Sejak kemenangan di tahun 1839 itu, hubungan Mataram dengan Karangasem Bali memanas. Mataram berusaha mendapatkan Karangasem agar menjadi daerah bagianya. Namun, bagi Karangasem yang sejak 1740 menganggap Lombok sebagai vasal, tentu saja tidak bersedia menjadi bawahan Mataram.
Kesempatan mendapatkan Karangasem muncul pada tahun 1846. Pada tahun itu, pecah perang antara Belanda dengan Buleleng dan Karangasem, Mataram mencoba menawarkan bantuan pasukan pada Belanda.
Tawaran itu terjadi pada tanggal 3 April 1846. Saat itu, beberapa utusan raja Mataram yang dalam perjalananya ke Batavia tiba di Surabaya. Pada Belanda yang ada di Surabaya, utusan raja tersebut menyampaikan pesan raja Mataram, bahwa raja bersedia menyediakan pasukan untuk membantu Belanda dalam perang menghadapi Buleleng dan Karangasem (Bali Abad XIX, Agung;1989)
Namun, tawaran itu akhirnya diterima tiga tahun setelahnya, tepatnya pada tahun 1849.
Pada 1849, kembali pecah perang antara Belanda dengan Buleleng dan Karangasem. Perang 1849 atau yang dikenal dengan nama perang Jagaraga adalah lanjutan dari perang 1846.
Buleleng dan Karangasem pada tahun 1849 adalah dua kerajaan yang bersaudara. Sejak kematian, I Dewa Pahang yang selanjutnya di ganti oleh I Gusti Ngurah Made Sori, Buleleng berada di bawah pengaruh Karangasem, lebih lebih setelah kematian I Gusti Ngurah Made Sori yang digantikan oleh I Gusti Ngurah Made Karangasem, Buleleng mutlak bagian dari Karangasem. Karangasem sendiri saat itu diperintah oleh raja yang bernama I Gusti Gde Karangasem (Putra Agung:2009;79)
Dalam perang Jagaraga 1849, Buleleng dan Karangasem tidak berjuang sendirian. Raja Mengwi dan Klungkung menggabungkan diri dalam pertempuran. Bergabungnya beberapa kerajaan Bali menghadapi Belanda pada perang Jagaraga ini kelak akan dikenang sebagai salah satu perang dahsyat rakyat Bali dalam menghadapi Belanda.
Menurut catatan yang ditulis oleh Dinas Sosial Kabupaten Buleleng, penyebab dari perang Jagaraga ini adalah tidak patuhnya Karangasem dan Buleleng pada perjanjian yang dibuat dengan Belanda tahuh 1846. Perjanjian itu dibuat atas dasar kalahnya dua kerajaan tersebut dalam perang 1846.
Adapun isi perjanjian 1846 itu adalah
1.Kedua kerajaan harus mengakui Belanda sebagai tuanya.
2.Tidak boleh membuat perjanjian dengan bangsa lain selain Belanda.
3.Menghapus hukum tawan karang
4.Membayar biaya perang sebesar 300.000 Gulden, yang 2/3 di bayar oleh Buleleng dan 1/3 dibayar oleh Karangasem. Cicilan itu dibayar dalam jangka 10 tahun.
Dalam buku terbitan tahun 1897, karya G Nypels, berjudul De Expedition Naar Bali in 1846, 1848, 1849 en 1868, menceritakan dengan detail keterlibatan Mataram dalam perang 1849 ini.
Belanda melalui utusanya yang bernama Van Cappellen pada 14 Mei 1849 mendatangi raja Mataram. Van Cappellen membawa pesan dari Jendral Michiels yang pada intinya menyanggupi tawaran bantuan raja Mataram tiga tahun yang lalu untuk menyediakan pasukan.
Pada 18 Mei 1849, Jendral Michiels mengirimkan 10 kapal untuk mengangkut pasukan bantuan dari Mataram. Jumlah pasukan itu kurang lebih 4.000 dan dipimpin oleh I Gusti Gde Rai. Pasukan ini tiba di Pelabuhan Amuk pada 19 Mei.
Tanggal 20 Mei, bersama dengan I Gusti Made Jungutan, seorang patih Karangasem yang membelot dan memilih bergabung dengan pasukan Mataram, menyerbu desa Ujung dan selanjutnya meneruskan serangan ke puri Karangasem. Dalam usahanya mempertahankan puri, raja Karangasem gugur.
Raja Buleleng sendiri, bersama dengan patih Jelantik menyingkir ke desa Balepundak. Oleh pasukan Mataram, mereka terus dikejar. Pertempuran sengit pun terjadi di Balepundak. Dalam pertempuran ini, raja Buleleng dan patih Jelantik gugur.
Selanjutnya pada 24 Mei, pasukan Mataram bergabung dengan pasukan Belanda pimpinan Jendral Michiels dan Letkol Van Swieten. Pasukan gabungan ini terlibat pertempuran di Goa Lawah, lawan yang dihadapi adalah pasukan Dewa Agung dari Klungkung dan pasukan Dewa Pahang dari Gianyar. Klungkung dan Gianyar dapat dipukul mundur, dan tepat pada pukul 3 sore, Belanda berhasil menduduki Kusamba.
Nasib malang menimpa Jendral Michiels, tanggal 25 Mei, lewat serangan mendadak yang dilakukan pasukan Klungkung, ia tertembak dan meninggal tepat tengah malam. Atas kematian Jendral Michiels, komando pimpinan diserahkan pada Letkol Van Swieten
Sebagai bukti pasukan Mataram telah berhasil mengalahkan Buleleng dan Karangasem. Bertempat di Padang Bai, pimpinan pasukan Mataram, I Gusti Gde Rai pada 28 Mei, menyerahkan tiga buah keris kepada Letkol Van Swieten. Tiga keris itu masing masing milik raja Buleleng, raja Karangasem dan patih I Gusti Jelantik.
Atas jasanya membantu Belanda, Mataram dan Belanda pada 21 Juli 1849, membuat kesepakatan yang terdiri dari 17 pasal dan pasal terakhir menyebutkan; "Tanpa ijin pemerintah Belanda, Karangasem tidak akan diperkenankan jatuh kepada raja lain, kecuali raja Mataram". (Parimartha:2011;34)
Dengan adanya perjanjian itu, maka sah sudah Karangasem milik Mataram. Menindaklanjuti hal tersebut, raja Mataram akhirnya mengirim dua orang keponakanya untuk mulai memerintah di Karangasem. Dua kemenakanya itu bernama I Gusti Gde Putu dan I Gusti Gde Oka.
Demikian kisah singkat Mataram dalam usahanya menempatkan Karangasem dalam wilayah kekuasaanya.