Walaupun bukan seorang Muslim, sejak tinggal di antara mayoritas Muslim, saya adalah penikmat Ramadhan. Saya menikmati bagaimana orang menjadi lebih sabar satu sama lain, saya menikmati kreativitas makanan berbuka yang tersedia setiap sore, saya menikmati keheningan saat tetangga-tetangga berkumpul untuk sholat tarawih, saya menikmati riuhnya anak-anak remaja yang meneriakkan sahur sambil berlari sepanjang gang karena mereka kesiangan melaksanakan tugasnya, saya menikmati sapaan hangat orang-orang di sekitar saya, menikmati hantaran makanan dari tetangga, hingga waktunya saling bersilahturahmi mengucapkan selamat atas kemenangan menjalankan ibadah puasa di sepanjang Ramadhan.
Hanya saja Ramadhan kali ini sedikit berbeda. Situasi yang saya gambarkan di atas memang masih bisa saya rasakan di sekitar tempat tinggal saya. Tetapi tidak ketika saya melangkah ke lingkup yang lebih luas, termasuk di dunia maya. Gaung pemilihan presiden dan piala dunia agak menyingkirkan khidmatnya Ramadhan. Sulit sekali bagi saya untuk melihat bagaimana orang-orang bisa saling menjaga ucapan yang santun, kata-kata yang terucap atau diterakan pada halaman-halaman jejaring sosial dan media, tak menggambarkan pikiran-pikiran yang tulus dan murni. Fitnah dan kebencian diumbar lebih murah daripada berbagai diskon besar-besaran di Tanah Abang. Begitu mudahnya sebuah stigma dilekatkan dengan menggunakan dalil-dalil agama. Terus terang, semuanya itu sangat menyedihkan.
Sekarang Ramadhan tahun ini sudah hampir sampai diujungnya. Harumnya ketupat dan opor ayam sudah tercium, dan kegembiraan mulai menyeruak dalam tiap perjumpaan. Konon, setelah Ramadhan ini berakhir, maka sahabat-sahabatku umat Muslim akan merayakan kemenangannya dan tentu saja dengan sukacita, sebagaimana tahun-tahun yang silam, saya akan mengucapkan selamat atas kemenangan yang diraih.
Tetapi belajar dari pengumuman quick-count Pilpres lalu, sejenak terbersit dalam benak saya, “Jika Lebaran adalah momen kemenangan, siapakah yang benar-benar menang sepanjang Ramadhan tahun ini?” Jika kemenangan tiap-tiap hari terhadap hawa nafsu dihitung sebagai ‘suara’ atau mungkin ‘pahala’, sebanyak apakah ‘suara-suara’ yang berhasil dikumpulkan itu sehingga -merujuk pada istilah lembaga survei- cukup kredibel untuk menyatakan ‘menang’ secara confident? Bagaimana bila saat lebaran nanti saya memberikan selamat kepada Anda sebagai pemenang, namun dalam ‘real-count’ yang sesungguhnya ternyata Anda tidak menang? Masalahnya saya tidak tahu kapan‘real-count‘ untuk setiap kemenangan kecil yang dikumpulkan menjadi kemenangan besar itu tiba.
Ah, sepertinya saya terlalu terbawa pada suasana pilpres lalu haha… maafkan saya untuk itu, kawan! Tidak sepatutnya sebuah ibadah dibanding-bandingkan dengan momen politik. Memang benar bahwa saya merasa Ramadhan tahun ini tak seindah Ramadhan-Ramadhan sebelumnya, tetapi kualitas ibadah setiap umat tentu hanya Allah yang bisa menilainya. Saya sungguh yakin, dalam momen-momen riuh yang mewarnai Ramadhan tahun ini, intan sesungguhnya akan tampak lebih bercahaya.
Jadi, sementara waktu terus bergulir menuju penghujung bulan penuh berkah ini, ijinkan saya menyemangati Anda untuk terus menang dan memastikan diri Anda tetap berada di jalan kemenangan. Jalan yang dilalui oleh mereka yang tidak hanya melafal doa, tetapi juga bekerja keras mengusahakan kebaikan dan cinta kasih di dunia ini. Kemenangan bukanlah sesuatu untuk diperjuangkan mati-matian, tetapi untuk dihidupi dalam keseharian yang membumi.
Selamat menyongsong kemenangan Anda! Selamat menyambut lagi diri Anda yang fitri!