Tentu ada banyak analisa dari mereka yang mengklaim diri sebagai ahli. Jika Anda pendukung Prabowo-Hatta, maka Anda tentu tahu saluran TV apa yang perlu Anda tonton, koran apa yang perlu Anda baca, celotehan ahli hukum siapa yang Anda dengar, FB Page apa yang perlu di-like, akun twitter apa yang perlu di-follow, dst. Sebaliknya, Anda mungkin lebih berminat pada media lainnya, bila Anda tidak mendukung Prabowo-Hatta. Masing-masing akan memberi pembenaran terhadap pilihan Anda. Kurang lebih semacam program salah satu TV swasta, sebuah klub untuk para pengacara yang diundang untuk datang berdebat, kadang berantem tidak jelas, berperilaku tidak dewasa dan memalukan, setelah itu tanda tangan viaticum dan pulang sambil cengegesan. Tidak ada yang peduli pada Anda. Jadi, jangan sampai mereka sudah tidur pulas, tetapi kita sebagai rakyat kebanyakan masih kebawa-bawa debat dan berantemnya.
Ini analisis kroco, bukan analisis ahli. Anda pun tidak perlu sepenuhnya percaya pada saya, karena dulu nilai mata kuliah Sistem Hukum Indonesia (SHI) saya cuma dapat C. Itupun didapat dengan susah payah. Jadi, para ahli hukum dan tata negara kita boleh saja berebut di media untuk mengatakan siapa yang paling benar dalam hal ini, terserah mereka mau bilang analisanya paling terang-benderang sendiri (bikin silau euy), tapi manusia yang tidak begitu cerdas ini bisa membedakan dengan baik mana yang membual dan yang tidak, mana petitum dan posita yang masuk akal dan mana yang tidak.
Anggaplah proses sebelum persidangan ini sebuah novel atau script film, maka jalan ceritanya adalah seperti ini:
- Pasangan Prabowo-Hatta berharap menang dalam Pilpres 2014. Tentu mereka bukan hanya sekadar berharap, karena memang Prabowo telah mempersiapkan diri dengan baik menjadi Capres sejak jauh-jauh hari. Hal ini dapat dilihat dari berbagai iklan dan upaya merangkul berbagai kelompok oleh partainya. Beliau pernah diprediksi sebagai satu-satunya calon kuat.
- Jalan Prabowo menuju kursi orang nomor 1 di NKRI awalnya mulus. Biang keroknya adalah kemunculan Jokowi si 'aku ra po po'. Walaupun dituding oleh kubu Prabowo sebagai orang yang 'ra iso po po', Jokowi berhasil merebut cinta rakyat Indonesia. Dan cinta rakyat Indonesia ternyata cinta yang hidup dan bergerak dalam bentuk partisipasi masyarakat. Walau tentu tidak ada yang mengaku sebagai pihak yang bertanggung jawab, tetapi nyata bahwa serangan terhadap Jokowi jauh lebih hebat dan bertubi-tubi dibanding kepada Prabowo. Dan dia lolos.
- Pilpes 2014 ditandai dengan partisipasi rakyat yang luar biasa, termasuk mereka yang dulunya mendaku golput. Partisipasi rakyat ditandai tidak hanya dengan memberikan suaranya, tetapi juga mengawal suara tersebut. Lagi-lagi Jokowi menang telak, walau baru berdasarkan hasil hitung cepat.
- Blunder dilakukan. Kubu Prabowo-Hatta juga mengklaim diri sebagai pemenang. Rakyat pun dibuat bete, antara bingung dan sebal karena tak bisa secepatnya merayakan. Yang lebih bete tentu lembaga-lembaga survei yang untuk sesaat dilucuti kredibilitasnya. Ya sudah, tunggu sampai pengumuman oleh KPU Pusat. Pengawalan terhadap perjalanan suara diperketat.
- Pada pleno akhir di KPU sebelum penetapan hasil, sepertinya ada yang tak berhasil dicapai oleh kubu Prabowo-Hatta, karena antisipasi sudah dilakukan dengan menyiapkan maklumat yang sama yang dibacakan oleh Prabowo di Gedung Polonia, maupun yang dibacakan timnya di KPU. Bacaan kroco: sudah tahu akan kalah! Blunder dilakukan lagi dengan aksi walkout dari ruang KPU. Bacaan kroco: berharap KPU menghentikan proses dan 'merayu' untuk kembali, atau setidaknya Husni Kamil Malik menunjukkan ekspresi 'tak rela', tapi nyatanya tidak. Sidang hanya diistirahatkan sebentar untuk sholat. Dari pantauan berbagai percakapan di media sosial, khususnya untuk mereka yang tinggal di daerah Jakarta, ada sedikit ketakutan dan kebingungan di awal tapi setelah itu lebih banyak guyonan dan lucu-lucuan. Jokowi ditetapkan sebagai Capres, dan kemenangannya diklaim sebagai kemenangan rakyat.
- Gugatan ke MK oleh Tim Prabowo-Hatta tentu perlu dihargai sebagai penggunaan jalur yang tersedia secara benar. Persoalannya cuma satu, petitum maupun posita yang disampaikan benar-benar compang-camping. Bahkan di sidang pertama, proses yang berlangsung kurang lebih seperti dosen sedang mengajari mahasiswa tingkat satu cara menulis paper yang benar. Kesaksian maupun bukti-bukti yang diajukan kurang kuat mendukung petitum yang diajukan. Memang selengkap apapun data yang dimiliki KPU untuk membantah semuanya, harus diakui bahwa Pilpres ini tidak sempurna, tetapi patut diapresiasi juga segala terobosan KPU dalam penyelenggaraan Pilpres kali ini. Jika MK cukup tegas, harusnya gugatan ditolak sejak awal. Tapi untuk alasan kanalisasi ketidakpuasan pihak yang 'kalah', baiklah persidangan ini dilakukan. Hanya ini pilihan yang tersedia untuk Tim Prabowo-Hatta. Walaupun mereka memobilisasi massa untuk berorasi sepanjang hari-hari sidang di depan gedung MK, tapi tak ada celah kanalisasi lain sejak pihak terkait terkesan 'tidak peduli' dan 'mending mengerjakan hal yang jauh lebih penting di Balai Kota atau di Rumah Transisi daripada meladeni jeritan hati Prabowo-Hatta'. Stasiun TV yang setia meliput penuh pun tinggal satu, seolah ini bukan lagi event besar yang harus menyedot perhatian pemirsa. Padahal dibutuhkan sebuah situasi 'genting' agar rakyat kembali merindukan sosok pemimpin yang tegas ala militer, sebagaimana selama ini dilekatkan pada figur Prabowo. Bahkan suasana patriotisme dan heroisme yang susah-susah dibangun saat HUT RI lalu, jadi berita yang tidak sebeken berita sang Rival yang mainan balap karung dan tiduran di lapangan bola.