papua.Â
https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/palasrev/article/view/10585/6738 Â Â