Pencatatan pernikahan disebutkan dan di atur dalam peraturan perundangan di Indonesia dalam Undang-Undang Perkawinan yang berlaku nasional bagi seluruh warga negara Indonesia tanpa memandang agama. Bagi warga negara yang beragama muslim, aturan pencatatan tersebut ditegaskan ulang di dalam Kompilasi Hukum Islam, dengan pernyataan bahwa pernikahan harus dilakukan di hadapan pencatat untuk terlaksananya pencatatan. Namun, Kompilasi memberikan ruang tersendiri bagi tercatatnya atau tersahkannya oleh negara pernikahan yang dilakukan tanpa pencatatan. Kompilasi mengatur bahwa pernikahan yang tadinya belum tercatat dapat diisbatkan ke Pengadilan Agama. Apa itu isbat nikah ?
Secara bahasa Isbat Nikah berasal dari bahasa Arab yaitu isbat dan Nikah. Isbat berarti penetapan, pengukuhan, pengiyaan. Sedangkan menurut istilah, Isbat Nikah adalah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah, atau pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syari'at Islam akan tetapi tidak dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, tidak dicatatkan, dan tidak tercatat pada register nikah Kantor Urusan Agama setempat.
Adapun alasan-alasan pengajuan permohonan Isbat Nikah tersebut diatur dalam Pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam yang menegaskan, bahwa Isbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
1. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
2. Hilangnya akta nikah.
3. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.
4. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Dasar hukumnya
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bagi yang beragama muslim pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan landasan hukum isbat nikah pada Pasal 49 angka (22) penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 & Pasal 7 ayat (3) huruf (d) KHI, perkawinan yang disahkan hanya perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Namun pada Pasal 7 ayat (3) huruf (a) Kompilasi Hukum Islam memberikan peluang untuk pengesahan nikah yang tidak dicatat oleh PPN yang dilaksanakan sebelum atau sesudah berlaku Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 untuk kepentingan perceraian Pasal 7 ayat (3) huruf (a) Komplikasi Hukum Islam.
Pentingnya isbat nikah ketika belum melakukan pencatatan perkawinan akan menimbulkan kemaslahatan umum karena dengan adanya pencatatan ini akan memberikan kepastian hukum terkait dengan hak-hak suami atau isteri, kemaslahatan anak maupun efek lain dari perkawinan itu sendiri. Serta manfaat pencatatan perkawinan adalah untuk bukti autentik jika terjadi masalah dalam perkawinan misalnya menentukan status anak yang lahir dalam perkawinan antara pasangan tersebut dan jika terjadi perceraian akta perkawinan yang di gunakan sebagai bukti dan suatu alat dalam menyelesaikannya. Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak- anak mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Jurnal
Nurlaelawati, E. (2013). PERNIKAHAN TANPA PENCATATAN: ISBAT NIKAH SEBUAH SOLUSI?. Musawa. Vol 12 No. 2.
https://ejournal.uin-suka.ac.id/pusat/MUSAWA/article/view/122-06/999
Aturan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.
Komplikasi Hukum Islam.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Website
https://www.pa-cilegon.go.id/artikel/639-kepastian-hukum-itsbat-nikah-dan-status-anak-setelah-undang-undang-nomor-1-tahun-1974 , Di akses pada 30 September 2023 jam 14.00 WITA.
http://pa-blitar.go.id/pablweb/informasi-pengadilan/162-sebuah-rekontruksi-perkawinan-melalui-isbat-nikah.html, Di akses pada 30 September 2023 jam 14.30 WITA.