Saat dihidupkan layarnya gelap saja dengan logo DELL dan dua pilihan F2 dan F12 di sudut kanan bawah. Apapun yang dipilih, Windowsnya tak muncul-muncul. Â Terakhir kali kuminta temanku mengeceknya saat dia datang berkunjung. Dia juga tak bisa atasi masalah ini. Aku menyerah dan menganggap laptopku sudah mati.
Sebagai barang rusak laptop ini seharusnya kubuang. Apalagi penggantinya ternyata lebih kencang, lebih tipis, bahkan layarnya bisa dibentang hingga 180 derajat.Tetapi ternyata hatiku masih dekat dengan DELL Inspiron.Sudut-sudutnya yang tegas serta perawakannya yang kokoh seperti berotot adalah alasanku mempertahankannya. Statusnya barang rusak yang berharga. Selain itu kupikir-pikir kalau nanti punya rumah sendiri, laptop ini bisa jadi kenang-kenangan yang bisa kupajang di deretan koleksi perlengkapan elektronikku, bersebelahan dengan Blackberry Z10. Â
Laptop baruku cantik sekali. Acer Swift 3. Layarnya bisa dibuka sampai benar-benar rata. Kadang-kadang saya "pamer" kebolehannya dengan membuatnya terbentang seperti TV saat menonton film. Lalu musibah datang. Acer Swift 3 ternyata menyimpan kelemahan serius di persambungan engsel dan cangkang layar. Bilah cangkang layarnya ternyata cuma ditempel pada engselnya dengan lem. Alhasil, setelah direntang berulang-ulang, seluruh lapisan lem tak mampu menahan tarikan dan dorongan. Bilah cangkang layar akhirnya terlepas.
Agar tetap bisa menggunakannya, saya membuka bilah layarnya sedemikian rupa sampai pada sudut pandang yang nyaman untukku, lalu area persambungan badan laptop dan layar kubalut dengan isolasi. Penampakannya seperti sabuk. Untuk menjaga agar layarnya tidak terlipat ke belakang kusandarkan punggung layar pada kardus sepatu yang ditempel kokoh di atas tripleks persegi panjang. Kardus itu cukup tinggi dan kuat menahan beban layar yang jatuh ke belakang. Â Kini Laptopku tetap bisa kugunakan seperti biasa. Cuma kali ini tidak bisa berhenti kangkang.
Harus kuakui, menggunakan laptop dengan cara seperti itu sangat melelahkan. Apalagi ketika harus memindahkannya. Perlu extra hati-hati. Pada titik ini saya ingin punya laptop baru.
Berhubung pendapatanku sejak corona baru di level survival mode, saya berniat untuk menabung dulu hingga bisa beli laptop baru. Chromebook tampaknya cukup menarik hatiku. Harganya mulai dua jutaan, dan cocok dengan kebutuhanku.
Sampai beberapa bulan yang lalu saya tetap berkeyakinan bahwa laptop dengan segenap aplikasi grafis yang hebat adalah yang aku butuhkan. Pikirku saya bisa desain apapun dengan software itu. Ternyata tidak seperti itu. Apa yang kubutuhkan untuk mengolah media atau mendesain sesuatu sudah ada di smartphone. Terdapat ratusan aplikasi pengolahan gambar dan video ada di sana. Desain grafis tingkat tinggi ternyata bukan duniaku. Saya cuma terpesona, dan sekian lama saya percaya itulah keahlianku. Ternyata yang kubutuhkan sesuatu yang sederhana saja. Sayang!
Yang saya butuhkan adalah sebuah smartphone yang bagus dan sebuah keyboard mechanical untuk mengetik. Mengetik di keyboard mechanical itu sangat menyenangkan tetapi jika sambil menatap layar kecil tentu bukan pengalaman yang memuaskan. Saya butuh layar yang lebih besar yang bisa terhubung dengan keyboard mechanichal Bluetooth dari Logitech yang kini sedang kumiliki.
Sayangnya fitur Plug And Play keyboard mekanikalku hanya bisa berfungsi jika togglenya ditancap pada port USB. Smartphoneku tidak memiliki peluang itu, tapi ACER kangkangku bisa melakukannya. Tapi tentu saja, sebuah laptop yang bisa dibawa-bawa pasti lebih nyaman.
Chromebook Samsung adalah idamanku. Ringkas, murah, bisa terhubung dengan Keyboarku serta fitur yang cukup untukku.
Beberapa minggu yang lalu Ketika Chrome Flex OS meluncur, aku mulai menimbang-nimbang. Sistem operasi ini ternyata bisa dijalankan secara berdampingan dengan Windows OS ataupun Machintosh. Lebih menariknya lagi , Chrome Flex OS bisa dijalankan dari Flashdrive. Bahkan laptop dengan spesifikasi yang lebih tuapun ternyata bukan halangn bagi Chrome Flex untuk beroperasi.
Setelah kuputuskan mengunduh Chrome Flex OS lalu menyimpannya di Flaskdisk, saya mencobanya di laptop kangkangku, ACER. Hasilnya mulus. Beberapa aplikasi bawaan Google kucoba. Lancar jaya, seperti menggunakan smartphone cuma di layar yang lebih besar dengan pengalaman mengetik yang lebih memuaskan.
Sampai tahap ini saya yakin jika tanpa  Microsoft Officepun urusan ketik-mengetik, hitung-menghitung  tetap bisa kuselesaikan. Apalagi kalau hanya urusan internetan, sosial media atau nonton film. Semua software atau aplikasi itu semua ternyata punya versi web. Peramban Chrome kurasa cukup.  Belum lagi biaya langganannya Microsoft Office 365 tidak sanggup kubayar sejak lama.  Kalau ada yang gratis kenapa harus bayar?
Benar adanya untuk menjalankan Chrome Flex OS butuh internet, tapi saya punya cara hemat. Saat ini saya menggunakan pada paket data selular yang volume based. Untuk mengakali penggunaan data yang besar saya gunakan internet saat log in ke akun google dan membuka aplikasi atau website yang saya perlukan.
Selengkapnya begini caranya.
Disclaimer: Kebutuhan saya adalah untuk menulis blog. Langkah hemat yang saya lakukan adalah sebagai berikut.
Booting Chrome Flex OS dari Flashdisk, setelah terbuka hubungkan ke internet dari hotspot smartphone. Log in ke akun Google, lalu cari aplikasi Google Doc atau Google Keep. Setelah terbuka, mulailah ketik sebaris lalu matikan internet. Jangan refresh browsernya, ketik terus sampai selesai. Setelah cukup, sambungkan lagi internet. Biarkan sebentar sampai ketikan anda diupload dan di save.
Nah, itu salah satu cara hemat untuk menggunakan Chrome Flex OS. Jika kalian sedang tidak dalam mode "hemat" seperti ku, silahkan terus terhubung dengan internet. Dijamin, kencang prosesnya. Bahkan untuk nonton film di Disney Hotstar lancar mantap. Saya belum mencoba Netflix. Belum bisa berlangganan saat ini.
Kembali ke DELL Inspiron tuaku. Seingatku laptop itu masih nyala cuma sistem operasi Windowsnya yang tidak bisa jalan. Setiap kali tombol power ditekan yang muncul cuma layar hitam dengan logo DELL dua pilihan di sudut kanan bawah layar, F2 untuk setup dan F12 untuk boot. Saya pikir jika Chrome Flex OS bisa berjalan di laptop tuaku ini maka saya tidak perlu beli Chromebook Samsung impianku. Bukankah Sistem operasinya terletak di Flasdisk?
Yang saya butuhkan adalah menekan F2 atau F12. Ternyata bukan cuma itu. Saya masih perlu beli charger baru karena yang lama  sudah hilang entah di mana.
Di toko computer saya meminta penjaga toko untuk mencoba dulu chargernya. Laptopnya masih menyala, dengan dua pilihan di sudut kanan bawah. Â Kubilang pada yang jaga kalau saya coba boot Chrome Flex OS dari flasdisk. Tidak berhasil, saya mulai kecewa. Untung si pramuniaga ambil alih.
Akhirnya, Logo Chrome dengan tulisan Chrome muncul di layar. Senang aku bukan kepalang. Dia membolehkanku terhubung ke wifi toko mereka. Alih-alih log in ke akun Googleku, saya memilih mode guest untuk mengaktifkan browser. Â Saya takut jangan sampai situs dewasa yang saya kunjungi di smartphoneku muncul di sana.
Setelah membayar charger seharga Dua Ratus Ribu Rupiah, aku pulang. Terbayang olehku betapa beruntungnya aku telah menghemat sangat banyak uang, walaupun kutahu harga charger di Tokopedia lebih murah. Tak apalah, rasa senangku saat itu terasa lebih penting.
Di rumah saya langsung beraksi. Di situ aku tahu, ternyata battery laptopku sudah tidak bisa menyimpan arus. Saat terputus dari colokan listrik laptopnya langsung mati. Online marketplace menjual harga battery baru hampir mendekati 200 ribu.
Layarnya juga perlu diganti karena ada garis vertical di sisi kiri layar. Masih dari online marketplace, harganya sekitar fua ratus ribuan. tetapi saya merasa tidak perlu menggantinya sekarang. Yang kutahu saat ini adalah bahwa saya tak perlu mengeluarkan banyak dana untuk laptop baru, bahkan untuk Chromebook yng cukup murah saat ini. Saya punya pilihan yang jauh lebih murah, Chrome Flex OS