Sebelum memulai cerita, ada baiknya kita bahas sedikit mengenai babad, ini penting agar kita semua bisa memahami di posisi mana cerita yang saya tulis ini dalam kajian sejarah.
Lalu Agus Fathurahman seorang budayawan Lombok, dalam sebuah kesempatan pada acara bedah isi babad Lombok di musium NTB mengatakan, "Babad Lombok banyak bercerita tentang sejarah, namun belum tentu mengandung fakta sejarah".
Di lain kesempatan, Lalu Djelangga dalam bukunya yang berjudul Sejarah Lombok, mengungkapkan, bahwa sifat babad antara lain adalah mitos, legendaris, magis dan simbolis.
Sedangkan, mengacu pada ilmu sejarah, seperti halnya hikayat dan kakawin, babad dikategorikan sebagai historiografi tradisional yang mana historiografi tradisional mempunyai ciri sebagai berikut; istana sentris, religiomagis, kaya mistis dan sarat mitos.
Lantas, apakah boleh mengutip babad sebagai sumber sejarah? Jawabanya boleh, asal dengan dua cara.
Pertama, penulis harus jujur mengatakan, bahwa data yang dikutip bersumber dari babad, ini akan memudahkan pembaca menilai tingkat kebenaran data yang disampaikan.
Kedua, mengutip pendapatnya Asvi Warman Adam, seorang peneliti LIPI, hal terpenting dalam memperlakukan babad adalah harus adanya kritik sumber dan komparasi data. Kritik sumber akan menjawab kejelasan babad, penulisnya siapa, terbitnya kapan, apakah asli atau salinan dan seterusnya. Sedangkan komparasi data akan mengungkap kevalidan data yang tersaji dalam babad.
Lebih lanjut, Asvi menerangkan tahapan yang harus dilewati jika ingin menggunakan babad sebagai sumber sejarah, tahapan itu adalah sebagai berikut ; Kritik sumber -->interpretasi-->Validasi-->Komparasi.
Berdasarkan hal hal yang saya kemukakan di atas, maka bolehlah dikatakan kalau pada sejatinya isi babad tidak 100% benar dan tidak 100% salah. Jadi, jika ada yang mengklaim babadnya yang paling benar, saya rasa itu bukanlah tindakan yang bijak, lebih lebih niat kita semua sama, yaitu membuka tabir sejarah Lombok ini seterang terangnya.
Mari kita kembali ke cerita Pohgading dalam keterlibatanya dalam perang Praya.
Keterlibatan pasukan Pohgading dalam perang Praya juga tertulis dalam bukunya Kraan, halaman 29.
Perang Praya atau lebih dikenal dengan Congah Praya melibatkan rakyat Sasak Timur dengan Karangasem Mataram, selanjutanya saya sebut Mataram.
Adapun sebab terjadinya perang dapat saya uraikan sebagai berikut;
Pada saat raja Mataram Anak Agung Gde Ngurah Karangasem memasuki usia sepuh, pada 1884, tugas pemerintahan diserahkan pada anak tertuanya yang bernama Anak Agung Made Karangasem. Di bawah pemerintahan AA Made, banyak kebijakan yang merugikan kepentingan orang Sasak. Pendeknya, AA Made tidak adil dalam memerintah.
Selanjutnya adalah adanya penolakan Praya untuk melaksanakan Apeti Getih (wajib militer), yang mana pada 22 Juni 1891, raja memerintahkan pengiriman pasukan Sasak ke Karangasem Bali dengab tujuan membantu Mataram yang tengah berperang melawan Klungkung.
Sedangkan menurut Alfons Van Der Kraan bahwa perlawanan rakyat Sasak terhadap Mataram, sebenarnya adalah upaya dari beberapa ningrat Sasak dalam menegakkan pengaruh dan kekuasaanya, yang mana selama diperintah oleh Mataram, kekuasaan dan wewenang mereka banyak dibatasi oleh penguasa Mataram.
"Watak awalnya pada hakekatnya adalah watak perjuangan antara golongan aristokrasi (perwangsa) Â yang bercita-cita tinggi sebagai golongan yang kokoh (triwangsa)". (Alfons Van Der Kraan; Lombok, Â Penaklukan, Penjajahan dan Keterbelakangan 1870-1890; Â hal 28).
Perang Praya meletus pertama kali pada 7 Agustus 1891. Perang ini dipimpin oleh Mamiq Bangkol dari Praya. Beberapa nama juga tercatat sebagai pimpinan perang Praya, antara lain Mamiq Sapian dari Praya, Mamiq Mustiaji dari Kopang, Mamiq Nursasi dari Sakra, Mamiq Ginawang dari Batukliang, Raden Wiranom dari Pringgabaya dan Raden Melaya Kusuma dari Masbagek.
Perang ini juga merupakan ajang bersatunya beberapa trah yang ada di Lombok, mulai dari trah Selaparang, Arya Banjar Getas, Pejanggik, Sakra dan trah trah lainya.
Nama Pohgading sendiri dalam babad Praya disebutkan pada pupuh Durma, bait 369,384, 404, 427, 431,432, 464 dan 467.
Bait 369 adalah bait yang pertama kali menyebut nama Pohgading. Bait itu berbunyi:
Anak Agung nde'na kocap
Tekocapang para raden para buling
Sanuga' ngiring le' puyung
Banjurna ta sangkepang
Te dawuhin mangdana nao' selapu'
Tingkah telu desa gen leka'
Pringga pita' Pegading.
Terjemahan bebasnya sebagai berikut:
Anak Agung tak tertuturkan, adapun para raden dan buling.
Semua hadir di Puyung
Lalu berapat lengkap, diundang agar tahu semua.
Ikhwal tiga desa yang akan maju
Pringga, Apitaik, Pohgading.
Diceritakan, beberapa hari setelah meletus perang Praya, beberapa pimpinan pasukan mengadakan rapat di Puyung, rapat ini membahas berita akan bergabungnya tiga desa, yaitu Pringabaya, Apitaik dan Pohgading.
Selanjutnya pada bait bait berikutnya diceritakan seorang pimpinan pasukan Pohgading yang bernama Jro Rumayat,menggabungkan pasukanya dengan pasukan dari Pringgabaya dan Apitaik dan bersama sama bergerak ke arah barat bergabung dengan pasukan yang ada di Kopang.
Sesampai di Kopang, terjadi perundingan dan diputuskan agar pasukan Pohgading dan Apitaik disuruh berbalik ke timur agar menjaga wilayah Sugian.
Selanjutnya pada bait 464 sampai dengan 467, diceritakan, pasukan Pohgading bersama pasukan dari Wanasaba dan Apitaik mendapatkan misi khusus untuk membebaskan tahanan yang berasal dari Sakra.Infonya, tahanan ini atas perintah Anak Agung ditahan dan dirantai di desa Loloan Bayan. Disebutkan jumlah tahanan itu adalah 60 orang.
Pasukan gabungan ini berangkat lewat Sembalun dengan waktu tempuh dua hari. Sesampai di Loloan, kliang Loloan diceritakan langsung menyerah. 60 orang tahanan itu dapat dibebaskan.
Misi pasukan gabungan ini berhasil.
Perang Praya ini berlangsung sampai dengan 9 Juni 1893. Selama kurun waktu 2 tahun, pihak Sasak dan Mataram sama sama saling mengalahkan. Beberapa pertempuran dimenangkan oleh Mataram, namun dalam beberapa serangan, pihak Sasak juga berhasil mendesak Mataram.
Pihak Mataram berhenti melakukan serangan saat pihak Sekarbela mulai menolak ikut berperang di pihak Mataram.
Pada Juni 1894, pasukan Belanda mulai mendarat di Ampenan. Belanda sendiri datang ke Lombok atas undangan beberapa tokoh Sasak. Undangan itu oleh Belanda digunakan sebagai pintu masuk untuk intervensi pada Mataram. Seperti diketahui, Belanda sejak 1843 sangat berhasrat untuk menguasai Lombok.
Dengan hadirnya Belanda di tanah Lombok. Perang Praya memulai babak baru. Babak baru itu bernama Perang Lombok.
Demikian kisah Pohgading dalam babad Praya. Masih banyak kisah menarik lainya tentang Pohgading di beberapa babad. Insya Allah akan segera saya ceritakan pada "Pohgading Dalam Babad (Part 3).