Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Generasi Sehat 3.0

1 November 2010   05:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:56 145 0
Disadari atau tidak internet telah menjadi bagian penting sekaligus kebutuhan dasar (gaya) hidup manusia kini. Asalkan pengguna (user) telah tersambungkan ke internet dapat dengan mudah menyampaikan, berbagi (share) pesan apa pun dan tidak masuk kedalam area blankspot (tidak ada sinyal). Saking pentingnya dunia cyber ini, ada anggapan di sebagian masyarakat seakan-akan kita telah berada "di dunia lain" bila tidak melek internet. Ini  diamni oleh Thomas L Friedman dalam buku The World Is Flat (2006), ia menuturkan, setiap orang dari belahan dunia mana pun memiliki kesempatan yang sama bila memanfaatkan internet. Kiranya ungkapanya ihwal internet “Thank you internet, thank you computer” ini masih layak kita dengungkan sebagai bentuk syukur atas mewujudnya media komunikasi di era serba digital ini. Ingat, berkat Sir Timothy Berners-Lee manusia bisa berinternet ria dengan ditemukanya world wide web (www) untuk setiap laman situs yang kita akses. Inilah cikal-bakal lahirnya generasi ketiga (web 3.0) yang berbasis web semantik dan sebagai  sebuah sarana bagi mesin untuk membaca laman-laman situs dengan  menawarkan metode yang efisien dalam membantu komputer guna mengorganisir dan menarik kesimpulan dari data online. Harus diakui, di dunia maya memang tak ada jarak dan ruang antara user. Seolah-olah semuanya serba dekat, tanpa batas dan lebih hidup. Tentunya, kehadiran jejaring sosial (hi5, flixster, myspace, friendster, facebook, twitter, blogger) membuat kita kecanduan untuk berlama-lama internetan. Namun, adakalanya kontent (isi) media social networking ini giat mengkampanyekan caci-maki, menghujat, permusuhan, peperangan; antarsuku (Sunda-Papua dalam kasus DIB mahasiswa kimia ITB), antaragama (Islam-Kristen; pada petaka Kartun (Komik) Muhammad yang akan dibukukan bertajuk 'Tirani Kebisuan' [The Tyranny of Silence]; Peringatan Hari Pembakaran Al-Quran se-Dunia; Habisi Islam di Indonesia!! dalam blog Yayasan Bellarminus [www.bellarminus-bekasi.blogspot.com]; Situs PDS Hujat Shalat Umat Islam;  Islam-Kristen soal penyaliban Yesus, Mambongkar Kedok Penuhanan Yesus Kristus, Kesaksian Penghujat Roh Kudus) Padahal konten sehat dan tidak berbau SARA (suku agama ras antargolongan) menjadi sebuah keharusan dalam membangun jejaring sosial ini. Bila merujuk pada teori fungsional yang menyatakan segala hal yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya, maka maraknya aksi kejahatan (cybercrime) atas nama agama melalui jejaring sosial ini merupakan otokritik atas ketidakberdayaan agama yang tidak dapat memberikan fungsi ketenangan, kenyamanan bagi pengikutnya sekaligus menjawab pelbagai tantangan zaman manusia sekarang. Sejatinya, fungsi yang harus dimainkan agama bagi Durkheim bisa menjebatani ketegangan dan menghasilkan solidaritas sosial, menjaga kelangsungan masyarakat ketika dihadapkan pada tantangan yang mengancam kelangsungan kehidupan baik dari suku lain, orang-orang yang menyimpang, pemberontak dari suku sendiri, maupun bencana alam. (Peter Connolly [ed], 2002:271) Memang gejala peperangan di media social networking tak bisa dipungkiri di dunia mayapada. Ini dituturkan  Enda Nasution, Presiden Blogger  Indonesia,  Jika dilacak, blog yang giat menghina suatu agama dan isinya bisa lebih provokatif lagi. “Saya tidak melacaknya. Situs seperti itu akan selalu ada. Internet tidak akan pernah bersih dan pasti akan ada yang abu-abu atau hitam” katanya Menurut Komarudin Hidayat gejala saling hujat-menghujat tokoh keagamaan di jejaring sosial dari komunitas tertentu, hingga terjadinya peperang di dunia nyata ini dikarenakana adanya Kekuatan Bahasa Agama (1998:105-109). Pasalnya, bahasa dan ekspresi keagamaan merupakan manisfesto komintem moral dan dan iman dari orang-orang yang beragama secara saleh yang dialamatkan dan diminta disaksikan oleh Tuhan. Itulah sebabnya acara konversi agama dinamai dengan ikrar kesaksian.Ungkapan keagamaan bagaikan puncak gunung es di lautan yang di permukaanya keil, tetapi bagia bawahnya besar, sehingga  kapal bisa tenggelam bila menabraknya. Ketersinggungan umat beragama bila bahasa agamanya dilecehkan. Karena, didalam dan melalui teks keagamaan itu petanda artikulasi dan cita-cita keselamatan hidup ditambatkan. Kendati tidak luput dari ketersinggungan (kemungkinan) distorsi dan deviasi penafsiran. Dengan demikian bahasa agama adalah wahan dan reservoir bagi nilai-nilai agung. Kepadanya orang beriman menimba dan mereguk inspirasi dengannya mereka mempertautkan diri dengan Tuhan serta menjalin ukhuwah dengan sesama anggota komunitas orang beriman. Tentu, bila figur Yesus, Sidarha Gaotama, Muhammad, Lotze, Musa, dilecehkan akan memancing reaksi dari umatnya. Pasalnya, begi orang beriman mereka itu di yakini sebagai manisfestasi jalan keselamatan. Upaya penuntutan, pemblokiran oleh komunitas tertentu adalah sesuatu yang wajar.  Mengingat pentingnya kekuatan bahasa agama sebagai artikulasi keselamatan. Bagi Budhiana Kartawijaya dalam satu sawala menjelaskan tumbuh suburnya gejala penghujatan agama-agama akan selalu hadir di wilayah blankspot (yang tidak tersentuh sinyal dakwah dan taklim islam). Femomena ini lazim disebut religious blankspot. Meski ia mempertanyakan sejauh mana peranan agama dalam memasuki wilayah blankspot. Karena tidak ada dalih agama yang membenarkan hujat-menghujat, bunuh-membunuh antaragama. Malahan setiap agama mengajarkan dan menjungjung tinggi kebajikan, perbadaian dan persatuan. Rupanya kita harus mencoba belajar kepada agama Kristen soal blankspot ini yang tidak ada ruang ini. Umat Kristiani menyakini hidup di dalam Kristus tidak mengenal blankspot, sebab semua aspek kehidupan kita ada dalam pemerintahannya. Keyakinan ini bersumber pada Kejadian:27-28; Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakannya mereka.  Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” Kuatnya doktrin sang Juru Selamat untuk mengabarkan seluruh isi injil ke penjuru dunia sekaligus memberikan peluang besar kepada penghuni dumi untuk menjadi gembala domba-domba, maka lahirlah konsep jejaring bernama social media evangelization (para penginjil sekte evangelis media sosial) dengan slogan Sebarkanlah kebaikan kepada sejuta pengguna. Semula kehadiran media ini untuk bertukar informasi, pengalaman, pesan suci Yesus dikalangan sendiri. Namun, seiring perubahan zaman di era digital alat komunikasi ini menjadi bagian yang harus kita terima dan digunakan dalam berbagi pesan apa pun. Salah satu upaya membumikan generasi sehat (web) 3.0 pascapartisipasi pembaca pada web 2.0 (Tim O'Relly) dengan cara mengisi lama-lama situs yang mengkampanyekan perdamain, persatuan untuk meminimalisir kejahatan atas nama agama pada jejaring sosial ini. Momentum peringatan Hari Blogger  Nasional yang diperingati setiap tanggal 27 Oktober dengan ditandai Pesta Blogger harus menjadi wahana untuk memupuk tumbuhkembangkan generasi sehat yang menghargai keragaman. Apalagi Pesta Blogger 2010 (PB20) mengusung tema “Merayakan Keragaman” (Celebrating Diversities)  yang akan dilaksanakan di Epicentrum Walk kawasan Rasuna Epicentrum Jl. H R Rasuna Said kav. C22 Kuningan, Jakarta Selatan Indonesia pada tanggal 30 Oktober 2010. Dengan makin terbukanya akses dan tersedianya berbagai channel untuk beropini, makin banyak blogger yang bersuara, dengan tujuan yang gempita. Mulai sisi ekonomi kreatif, politik, gaya hidup, advokasi komunitas, maupun yang murni bersenang-senang. Sungguh tidak ada kategori salah dan benar, karena kita sedang “Merayakan Keragaman” sejak suara baru itu muncul dengan dinamikanya. Keragaman inilah yang harus diperkuat dan diperkaya. Keragaman tidak hanya dapat menghadirkan perbedaan, tetapi  dapat menyatukan dan menguatkan. Hal inilah yang harus dijawab dalam pesta blogger kali ini. Bagaimanakah kita akan mempertemukan yang solid dengan yang cair, yang bingung dengan yang sudah stabil, yang kebetulan memiliki tujuan yang sama tapi belum berjejaring dan lain sebagainya. Dengan perkembangan yang muncul, makin banyak alasan untuk menguatkan kembali jejaring, menentukan tujuan yang konkrit, dan menyumbangkan kontribusi positif bagi sekitar. (www.pestablogger.com) Menjunjung tinggi etika, norma, aturan dalam berjejaring sosial merupakan bentuk nyata yang tak bisa dibantah dalam mewujudkan generasi sehat 3.0 yang selalu bersentuhan dengan orang lain. Mari kita mulai dari diri kita dengan tidak menulis (status, postingan) yang tidak menyinggung satu komunitas, agama, golongan tertentu. Semoga IBN GHIFARIE, Blogger www.sunangunungdjati.com, www.jejaringku.com dan bergiat di Forum Mahasiswa Religious Studies Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung. (@ Jejaring Pikiran Rakyat, 01 November 2010) Catatan: Inilah versi lengkapnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun