Keberadaan peraturan CSR yang tidak signifikan menimbulkan beragam argumentasi, satu kasus dari pihak birokrasi, yaitu dinas pemerintahan terkait “Saya masuk pintu ruangan dinas sambil membawa proposal kerjasama, lalu seorang bapak – bapak nyeletuk, kalo mau cari dana ke perusahaan swasta saja dik, mereka akan mengucurkan dana untuk bantuan, karena itu memang kewajibannya, kalau kalian ke dinas kami tidak punya dana untuk hal itu, padahal bapak yang berbicara belum memberikan kesempatan kepada kami untuk menjelaskan maksud dari proposal yang kami ajukan, menurut saya kasus semacam ini berpotensi mengalihbebankan tanggung jawab pembangunan pemerintah kepada perusahaan.” Ungkap Anggi salah satu humas KKN 101 UMM
Pandangan dinas terkait mengenai gambaran kewajiban CSR mendatangkan tanda tanya yang besar, penyimpangan tugaslah yang akhirnya menjadi perhatian selanjutnya. Setidaknya lebih dari 50 Kab/ Kota di Indonesia mulai mengeluarkan Perda terkait kewajiban dana CSR, namun hanya sebagian kecil daerah yang mendapatkan impact dari perda CSR.
“Sebagai mahasiswa yang berperan sebagai agen perubahan kecewa dengan sikap birokrasi pemerintahan, padahal bukan tidak mungkin kami membantu program kerja yang telah coba mereka buat, tapi saya bersyukur tidak semua dinas menolak kerja sama yang kami ajukan, karena sejak awal kami menghindari sponsor dari pihak swasta karena terkesan dana CSR yang mereka keluarkan adalah dana untuk mencitrakan diri, dan itu tidak sebanding dengan dampaknya yang sangat luas.” Lanjut humas KKN 101 UMM ini.