ENGKAU aku panggil Kaeng, seperti kebanyakan anak bangsawan memanggil ayahnya didaerah kita, dikampung tempat aku lahir dalam pangkuan ibuku, begitupun aku memanggilmu. Engkau adalah obor yang akan terus menyala dalam hatiku, tidak sedikitpun padam. Ayah, kini usiaku sudah 29 tahun dan aku masih saja begini, tanganku belum berhenti menari, tinjuku masih terkepal, mulutku pun belum berhenti menghujat mereka yang berlaku sewenang-wenang pada kaum kecil. Seperti yang engkau ajarkan padaku, bahwa kebenaran harus ditegakkan, dengan suara, dengan tulisan, dengan kepalan tinju bahkan dengan nyawa sekalipun. Tapi, aku belum sepenuhnya menjadi yang engkau inginkan ayah, aku tidak bisa berbuat banyak. Aku terlalu takut untuk mengayunkan tinju, aku hanya bisa mengepalnya. Aku takut mengayunkannya ke wajah-wajah setan yang mengangkangi kaum miskin dikota-kota, petani didesa-desa dan para buruh dipabrik-pabrik. Ayah, aku hanya bisa menulis. Aku hanya bisa menghujat mereka dengan mengepal tinju, tapi itu tidak merubah apapun ayah, mereka masih sama, kejam dan semakin menggilas. Aku tahu ayah, perubahan tidak akan pernah terwujud kalau kita tidak perjuangkan. Tapi, bagaimana mungkin aku berjuang, ketika disekelilingku serigala-serigala buas itu menatap sinis dengan taring-taring tajam mereka ? Aku takut ayah. Ayah, maafkan aku yang tak bisa menjadi matahari seperti yang kau inginkan. Aku rapuh, aku terlalu lemah, aku cengeng, aku bukan ksatria seperti yang biasa engkau dongengkan untuk mengawalku menuju alam mimpi. Ayah, jaman terus berlari, semakin jauh, membuat semuanya serasa semakin sempit, seolah memaksa kita untuk pasrah pada nasib. Ayah, maafkan aku. Doaku selalu menemanimu di alam sana, damailah disisi-Nya ayah.. (2 Mei 2014 9 tahun almarhum Kaeng)
KEMBALI KE ARTIKEL