Selesai dengan urusan keluarga, kunjungan singkat ke Bali kali ini, saya gunakan untuk mengunjungi makam Mads Lange. Nama lengkapnya adalah Mads Johansen Lange. Lahir di Rudkobig, Denmark pada 18 September 1807.
Berbekal google map, bersama Fandy Endot adik kandung saya, kami menuju jalan by pass Ngurah Rai. Tanpa kesulitan yang berarti, kami akhirnya sampai di jalan Tuan Lange. Dari plank jalan, makam Mads Lange hanya berjarak 50 meter, tepat di sisi kiri jalan.
Makam itu terlihat terawat dengan ornamen yang indah di sana sini. Patung kepala Mads Lange nampak berdiri di depan makam. Berbagai prasasti tertempel di seputaran tempat itu. Isi prasasti rata rata adalah keterangan tahun pemugaran makam dan nama nama pemugar. Jika melihat nama nama di prasasti, besar kemungkinan, mereka ini adalah keturunan dari Mads Lange. Salah satunya adalah keluarga dari sultan Johor.
Saya cukup tertarik dengan kisah dan sejarah hidup Mads Lange. Memandang patung kepala dan monumen di atas makamnya, menyeret ingatan saya pada cerita 191 tahun yang lalu, saat Mads Lange muda menginjakan kakinya pertama kali di Lombok.
Mads Lange tiba di Lombok sekitar tahun 1830 bersama rekannya John Burd, kapten kapal The Syden. Awalnya mereka merupakan perwakilan dagang untuk  perusahaan multinasional Jardine  Matheson & Co yang berpusat di Canton, China.
Namun, berkat hubungan baiknya dengan Raja Karangasem Sasak, mereka diberi kemudahan untuk membangun sebuah firma sendiri bernama Burd & Co. Raja memberinya izin tinggal dan membangun kantor di Tanjung Karang.
Dari tempat ini Mads Lange mengumpulkan aneka hasil bumi mulai dari beras, ternak, kayu sepang dan lainnya untuk diekspor ke China, Singapura, Mauritius dan Australia. Dari luar ia kemudian memasok ragam barang semisal candu (opium) kain lena, amunisi dan senjata.
Alfons van der Kraan dalam Lombok: Conquest, Colonization, and Underdevelopment, 1870-1940 menyebut, pada rentang tahun 1775 sampai dengan 1840, trah trah Karangasem yang ada di Lombok bagian barat terpecah menjadi empat kekuatan utama. Para pengeran berebut kuasa. Yakni Cakranegara (Karangasem Sasak), Mataram, Pagesangan dan Pagutan. Dari empat kekuatan itu, Karangasem Sasak dan Mataram adalah dua kekuatan terbesar.
Karangasem Sasak, memanfaatkan Tanjung Karang sebagai pelabuhan utamanya, sedangkan Mataram menggunakan pelabuhan Ampenan. Awalnya persaingan dua pelabuhan ini sempat membuat perdagangan di pantai barat Lombok menggeliat. Para pedagang Perancis dan Bourbon kerap singgah melakukan pertukaran. Mereka menyukai beras berkualitas dengan harga terjangkau yang tersedia di Tanjung Karang.
Mads Lange, yang meminta perlindungan pada raja Karangasem Sasak menuai kesuksesan dalam usaha niaganya.
Kesuksesan Mads Lange tersebut bukan tanpa saingan. Di periode yang sama muncul juga seorang saudagar Inggris, George Peacock King alias GP King. Seperti halnya Mads Lange ia juga merupakan pengumpul hasil bumi dan memasok ragam kebutuhan dari mancanegara.
Bedanya, GP King memilih para Pangeran dari Puri Mataram sebagai patron. Karena itu ia membangun pusat usaha di Pelabuhan Ampenan. Geliat perekonomian di pesisir barat Lombok semakin hidup. 1836 tercatat ada 18 kapal asing milik pengusaha Inggris dan Prancis rutin bongkar muat  di Tanjung Karang dan Ampenan.
Namun demikian kondisi ini tak berlangsung lama. Intrik perebutan kuasa akhirnya pecah menjadi perang saudara terbuka tahun 1837-1838. Puri Mataram bersiap melawan saudara tuanya di Tanjung Karang.
Tak pelak, konflik ini menarik Mads Lange dan GP King dalam kubu berseberangan. King di pihak Mataram mengerahkan ratusan personel dan kapal dagangnya untuk keperluan perang. Mereka mengangkut senjata Mataram yang dibeli dari Singapura serta bala bantuan prajurit dari Karangasem Bali.
Sementara Mads Lange dengan persenjataan dan pengalaman militernya membantu Raja Tua dari Purinya di Tanjung Karang. Hasilnya seperti tertulis sejarah kubu Tanjung Karang yang dibela Mads Lange kalah.
Kekalahan ini membuat Lange menjadi buronan Mataram. Ludvig V Helms dalam Pioneering in The Far East (1882) mengulas bagaimana detik-detik Mads Lange menyelamatkan diri dari Tanjung Karang.
Dalam detik-detik menegangkan itu Lange nyaris terbunuh. Beruntung ia terselamatkan oleh kuda tunggangannya. Konon dalam kepungan itu ia sempat menembak kepala seorang prajurit yang menghalangi dirinya menuju pantai. Ia berhasil kabur dan berenang menuju kapal yang siap membawanya ke Bali.
Dalam pelariannya Mads Lange mendapat perlindungan dari sahabat lamanya John Burd di Kuta, Bali. Di sana ia memulai kembali usahanya sebagai agen perdagangan bagi I Gusti Gede Ngurah Kesiman (Raja Kesiman) salah satu bangsawan paling berpengaruh di Kerajaan Badung.
Di Kuta, nasib baik menaungi Mads Lange. Ia mampu membangun imperium bisnisnya jauh lebih besar dan kuat dibanding apa yang telah hilang di Tanjung Karang.
Ludvig Helms, menggambarkan sebagai simbol keberhasilannya Mads Lange membangun rumah mewah bercat putih ala Eropa. Lengkap dengan segala perabot terbaik di zamannya, mulai dari meja biliar, bar pribadi hingga pemutar musik. Ini belum termasuk pabrik dan komplek pergudangan sebagai basis usaha.
Dalam naungan Puri Kesiman, ia menjadi pengusaha utama di Bali Selatan. Tak hanya soal perdagangan pihak kerajaan juga kerap mempercayai Mads Lange dalam urusan-urusan diplomatik dengan bangsa-bangsa Eropa. Karena itulah para pendatang Eropa menjulukinya sebagai King of Bali (Raja Bali).
Namun demikian intimnya keterlibatan Mads Lange dalam urusan internal kerajaan dengan Belanda diyakini menjadi penyebabnya kematiannya di usia relatif muda (48 tahun) pada 13 Mei 1856. Kuat dugaan ia diracun.
Sementara itu dari pernikahannya dengan seorang perempuan Bali ia dikaruniai dua putra William dan Andreas Peter. Kemedian dari seorang Tionghoa, ia mendapat seorang putri bernama Cecilia Catharina. Kelak Cecilia menikah dengan Pangeran dari Kesultanan Johor, Malaysia. Sedangkan imperium bisnisnya tak bertahan lama di tengah para pewarisnya.
Keberadaan monumen di makam Mads Lange cukup membahagiakan bagi orang seperti saya. Dengannya kita bisa belajar tentang masa lalu. Dan mempelajari masa lalu akan selalu memberikan kita perspektif baru dalam memandang masa kini.