Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe Artikel Utama

Pasar Film Indonesia

1 April 2015   16:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:40 342 3
Belakangan ini saya lagi keranjingan nonton film pakai layanan semacam Netflix atau Hulu Plus. Gara-gara kebanyakan nonton Netflix, saya jadi kepikiran sebuah ide: Gimana sih caranya biar saya bisa nonton film-film Indonesia, dengan nyaman dan legal, dalam format video yang mumpuni alias HD, dengan kualitas audio yang menggelegar.

(Jangan tanya saya bagaimana caranya mengakses Netflix di Indonesia, silakan googling saja, gampang kok.)

Kenyataan pahit buat negara sebesar Indonesia adalah film seperti masih dipandang sebagai hiburan yang elit. Buktinya, cuma ada berapa sih bioskop di negara segede gaban ini? Sepertinya di seluruh Indonesia, baru ada sekitar 800-an layar. Rasio nya kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah penduduk.

Dari jumlah yang sudah kecil itu, masih harus diiris-iris lagi: berapa banyak sih orang yang pergi ke bioskop buat nonton? Sehingga muncul lah pertanyaan ini, bagaimana sih kondisi pasar film Indonesia?

Pasar. Ini salah satu kata kunci yang menarik didiskusikan. Pasar bisa diintepretasikan macam-macam. Saya sendiri suka mengartikannya sebagai tempat terjadinya transaksi antara yang jual dan yang beli. Sesimpel itu. Ada yang menawarkan, ada yang tertarik lalu mengambil tawarannya. Pasar film, artinya ada yang menawarkan film, dan ada yang membeli (baca: menontonnya).

Kadang-kadang, ada saja film yang sangat bagus, dan saya ingin menontonnya lagi dan lagi, tapi terbentur pada kenyataan ini: tidak ada pasar yang menawarkan film tersebut. Atau bisa juga pasarnya ada, tapi bentuknya festival, di luar kota. Buat penonton film kelas teri seperti saya, agak susah kalau harus bela-belain pergi ke luar kota demi menyaksikan sebuah film.

Di keadaan semacam itulah, saya butuh pasar film. Beruntung di Indonesia aturan-aturan hak cipta masih compang-camping, jadi mudah sekali untuk menemukan film-film bajakan, baik secara online, maupun dalam bentuk keping DVD. Pasarnya malah ramai di lapak bajakan. Penjualnya militan, bersentuhan langsung dengan masyarakat konsumennya. Bahkan di sudut sempit jembatan penyebrangan pun mereka bisa hadir dan bertransaksi. Buat saya, ini menyenangkan. Semarak transaksi yang ramai. Ada yang menawarkan dengan harga super murah. Ada pula yang membeli dengan antusias. Meskipun adegan memilih-milih filmnya menjadi agak susah, karena abang penjualnya tidak menyediakan katalog.

“Yang ini udah bagus belum, bang?”

“Yang ini masih Cam, ya bang?”

Dan si abang penjual akan menjawab seperlunya, sesuai dengan katalog yang terekam di kepalanya. Kita nggak pernah tahu juga apakah penjual sudah mengetesnya satu per satu. Namun masalah barang bajakan adalah masalah janji penjual. Mereka seolah-olah punya mantra: ini murah, jadi ga usah protes. Kita beli sesuatu yang kualitasnya tidak menjanjikan. Sementara yang dicari oleh konsumen sebenarnya adalah janji-janji akan mutu yang dapat dipercaya. Kita lagi nggak ngomonin mutu konten lho ini, tapi mutu tampilannya saja dulu. Layak dikonsumsi atau tidak. Gambarnya pecah-pecah atau tidak, suaranya cempreng atau jernih, dan sebagainya.

Lagi-lagi, gelaran festival film bisa jadi opsi yang menarik. Tapi, sudahkah festival-festival film di Indonesia menwarkan ruangnya sebagai pasar? Saya sendiri bukan jenis orang yang rajin berangkat ke Festival film. Dari sekali dua kali berangkat ke Festival Film, saya selalu menjadi penonton saja. Datang ke venue, nonton, lalu pulang. Tidak ada semarak pasar yang ramai bertransaksi disana. Atau, barangkali ada, tapi saya nya saja yang rabun. Seru kan kalau ada festival film lengkap disertai dengan jajaran lapak-lapak film original, yang indie sekalian, untuk memuaskan gairah mengoleksi barang-barang langka.

Makanya saya kurang terperangah waktu dengar kabar dari Festival film di Jerman beberapa waktu kemarin, stand film Indonesia kosong melompong. Agak kurang heran begitu. Apakah memang sesulit itu untuk mengkoordinasi para produsen untuk sekadar memajang karyanya, nah, itu saya juga nggak tahu.

Teknologi konversi video juga sudah semakin canggih. Sejak jaman XBMC, lalu ganti nama jadi Kodi, hingga muncul layanan media server seperti Plex, semuanya mendukung bermunculannya cara-cara baru untuk menikmati film. Situs semacam Netflix, merupakan perwujudan perkembangan teknologi ini. Dan Netflix tidak sendirian. Pemain-pemain besar juga mulai bermain di ranah baru ini. HBO, Amazon, BBC, dan banyak lagi lainnya akan menyusul. Dalam hal ini, bagi saya aplikasi-aplikasi yang bermunculan ini adalah pasar film juga. Demikian pula dengan Pirate Bay dan Kickass torrent. Yang penting ada servis penyedia konten, ada yang menawarkan konten film, untuk dikonsumsi.

Bagi kelas menengah yang malas bergerak dan enggan mengarungi macetnya lalu lintas, internet sebenarnya menawarkan solusi-solusi yang menarik bagi pasar film. Sebab ia memangkas ongkos distribusi, harga jualnya bisa ditekan jadi lebih murah. Lalu konsumen menyukainya. Bagaimana Netflix dengan demikian pesat melaju sebagai salah satu situs paling banyak dikunjungi, ini merupakan indikasi bahwa geliat konsumennya sangat baik untuk industry yang satu ini. Atau lihat juga kelakuan Sonny Pictures kemarin, mereka merilis The Interview yang kocak parah itu ke Youtube.

Resiko dibajak akan selalu ada. Dilawan juga percuma, pembajak selalu punya cara. Tapi kelas menengah yang agak gagap teknologi juga banyak. Ini segmentasi yang lumayan empuk. Apalagi jika klaim bahwa kelas menengah di Indonesia itu sedang meningkat jumlahnya itu benar.

Sementara itu Internet juga akan terus berkembang. Saya sedih ketika melihat beberapa aplikasi penyedia konten video di Indonesia yang selalu berpikir tentang Monetizing. Saya tidak akan menyebut merek disini. Yang jelas, ada salah satu layanan konten streaming semacam ini, belum apa-apa, sudah meminta user untuk membayar. Padahal layanan yang ditawarkan kurang terjaga kualitasnya. Kurang lengkap pula kontennya. Ada juga yang versi gratis. Tapi usernya dihujani dengan iklan-iklan yang mengganggu dan tidak nyaman dilihat.

Untuk menciptakan layanan versi gratisan namun kece badai, kita butuh hacker-hacker gila lagi bersahaja yang lebih menyukai ‘power’ daripada ‘money’. Hacker Argentina pernah melakukannya. Aplikasi yang mereka bikin sangat dahsyat, bikin Hollywood ketar-ketir. Coba googling “Popcorn Time” jika teman-teman ingin tahu sebenarnya saya lagi ngomong apa ini.

Sebagai orang yang sering malas untuk jalan ke Mall, saya merasa pesimis juga kalau pasar film Indonesia terus-terusan diidentikkan dengan layar bioskop. Mau sampai kapan berjualan secara konvensional melulu sementara konsumennya sudah lari kencang. Pasti ada acara lain untuk mengedarkan film, untuk menjual film. Masyarakat penontonnya juga sudah berubah kebiasaan-kebiasaannya. Walaupun mengubah kultur bukan perkara mudah. Memaksakan kultur juga biasanya hanya akan berujung pada penjualan yang gagal.

Mengenai layar bioskop, saya punya ide aneh lainnya: Adakah kultur sinema mengalir deras di darah kita? Ataukah kultur kita sebetulnya lebih cocok untuk menonton layar yang lebih kecil, misalnya Laptop, atau TV? Bagaimana dengan kultur layar tancap? Ah, saya ini bicara apa. Baiklah saya sudahi saja ocehan melantur ini. Untuk sementara waktu, saya masih akan menenggelamkan diri dalam pelukan Netflix yang nyaman.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun