Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

MK Mendukung Penerapan e-Voting dalam Pemilu Elektronik di Indonesia

3 Juli 2012   09:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:19 798 0
JAKARTA-GEMPOL, Pemerintah kembali berpikir tentang Pemilihan elektronik (e-Voting) agar bisa segera di terapkan pada pemilu tahun 2014. Hal ini diharapkan mampu mengatasi permasalahan dalam penyelenggaraan pemilihan umum yang telah lalu tanpa mengesampingkan azas Pemilu Indonesia yang luber dan jurdil.

E-Voting bertujuan untuk mengurangi peluang kesalahan dan penyalahgunaan dalam proses pemungutan dan penghitungan suara yang berarti mengurangi waktu dan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat.

Pemberian suara elektronik (e-Voting) telah diperkenankan manjadi salah satu metode pemberian suara oleh MK dalam Amar Putusan No. 147/PUU-VII/2009.

Aplikasi yang sesuai teknologi dan desain yang cermat, termasuk pendekatan proyek manajemen yang ketat, visi program e-Voting untuk Pemilu 2014 akan tercapai. Pemungutan suara dengan metoda menggunakan perangkat elektronik (electronic voting/e-voting) sudah dapat diterapkan untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Untuk itu pemberlakuan pemungutan suara dengan menggunakan perangkat e-Voting ini perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan KPU.

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemungutan suara dengan metoda e-Voting dapat digunakan dan tidak melanggar konstitusi. MK menyatakan e-Voting dapat digunakan asalkan memenuhi sejumlah persyaratan kumulatif, yakni tidak melanggar asas Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) serta jurdil (jujur dan adil).

Mahkamah Konstitusional (MK) dalam keputusannya memperbolehkan diadakannya e-Voting di Indonesia sejauh tidak melanggar asas pemilihan umum (pemilu) yaitu Luber dan Jurdil serta tersedianya fasilitas penunjang e-Voting baik dari sisi teknologi maupun SDM nya. Penggunaan e-Voting hanya dapat dilaksanakan konstitusi bila semua proses dan piranti yang digunakan dapat diawasi oleh setiap orang tanpa harus memiliki pengetahuan dan keahlian teknologi informasi.

Negara Indonesia menurut rencana akan melakukan elektronik Voting atau yang lebih terkenal dengan nama e-Voting pada pemilu (pemilihan umum) tahun 2014.

Akan tetapi sebagai negara maju, Jerman menolak dilakukan e-Voting, hal ini terlihat seperti pada acara pertemuan akbar Mahkamah Konstitusi Asia yang di ikuti oleh 26 negara   tanggal 12-15 Juli 2010 di Jakarta, Konferensi ke-7 Hakim MK Asia.

Mahkamah Konstitusi negara Jerman yakni delegasi dari MK Republik Federal Jerman, Hakim Rudolf Mellinghoff menyatakan,”MK Jerman memutuskan bahwa e-Voting adalah bertentangan dengan konstitusi Jerman.”

Hingga saat ini penggunaan e-Voting akan menutup hak setiap orang mengawasi proses perhitungan suara karena dilakukan secara otomatis oleh komputer yang hanya diketahui oleh ahli komputer atau IT sehingga bertentangan dengan prinsip keterbukaan publik serta sangat rawan menghadapi kesalahan program dan ancaman pihak-pihak tertentu yang mengubah hasil pemilu dengan mengintervensi system yang digunakan tanpa diketahui oleh publik.

Kasus penggunaan e-Voting yang bermasalah adalah di negara Amerika Serikat pada saat pemilihan Presiden Bush, pemilu Presiden Ukraina pada 2004 serta pemilihan umum di Georgia.

DI Indonesia sendiri seperti pada kasus Tabulasi Nasional pemilu 2009 di Hotel Borobudur, April 2009 yang lalu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dimana perhitungannya sangat lambat, beberapakali sistem komputer KPU diserang oleh para hacker, malah suara salah satu kandidat anggota dewan mencapai angka 110 juta, data-data yang masuk tidak sesuai dengan yang diharapkan dan ketika acara perhitungan manual dilakukan, hasilnya lebih cepat daripada perhitungan secara elektronik.

Jadi sesuai dengan keputusan MK, masalah mencontreng, mencoblos, kemudian boleh menggunakan layar sentuh itu ada lima syarat kumulatif yang harus dipenuhi. Lima syarat kumulatif itu adalah teknologinya, pembiayaan, SDM, perangkat lunak, serta masyarakat itu sendiri, jadi lima syarat kumulatif ini harus dipenuhi.

Kasus di MK adalah pemohon seorang warga negara Indonesia yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 untuk memberikan suara dalam pemilihan kepala daerah terhalang oleh Pasal 88 UU 32/2004 yaitu “pemberian suara untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan  dengan mencoblos salah satu calon dalam surat suara”.

Metode mencoblos ini telah menghalangi hak para Pemohon untuk melakukan metode lain yang lebih baik yaitu  e- Voting yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi sesuai dengan Pasal 28C UUD 1945.

Dengan demikian para Pemohon telah memenuhi persyaratan memiliki kedudukan hukum (legal standing) sesuai Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005, Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya.

Penggunaan  e-Voting  dalam Pemilu menghasilkan suatu proses yang cepat, dan tidak hanya vote (melakukan pemilihan), tetapi juga counting the vote (menghitung suara). Dalam waktu yang cepat, setelah semua pemilih selesai memberikan suaranya, akan langsung ketahuan si A mendapatkan berapa persen; si B mendapatkan berapa persen; dan hasil akhirnya ada di unit kontrol.

Jadi  quick count  tidak dibutuhkan lagi kalau  e-Voting  diterapkan, lembaga-lembaga survei siap-siap untuk membubarkan diri. Ahli berkesimpulan, bahwa pemberlakuan  e-Voting ini menjawab berbagai permasalahan seperti kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu, kerisauan-kerisauan masyarakat yang tinggi, dan mahalnya biaya pelaksanaan Pemilu;

Putusan MK pada hari Selasa, 30 Maret 2010, sesuai dengan Amar Putusan No. 147/PUU-VII/2009 adalah sesuai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga kata, “mencoblos” dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diartikan pula menggunakan metode e-Voting dengan syarat kumulatif sebagai berikut:

a. tidak melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil;

b. daerah yang menerapkan metode e-Voting sudah siap dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia maupun perangkat lunaknya, kesiapan masyarakat di daerah yang bersangkutan, serta persyaratan lain yang diperlukan;

Pemungutan suara elektronik atau electronic voting (e-Voting) telah diperkenankan menjadi salah satu metode pemberian suara yang sah oleh Mahkamah Konstitusi dalam amar Putusan No. 147/PUU-VII/2009. Disamping keputusan MK tersebut diatas maka penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam pemilu juga telah mendapatkan landasan hukum yang kuat dengan telah diberlaskukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 yang mengatur tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Dalam UU ITE pasal 5 disebutkan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Dengan demikian maka hasil pemilu yang di hitung dan disampaikan secara elektronik telah dapat dipergunakan sebagai alat bukti hukum yang sah untuk menentukan hasil pemilu. Hal lainnya adalah perlunya rekomendasi teknis penyelenggaraan pemilu elektronik yang akan terus diperbaiki dan disempurnakan agar menjadi standar pemilu elektronik indonesia untuk menjamin pemilu elektronik yang berkualitas dan bertanggung jawab.

Penilaan bahwa sistem pemilu elektronik berfungsi dengan baik  dan sistem keamanan yang terjamin merupakan hal yang sangat penting dalam rangka adaptasi teknologi. Setiap komponen teknologi wajib diuji dan disertifikasi sesuai persyaratan teknis.

Persyaratan teknis tersebut meliputi enam bidang yang berbeda yaitu aksesibilitas, interoperabilitas, sistem operasi, keamanan, audit dan sertifikasi. Terakhir tentu saja yang sangat penting adalah acuan teknis yang diadopsi wajib memenuhi azas pemilu Indonesia yaitu luber jurdil. Selamat memilih para wakil-wakil Anda pada pemilu nantinya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun