Sebelumnya, disuatu ketika, Arfah datang menemui Ghali dan menawarkan diri untuk bergabung dengan Ghali. Menurut Arfah, dirinya sudah lama mencari sosok seperti Ghali yang cerdas, kreatif dan penuh inovasi. Ghali pun menerima Arfah dengan lapang dada, walaupun sesungguhnya Ghali sendiri kesusahan dalam hal ekonomi, namun baginya melewati kerasnya hidup berdua lebih mudah daripada sendirian.
Waktu berjalan, semua hal tentang baik dan buruk keduanya tidak ada lagi yang tertutupi. Keduanya saling mengetahui kebaikan dan keburukan yang lainnya.
Setiap rezeki yang diterima Ghali selalu dibagi dengan Arfah. Ibaratnya, sepasang merpati yang terbang bersama, saling menjaga dan melindungi.
Disuatu ketika, Ghali mendapatkan tawaran pekerjaan di sebuah perusahaan lokal. Ghali pun berencana untuk bekerja disana. Namun, sebelum memutuskan untuk benar-benar bekerja, Ghali meminta pendapat sahabatnya lebih dulu.
Arfah berpendapat lain, baginya, jika Ghali bekerja diperusahaan tersebut, maka Arfah akan sendirian dan tidak tahu harus berbuat apa untuk menjalani hidupnya. Untuk dan demi nilai persahabatan mereka pun, Ghali memutuskan untuk tidak bekerja diperusahaan tersebut. Ghali melakukannya demi Arfah.
Waktu berjalan, hidup semakin berat. Beban Ghali kian berat. Disatu sisi, istrinya sedang hamil tua, disisi lainya ia harus berbagi hidup dengan sahabatnya, Arfah.
Beras ditong pun semakin menipis hingga tidak mencukupi lagi untuk makan sehari. Istri Ghali yang sedang hamil tua pun mulai mengomel kelaparan. Ghali kepanasan dan kebingungan mau dapat beras dari mana. Fikiran berputar.
Ghali kemudian sadar bahwa Arfah memiliki mertua pedagang beras. Ghali pun meminta pertolongan kepada Arfah untuk dipinjamkan beras sekarung kecil. Arfah pun meminta beras kepada mertuanya lalu diberikannya untuk Ghali.
Satu tanggungjawab teratasi, tong beras pun terisi. Namun, waktu yang berjalan selalu saja punya rahasia kepedihan dibalik tiap putarannya. Mertua Arfah mulai menagih uang berasnya. Arfah pun mendesak Ghali yang sedang kebingungan mencari uang untuk membayar hutang berasnya. Kesana kemari Ghali mencari rezeki namun hidup semakin sempit. Desakan Arfah pun semakin menjadi-jadi.
Disuatu hari, terdengar kalimat-kalimat kasar yang memaki dari Arfah untuk Ghali. Ghali yang menyadari dirinya berutang pun sadar bahwa tidak semua kebaikan yang kita berikan kepada orang dapat ditolerir dengan kebaikan atau kebijakan lainnya.
Tidak tahan dengan makian Arfah yang seolah-olah lebih menghargai sekarung beras ketimbang persahabatannya, Ghali pun terpaksa mengeluarkan kalimatnya untuk mengingatkan Arfah betapa dirinya telah berbuat baik kepadanya.
Utang harus tetap dibayar, tapi bukan dengan makian cara menagihnya, sampai-sampai nilai dan etika serta pengorbanan atas nama persahabatan menjadi terlupakan. Begitulah kalimat Ghali kepada Arfah.
Seiring berjalannya waktu, persahabatan menegang lalu putus karena tidak kuat melawan arus hidup. Kini Ghali sendirian dengan keteguhannya. Utang beras telah diselesaikannya.
Kini, Ghali merenung dalam kegelapan hidupnya, demi persahabatannya ia rela berbagi hidup, demi persahabatannya ia rela menolak pekerjaan disebuah perusahaan lokal dengan gaji lebih dari delapan juta rupiah perbulan.
Pengorbanan yang terhapuskan hanya karena sekarung beras senilai tidak lebih dari dua ratus ribu rupiah.
Yah, itulah gambaran sebuah kehidupan didunia yang keras. Ibaratnya pertarungan politik merebut kursi dan kekuasaan, saling memanfaatkan, saling menjatuhkan.
Tidak jarang kita menemukan orang yang mengorbankan orang yang lainnya untuk tetap bertahan hidup. Tidak jarang pula kita temukan orang yang menjulurkan lidahnya dan menjilat pantat orang yang lainnya untuk tetap mempertahankan hidupnya.
Sangat sering kita temukan orang yang memuji-muji dan mengangkat orang yang sedang diatas lalu menjatuhkan dan meninggalkan orang yang sedang jatuh padahal dahulu pernah memujanya.
Inilah hidup dan sesungguhnya hidup ini adalah perjalanan politik yang panjang. Semuanya ditentukan oleh strategi untuk bertahan dan meraih apa yang dicita-citakan dalam hidup. Seperti layaknya, perebutan kursi presien, siapa yang hebat strategi taktiknya, dialah yang akan mendapatkan kursinya.
Dan pada dasarnya, perjuangan tiap-tiap manusia adalah soal bagaimana memperjelas dan mempertahankan eksistensinya untuk kemudian menyusun strategi pencapaian tujuan hidupnya.
Bagaimana kita menjalaninya dengan cara kita tanpa harus mengorbankan orang lain. Bagaimana kita merebut tujuan kita tanpa ada tumbal. Karena tidak ada seorang manusia pun yang mau menjadi tumbal untuk dikorbankan, termasuk untuk tujuan meraih sebuah kekuasaan apalagi hanya untuk sekedar membeli nasi campur diwarung makan.