Ketika tengah asyik menguncir rambut sebahu saya ini, tiba-tiba seseorang menegur saya dengan suaranya yang khas agak kemayu itu...
" mbaak.... lagi ngapain sendirian disitu ? ", sapanya sambil senyam senyum.
Namanya Mimin, janda beranak dua. Usianya kira-kira 35th lebih sedikit ( entah lebihnya berapa bulan). Laki-laki semua anaknya, yang pertama Danang sudah SMA kelas-2 mungkin kalau terus bersekolah. Tetapi waktu kelas-3 SMP dia sudah tidak mau melanjutkan sekolah meski sudah dirayu guru dan ibunya, juga dinasehati banyak orang. Yang kecil/bungsu Dedik masih SD kelas -3, dan 3 kali tidak naik kelas. Ayah mereka entah dimana setelah bercerai dengan ibunya. Tidak pernah nampak batang hidungnya lagi, bahkan ketika Hari Raya Idul fitripun tak pernah datang untuk sekedar menengok anak-anaknya atau melepas rindu pada buah hatinya. Dengar-dengar sih sudah menikah lagi.
Saya mencoba mencari arah sumber suara itu, kemudian memutar leher dan wajah saya kearah pemilik suara itu sambil membalas sapanya,
"oh... ini lagi nunggu keringat kering sehabis berkebun", jawab saya sambil membalas senyumannya.
" Enggak kepasar mbak ?", tanyanya lagi sambil mengibaskan sesuatu dibaju yang dikenakannya.
Entah terkena kotoran atau apa saya kurang tahu. Tapi akhirnya membuat saya memperhatikan penampilannya juga. Dia mengenakan atasan yang mengikuti tren mode saat ini alias sedikit ketat, warna pink dan celana jeans warna biru donker. Lipstiknya kelihatan segar menempel dibibirnya dan bedaknya juga membuat penampilannya beda dengan kesehariannya dirumah. Sebenarnya kelihatan kurang serasi dimata saya, tetapi selera orang kan berbeda-beda. Timbullah pertanyaan dibenak saya, dan membuat saya ingin bertanya juga akhirnya.
" Wah... mau kemana kok sudah cantik begitu ?... ".
" nggak kemana-mana mbak. Ini lho diajak teman, jalan. Saya juga belum tahu kemana tujuannya sih... ", jawabnya sambil tersipu-sipu
Setelah menjawab pertanyaan saya, Mimin berpamitan hendak meneruskan langkahnya. Diapun terus beranjak meneruskan langkahnya yang tadi terhenti untuk sekedar bertegur sapa dengan saya. Pandangan saya terus mengikutinya sampai ujung jalan. Setelah itu saya masuk kedalam dan bersiap-siap untuk mandi dan beraktifitas rutin seperti biasanya sebagai seorang ibu Rumah Tangga.
Siang hari ketika anak-anak pulang sekolah, kembali saya mulai sedikit sibuk. Menyiapkan makan siang mereka dan setelah itu menemani tidur siang mereka. Ketika anak-anak tidur siang biasanya saya membaca buku apa saja jika saya tidak bisa tidur. Siang itu sambil bersandar dipunggug tempat tidur saya membaca sebuah buku. Tengah asyik membaca saya mendengar suara ibu-ibu sedikit ribut diluar rumah. Saya menghentikan bacaan dan iseng coba menengok keluar lewat jendela kamar untuk mengetahui apa yang terjadi.
Seorang ibu yang membuka toko, bu Imah tetangga depan rumah bergidik-gidik. Juga ibu Erna yang sedikit gemuk tetangga sebelah rumah ibu Imah ikut-ikutan bergidik dan hampir bersamaan mereka mengeluarkan ungkapan ngeri atau apa saya kurang tahu..." HHHiiiii.... !!! ". Tetangga sebelah rumah saya Bu Neny yang nampaknya juga turut penasaran sudah keluar rumah bergabung dengan mereka. Kemudia saya dengar dia bertanya,
" ada apa kok saya dengar ribut-ribut bu Imah ? "
" Iiihh... ini lho bu Neny, si dedik kirain bawa apa ? Didalam kardus kue yang dibawanya itu ternyata isinya ulat bulu buanyaakk buu... hiiihhh... ", Jawab bu Imah sambil bergidik-gidik.
" hah... ?? untuk apa bu, kok aneh? Ada-ada saja...", kata bu Neny keheranan.
" Iyaa... apa nggak gatal semua itu anak ? ", bu Erna ikut menyahuti.
Setelah itu saya kurang jelas mendengar apa yang diperbincangkan ibu-2 itu dari dalam kamar. Dan nampaknya ada beberapa orang ibu lagi yang ikut bergabung disitu, ikut nimbrung dalam pembicaraan mereka.
Sementara itu si Dedik kelihatan tersenyum-senyum melihat ibu-ibu ketakutan melihat dia membawa ulat bulu dalam kardusnya itu.
Sedangkan saya yang memang dasarnya takuuut banget dan juga ngeeriii dengan ulat, tidak berani keluar rumah. Cukup hanya melihat peristiwa itu dan mendengar obrolan mereka dari balik jendela kamar. Kemudian ada seorang teman dedik datang mendekatinya mencoba ingin melihat isi kardus itu, mungkin penasaran juga. Karuan saja ibu-ibu kembali histeris sambil bergidik-gidik.
Kemudian Bu Erna yang terkenal agak bawel itu mulai kelihatan kesal dan akhirnya mulai ngomel-ngomel.
" ah... dasar anak nakal !, gak pernah diurus sama orangtuanya ya gitu itu ! Sekolah sudah sering nggak naik kelas, bandelnya minta ampun... ! Jangan dibuka disini itu kardusnya. Awas kalau sampai ulat-ulat itu keluar kardus dan tercecer ya ! Bawa sana yang jauh jangan disini!. Buang sana itu ulat-ulatnya, bakar aja! ".
Kemudian sambil tetap tersenyum-senyum tanpa rasa bersalah siDedik pergi dari situ, terdengar dia tertawa-tawa di kejauhan.
Entah diapakan dan dibawa kemana itu ulat satu kardus. Saya hanya geleng-geleng kepala sambil kembali hendak meneruskan membaca.
Saat mulai membaca tiba-tiba saya teringat cerita anak saya yang menceritakan kenakalan Dedik beberapa waktu lalu. Katanya dia pernah mengikat leher seekor anak kucing dengan tali rafia, kemudian ditarik talinya itu hingga sikucing mengeong-ngeong. Tetapi sidedik malah semakin kuat menarik tali kucing itu.
" Kasihan ma kucingnya ", kata anakku waktu itu.
Selang sehari saya mendengar kabar dari orang-orang dan ibu-ibu juga anak saya, kata mereka kucing itu disembelih sama siDedik !
Saya kaget dan hanya bisa geleng-geleng kepala waktu mendengar cerita itu.
Teringat hal itu, saya terdiam lama. Tercenung.....
Ingatan saya kembali pada beberapa waktu lalu ketika si Mimin pergi bekerja keluar pulau meninggalkan anak-anaknya yang dititipkannya pada sang nenek waktu itu. Sering siDedik main kerumah mencari anak saya. Dan terkadang saat tiba waktu makan, siDedik masih berada dirumah kami. Dia ikut makan dirumah dengan anak-anak saya. Dia juga pernah menginap dirumah kami beberapa kali.
Waktu itu sering saya nasehati dia supaya sekolah yang pintar dsb. Sewaktu mendengarkan kata-kata saya sepertinya dia memperhatikan tetapi kadang terlihat tatapannya kosong.
Pernah suatu ketika saya memergoki dia sendirian dibelakang halaman rumah kami sambil duduk bersendeku memegangi kedua lututnya dan melamun. Waktu itu anak saya sedang mengambil mainan didalam rumah dan siDedik menunggu dibelakang.
Saat itu saya tertarik untuk mendekatinya. Ketika saya berada disampingnya saya mencoba menyapanya. Dan dia terlihat terkejut sambil menatap mata saya. Ketika beradu pandang itulah saya menangkap kilatan bening dimata kecilnya, mata seorang bocah yang terlihat sedih....
Pada saat itu saya mencoba bertanya perlahan padanya sambil berusaha mengajaknya bercanda,
" Lagi ngelamun yaa... hayoo... masih kecil nggak boleh melamun !, kamu sedang melamun ?", tanyaku.
"ah... eh.. ah.. enggaaakkk kook...", jawabnya sambil berusaha menyembunyikan wajahnya dengan memalingkan muka dari saya.
Kemudian saya berusaha tersenyum kepadanya, dan mencoba mencari tahu ada apa dengannya? Sebab dia terlihat begitu sedih.
Selama ini yang terlihat, dia adalah anak yang banyak tingkah, aktif dan banyak bicara bahkan terkadang terdengar umpatan dan kata-kata jorok dari mulutnya.
Sebagai orangtua ada rasa khawatir anak saya ikut terbawa atau tertular kebiasaan buruknya bicara tidak sopan dan bicara jorok, juga khawatir kenakalannya ikut mencemari anak saya. Saya sering ingatkan anak saya untuk tidak ikut-ikutan berbuat begitu meskipun dia berteman dengan Dedik. Namun begitu, siDedik sendiri jika berada dirumah kami kelihatannya mau menurut dan tidak terlihat liar seperti waktu diluar rumah bersama dengan teman-temannya.
Saya mencoba bertanya pada Dedik yang masih berusaha menutupi galaunya itu,
" Kamu kangen yaa sama ibumu ? ", tanyaku hati-hati.
Kuperhatikan sepertinya dia tak mampu mengeluarkan kata-kata, tetapi dengan setengah memaksakan diri dia berusaha untuk menjawab terbata-bata, sambil menganggukan kepalanya.
" i..h.. iyaa.. kangen ibu, kangen ayah.... ", jawabnya sambil terdengar hela nafasnya yg tertahan.
Aku tercekat, terharu dan tak mampu lagi meneruskan perbincangan dengannya.
" ya sudah jangan terlalu diingat-ingat, ibumu kan kerja jauh-jauh juga untuk kamu dan kakakmu. Ayahmu nanti siapa tahu waktu Lebaran datang...., sekarang main aja sana sama Irsyaad yaa... ". (Irsyaad nama anak saya).
Sambil menghela nafas dalam-dalam saya memperhatikan si Dedik, dia berlari mengambil mainan yang dikeluarkan anak saya.
Mungkin tak banyak kata yang dapat menghiburnya, walau saya berusaha menghiburnya dengan kata-kata dan kalimat manis sekalipun. Baginya tak akan bisa menghapuskan segala perasaan rindu seorang bocah akan belaian kasih sayang seorang ayah atau ibu yang didambakannya. Tak mampu hapuskan kesedihannya, jua airmatanya yang coba dia tahan sekuat hati untuk tak nampak dihadapan orang lain. Tetapi sungguh hatiku merasakan benar betapa luka, duka dan galau hatinya.......
Saya letakkan buku yang tengah saya pegang, dan tidak jadi melanjutkan membacanya. Saya mencoba untuk mencari-cari korelasi antara perilaku dedik yang terkadang terlihat aneh dengan jalan hidupnya yang mengenaskan.
Sebenarnya panjang ceritanya jika harus mengisahkan sosok hidup seorang Dedik kecil ini. Tetapi secuplik ini mungkin sudah cukup menjadikan kita para orangtua khususnya, dan masyarakat pada umumnya untuk bisa menjadi lebih bijak menyikapi kasus-kasus kehidupan seseorang yang seperti Dedik kecil ini jika itu ada dilingkungan sekitar kita.
Akhirnya sebagai manusia kita terkadang dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang coba mempertanyakan hakikat kita sebagai seorang manusia. Adakah, atau Apakah kita sudah menjadi manusia yang manusiawi terhadap manusia-manusia disekitar kita ??? atau apakah kita sudah memanusiawikan sesama manusia sebagai hambaNYA ???.... jawabannya ada dihati kita masing-masing.......
*) Jika ada kemiripan atau kesamaan dalam Nama, peristiwa dan tempat, itu mungkin hanya kebetulan semata....
Gemuruh Rasa, Sabtu 11 juni 2011.