Masing-masing negara bersaing untuk menawarkan sesuatu yang unik dari negaranya.
Di Discovery Channel misalnya, Malaysia merupakan negara yang paling gencar mempromosikan pariwisatanya. Mulai dari keragaman budayanya, wisata belanja, makanannya, sampai dengan wisata olahraga dengan promosi sirkuit Sepangnya. Tapi sebanding dengan itu, menurut data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, per September 2011, Malaysia merupakan negara ketiga paling banyak berkunjung ke Indonesia setelah Australia dan Singapura sejumlah 74.606 orang. Sedang kunjungan warga Australia dan Singapura masing-masing berjumlah 89.375 dan 94.879 orang. Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia punya slogan baru, “Wonderful Indonesia”. Slogan pariwisata Indonesia ini paling tidak mencakup lima elemen yaitu daya tarik masyarakatnya (people), budayanya (culture), alam (natural resources), makanan (food), dan investasinya (investment). Namun, jarang saya temui promosi iklan wisata kita wara-wiri di TV berbayar itu. Poin saya adalah jalan promosi iklan bukanlah jalan satu-satunya untuk menambah kunjungan wisata dari luar negeri. Masih banyak jalan lain yang bisa dilakukan. Hasilnya pun tidak seinstan iklan di TV.
Tak Sebatas Slogan
Branding “Wonderful Indonesia” diharapkan tidak hanya sebatas slogan. Mengutip artikelDaniel Surya, Bisnis Progresif Melalui Branding, KONTAN, 04/01/2011, “Esensi brand bukanlah slogan. Ia memiliki arti yang lebih mendalam, yakni jiwa dari brand. Esensi ini pula yang dapat dijabarkan lebih rinci menjadi satu set personalitas yang harus dijiwai setiap staf berbagai lini, dan mampu dikomunikasikan kepada publik secara konsisten sehingga memberikan integritas dalam memenuhi janji-janji kepada publik”.
Branding Wonderful Indonesia tidak saja tugas Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan industri hotel saja, tetapi benar-benar harus dijiwai oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Integritas adalah kata kunci untuk menjalankannya. Jika Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah (hospitality) dengan nilai gotong royongnya, maka sudah sepantasnyalah kita buktikan kepada dunia, bahwa Indonesia punya wonderful people. Jika Indonesia ingin disebut sebagai bangsa yang punya wonderful culture, maka sudah seharusnya kita menjaga dan melestarikan budaya bangsa kita. Jangan sampai budaya bangsa kita malah dilestarikan dan diakui oleh bangsa lain. Jadi jangan cuma menjadi slogan saja, yang setiap tahun harus berganti nama.
Say Hello!
Membangun hospitality (keramahtamahan) bangsa, tidak hanya dilakukan oleh industri hotel saja. Seluruh masyarakat dan media harus mendukung dan terlibat didalamnya. Jika ingin turis datang mengunjungi kita, memiliki kekayaan budaya dan adat istiadat saja tidaklah cukup. Hospitality saat ini wajib dimiliki oleh bangsa manapun di dunia dalam menumbuhkan industri pariwisata. Korea Selatan misalnya, dalam sebuah iklan pariwisata di BBC news, mengambarkan bahwa Seoul adalah kota yang indah, bersih, dengan gaya arsitektur kuno dan modern ala Korea yang menawarkan pengalaman wisata yang berbeda. Tak kalah penting adalah Seoul digambarkan dengan masyarakatnya yang sangat ramah.
Saya teringat dengan masa kecil di Bali. Tepatnya di Desa Dencarik, Singaraja. Turis-turis pada waktu itu sangat senang berjalan kaki. Mereka tampak santai sekali. Setiap hari puluhan turis asing bisa lewat di depan rumah saya untuk menuju tempat wisata Budhist Temple Banjar Tegeha dan Air Panas Banjar. Saya, dan anak-anak lain seumuran saya, bahkan orang-orang tua sekalipun, selalu berkata “Halo” kepada semua bule yang lewat di depan rumah. Hanya kata “halo”, murah dan sederhana telah menjadi budaya yang menambah kekayaan budaya Bali. Keramah-tamahan itulah membuat turis-turis asing betah dan aman berlama-lama menyusuri jalan-jalan di Bali tanpa takut dirampok atau mengalami tindak kejahatan lain.
Mereka menurut analisis sederhana saya selain mencari kekayaan budaya Bali (tangible asset ), para turis datang untuk mencari kedamaian. Merka sangat menyukai masyarakat Bali yang ramah. Keramahan itu pula berpengaruh secara emosional (intangible asset) yang pada akhirnya melekat di mindset mereka. Pada akhirnya menyampaikan kenyamanan emosional tersebut kepada teman-teman mereka di negara asalnya (oral branding). Jalan yang sangat murah dan sederhana.
Tetapi sayangnya, menurut Press Release The Smiling Report 2011 tidak lagi menyebut Indonesia sebagai negara paling murah senyum (the cheapest smiling country) yang sempat diraih tahun 2009 lalu. Sekarang, negara yang paling murah senyum menurut survei tersebut adalah Portugal (94%), disusul Austria (93%), dan ketiga adalah Paraguay (92%). Negara yang memiliki skor paling rendah adalah Pakistan (34%) sama dengan posisinya tahun 2009. Sedang negara yang paling sering menyapa (The Highest Greeting Country) adalahAustria dengan skor 98% dan yang paling rendah tetap saja disandang Pakistan (37%). Beruntung kita tidak masuk di urutan terendah.
Survei tersebut paling tidak telah menyadarkan kita, bahwa kita sudah tidak ramah lagi kepada orang luar, dan mungkin saja dengan sesama anak bangsa sendiri. Wonderful Indonesia harus didukung oleh seluruh masyarakat kita mulai dari sopir angkot, ojek, dan pedagang kaki lima sekalipun. Wonderful Indonesia tak akan berarti apa-apa tanpa dukungan mereka. Bagaimana mungkin Jakarta bisa menjadi kota tujuan wisata Asia. Sopir angkot dan busnya ugal-ugalan di jalanan? Bagaimana mungkin Jakarta bisa menjadi kota wisata belanja kalau pedagangnya saja tidak ramah kepada pembeli?. Keterlibatan masyarakat dalam dunia pariwisata sangatlah penting. Tapi, lebih penting lagi kalau mereka bisa menikmati kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup hasil dari pariwisata kita.
Sadarlah bahwa kita memiliki budaya dan adat-istiadat yang luar biasa kaya. Ibarat kata, tanpa promosi pun, mereka akan datang kepada kita. Bangunlah sisi emosional pariwisata kita. Buatlah Indonesia sebagai rumah ketiga selain rumah dan kantor tempat bekerja mereka. kalau sudah cinta, walau badai dan jalan rusak pun akan dilaluinya...
Salam...
Gede Suarnaya