Membaca pasal demi pasal Draft RUU Nakes ini, terlebih pada ketentuan pidana copy paste dari UU No 29 th 2004 Versi 2 setelah Pasal ancaman pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Praktek Kedokteran dinyatakan Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat pada Tgl 19 Juni 2007. Sebagian pasal 75 ayat (1), pasal 76 dan pasal 79 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, dokter yang tak memiliki Surat Izin Praktek (SIP) dan Surat Tanda Registrasi (STR) menjadi lega, tak perlu khawatir dipenjarakan.
Penolakanpun datang dari organiasi profesi IDI, Mereka menganggap pembahasan RUU tersebut tidak transparan dan tidak melibatkan organisasi profesi kesehatan. (rmol-13sept14)
Ditengah hiruk pikuk dan transisi pemerintahan, sejumlah dokter yang tergabung dalam dokter indonesia bersatu, melakukan judicial review terkait dengan pasal 66 ayat 3 , biar utuh saya unggah bunyi pasal 66 :
Pasal 66
(1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan
dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat
mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia.
(2) Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat :
a. identitas pengadu;
b. nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu
tindakan dilakukan; dan
c. alasan pengaduan.
(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak
pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata
ke pengadilan.
Seandainya MK kembali menerima permohonan tersebut, nyaris tak ada lagi yang bisa 'menyentuh' dokter.
Padahal bukan rahasia umum masih banyaknya fakultas kedokteran 'abal-abal' yang ada di negri ini, bahkan Menkes sudah meminta menutupnya (http://www.beritasatu.com/kesehatan/205754-menkes-minta-fakultas-kedokteran-abalabal-ditutup.html), belum lagi mereka yang berkecukupan bisa dengan mudah masuk fakultas kedokteran.
Alih-alih fakultas kedokteran 'abal-abal', yg favoritepun tidak menjamin menghasilkan kualitas seorang dokter yang adi luhur mengikuti apa yang pernah disumpahkan.
Oleh karena itu sebagai rakjat biasa saja, sayapun menolak RUU Nakes ini, bahkan meminta secara khusus agar supaya MK menolak judicial review pasal 66 ayat 3
Selanjutnya sayapun meminta kepada wakil rakjat yang terhormat secara khusus pada ketentuan pidana, agar mengembalikan/mencantumkan ruh/ nafas dan semangat untuk melindungi segenap rakjat Indonesia dari uu praktek kedokteran : pasal 75, 76 dan 79 setelah di 'preteli' MK (bersifat final dan mengikat) pada revisi RUU Nakes pasal : 68, 69, 70, 71 dan 73.
Ukuran pelanggaran profesi kedokteran tetap mengacu pada :
1. Pelanggaran Etika =>intern(self-imposed regulation) => memelihara harkat martabat, menjaga mutu => sanksi teguran, skorsing, pemecatan.
2. Pelanggaran Disiplin => hukum publik => melindungi masyarakat(termasuk anggota profesi) => sanksi teguran, skorsing, pencabutan
3 Pelanggaran hukum (berlaku umum) => menjaga tatib masyarakat luas => sanksi hukum perdata/ganti rugi dan hukum pidana (sanksi badan/ pencabutan).
Kembali lagi mengingatkan sepanjang pasal 66 ayat 3 ( yg skg jg sedang dilakukan “JR” - semoga hakim MK menolaknya) maka berlakulah sanski tsb.
Pelanggaran displinpun jika setingkat pelanggaran disiplin berat umumnya jg terkait dengan pelanggaran hukum, contoh “seriuos professional misconduct” (Dugaan Malpraktek Medik- J Guwandi, S.H) :
1. melakukan sesuatu yg seharusnya tdk dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yg seharusnya dilakukan (negligence)
2. ketidakmampuan tenaga medik utk menjalankan profesinya
3. melakukan hubungan seksual dgn pasiennya
4. menulis surat keterangan yang tidak sesuai dengan kenyataan
5. penelantaran pasien (abandonment)
6. terlibat sendiri atau menyalahgunakan profesinya dalam penyebaran obat narkotika atau minuan keras
7. dsb
Hukum medik tentu bersifat kasusitis, mempunyai ciri dan sifat yg berlainan sehingga tidak dapat digeneralisir terhadap semua kasus.
Pendek kata hukum pidana tolak ukurnya pada kesalahan kasar (culpa lata, grove schuld, mayor guilt)
Prof. Van der Mijn “in civil liability mayor guilt is not the crucial point, in contrast to the situation in criminal liability. Minor guilt may already lead to liability”.
Harapan rakjat biasa, kedepan RUU Nakes ini harus berpijak pada "PATIENT SAFETY".
Mendengarkan semua asupan dari stake holder, terlebih wontjilik seperti saya.
salam sehat