Kristin memandang ruang tamu rumah Ni dan bukannya Ni tak tahu. Karena setelah itu Kristin bertanya; kok, tak ada pohon natal di rumahmu. Jangan bilang kau tak sanggup membeli. cecar Kristin. Yang pada awal Ni jawab merayakan Natal tak harus memaksakan diri ada pohon Natal, yang ada lampu warna warni kan?
"Tapi Elisabeth, di rumah aku saja... yang Papih Muslim saja... kami menghias Pohon Natal...." Kristin masih belum puas juga dengan jawaban Ni. Oh, iya, Kawan... asal tahu saja, Papih Kristin Muslim sedang Mamih dan Kristin Nasrani. Dan Ni memahami benar Kristin bakal mendesak terus soal Pohon Natal.
"Mamih Ni, yang memang nggak mau ada Pohon Natal, Kristin. Mamih Ni yang tidak ingin mencolok saja merayakan. Tahu kan kalau Ni hidup di Kampung... mau masuk saja kudu lewat gang, masuk lagi lewat jalan setapak. Kami di sini Minoritas, Kristin... merayakan Natal dengan wajar dan sederhana adalah pilihan tepat yang diajarkan Mamih ke Ni dari kecil...."
Kristin tersenyum. Mamih datang dan lalu makan siang bersama. Bertiga. Setelah itu Ni dan Kristin pergi untuk main ke rumah teman-teman Mantan SMA dan Teman Kampus, lalu berencana masuk keluar kampung kumuh membagikan Pohon Natal sore nanti. Dalam perjalanan naik Taksi Kristin memuji masakan Mamih Ni enak. Menjadikan Ni mengingat masa kecil dulu, sebagai satu-satunya warga Minoritas, Cina dan Nasrani pula di Kampung padat penduduk menerima perlakuan yang membuat Ni dan Mamih mengelus dada.
Ada tetangga datang, bertamu, saat Hari Besar Natal. Yang rupanya datang hanya untuk menyelidiki justru setelah bertanya soal makanan yang tersaji di meja makan.
"... ini bukannya saya mau minta makan. Tapi, saya menanyakan masakan apa yang dimasak hanya untuk memastikan, makanannya halal kan. Tidak masak daging hewan itu kan?" kata tetangga itu yang tanpa permisi membuka saji di meja makan.
" ini... bukan saya mereweli, lho. Masak daging ayam atau sapi saja, ya... Ibu kan tahu sendiri hidup di mana, kan di kampung yang sensitif begini orangnya... ini bukan mereweli saya... cuma mengingatkan... biar tidak terjadi apa-apa...."
Mamih tetap tersenyum. Tidak menampakan wajah tak suka, wajah marah, wajah jengah ada tamu tetangga yang dengan santainya datang ke rumah hanya untuk mengecek makanan saat hari besar kami. Walau pun ketika tamu tetangga itu pergi Mamih menghela nafas panjang.
Toh, tetap saja hari-hari berikutnya Mamih menyiapkan kue-kue, memasak masakan istimewa bila Natal tiba. Bahkan bukan hanya Natal tapi juga saat Lebaran, selalu menyiapkan kue-kue dan masakan istimewa. Dan selalu ada yang datang. Dengan salah satunya mengecek makanan seperti Koki Kepala di Hotel Bintang Lima saja.
Ni kagum juga dengan Papih Kristin itu, yang Muslim, yang Mamihnya Nasrani, yang tetap hidup berdampingan dalam satu biduk rumah tangga. Ni selalu datang setahunnya dua kali, saat Lebaran untuk menyalami Papih Kristin dan Kakak Kristin, dan saat Natal untuk merayakannya bersama Mamih dan Kristin serta adiknya.
Bedanya, di rumah Kristin saat Natal tetap ada Pohon Natal....