Bukan wartawan, tapi makelar
Di mana-mana, baik di televisi maupun di internet, Iwan Piliang selalu menyatakan bahwa dirinya bertindak sebagai jurnalis warga saat mewawancarai Nazaruddin.
Orang awam mungkin akan mengangguk-angguk saja disodori pernyataan begitu. Padahal, pernyataan tersebut hanya klaim sepihak saja.
Saat mewawancarai Nazaruddin, kedudukan Iwan tak lebih dari seorang perantara. Nazaruddin butuh ‘konferensi pers’ yang meyakinkan dan disimak jutaan masyarakat Indonesia. Iwan kemudian bertindak sebagai fasilitatornya. Pendek kata, Iwan hanyalah makelar.
Bila saat itu Iwan bertindak sebagai wartawan—dengan embel-embel ‘jurnalis warga’ atau tidak—mestinya ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan bermutu, bukan sekedar bertanya soal kondisi kesehatan Nazaruddin. Kalau ia seorang wartawan, ia akan meminta informasi yang penting, bukan sekedar tanya soal Sari Roti dan halusinasi. Yang terjadi malah Iwan membiarkan Nazaruddin bicara sekehendak hatinya.
Wawancara yang mereka lakukan tampak sudah dipersiapkan dengan matang sebelumnya. Bukan hanya peralatan teknisnya, tapi juga materi yang akan disampaikan. Karena Iwan tak lebih dari perantara, ia membiarkan Nazaruddin ngomong semau-maunya, tanpa menyelanya dengan pertanyaan-pertanyaan kritis.
Sungguh, tidak mengherankan bila Iwan memilih jadi makelar buat Nazaruddin. Keduanya sudah mengenal cukup lama. Iwan pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Demokrat yang berada di bawah naungan Nazaruddin. Mantan Ketua PWI-Reformasi ini juga pernah aktif di media centre Partai Demokrat saat Kongres di Bandung. Nazaruddin bahkan mengaku sering mengajak Iwan menemui Dewan Pimpinan Cabang (DPC) di berbagai daerah sebelum kongres itu berlangsung.
Berburu popularitas
Iwan Piliang berniat mendaftarkan diri sebagai calon Gubernur DKI dalam Pemilukada 2012 nanti melalui jalur independen. Untuk itu ia perlu mengatrol popularitasnya.
Ia tahu betul, kasus Nazaruddin menyita perhatian banyak orang. Dengan memboncengi kasus ini, tentu Iwan bakal menangguk untung besar. Sekejap, namanya bakal meroket.
Jadi, omong kosong belaka saat dia bilang melakukan wawancara itu demi memverifikasi fakta sebagaimana dianjurkan mahaguru jurnalistik Bill Kovach.
Diakuinya atau tidak, ia ingin dilihat orang (khususnya warga Jakarta) sebagai bukan orang sembarangan. Ia ingin jadi news maker yang syukur-syukur bisa seperti selebriti yang naik kasta jadi pejabat daerah.
‘Menjual’ nama jurnalis warga
Iwan Piliang suka memperkenalkan dirinya sebagai "literary citizen reporter"—sebuah istilah yang sulit ditemui rujukannya dalam khazanah jurnalisme. Entah apa terjemahan yang paling pas. Mungkin saja Iwan terobsesi untuk menjadi jurnalis warga yang tulisannya bergaya sastrawi.
Sebagaimana diungkapkannya di Kompasiana, dia pernah menulis advertorial untuk Jusuf Kalla pada masa Pemilu 2009. Iwan juga pernah jadi ghost writer untuk Prabowo.
Di dunia jurnalistik, advertorial adalah pekerjaannya orang iklan, bukan pekerjaan wartawan. Wartawan yang berintegritas tinggi juga tidak akan melacurkan diri jadi ghost writer.
Dengan track record seperti itu, susah sekali mempercayai klaim Iwan Piliang yang menyatakan dirinya sebagai jurnalis, terutama saat mewawancarai Nazaruddin. Dia justru ‘menjual’ nama jurnalis warga untuk kepentingan pribadi.
Bisa diadili
Karena dalam wawancara itu Nazaruddin menyebarkan informasi mengenai pihak lain yang belum tentu kebenarannya, ia bisa disebut telah melakukan fitnah atau membuat tuduhan tak berdasar.
Dalam konsep hukum pidana, ada namanya tindak pidana penyertaan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP. Tidak tertutup kemungkinan, suatu ketika Nazaruddin akan diadili karena melakukan fitnah. Jika ini terjadi, maka Iwan Piliang juga akan kena. Sebagai perantara, Iwan dapat disebut membantu atau turut melakukan tindak pidana fitnah itu.
Jadi, kalau Anda berpendapat Iwan Piliang adalah sosok hebat, pikirkan sekali lagi pendapat Anda!
TULISAN SERU LAINNYA: