Saat diajukan pertanyaan tentang kemungkinan penjeratan hukum atas kemungkinan tindak pidana yang dia lakukan, Agustina dengan enteng menjawab," Saya tidak takut, saya ini korban."
Agustina adalah salah satu Caleg yang melakukan permainan politik uang pada pemilihan umum 2014 ini. Dia mengaku telah membayarkan uang sebesar Rp. 116 juta untuk pemenangannya kepada 13 Ketua PPK di daerah pemilihannya, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Namun, dalam penghitungan suara, Agustina tetap tidak mendapatkan jumlah suara sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui. Agustina akhirnya melaporkan indikasi penipuan oleh PPK ini ke KPU Jawa Timur, mungkin untuk mencari keadilan (http://www.republika.co.id/berita/pemilu/hot-politic/14/04/21/n4dczl-caleg-gerindra-klaim-berikan-duit-dan-motor-untuk-13-ketua-ppk)
Apa yang sebenarnya terjadi dengan proses demokrasi di Indonesia? Pemilihan Umum yang digadang sebagai "pesta demokrasi" terbesar di Indonesia malah kini lebih cocok disebut "pesta democrazy".
Democrazy, dimana ditarik dari akar katanya demos, yang berarti masyarakat dan crazy, yang berarti GILA. Ya, Pemilu Indonesia lebih mencerminkan "pesta untuk orang gila" daripada orang yang senantiasa berpikir rasional dan dapat menentukan pilihan yang matang.
Sungguh tidak masuk akal. Seorang calon penipu menuntut karena ditipu. Seorang yang menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan menuntut karena menjadi obyek permainan kekuasaan. Maling teriak maling. Jeruk makan Jeruk.
Kini, kita patut khawatir. Wakil rakyat kita untuk periode 2014-2019 sudah pasti mengandung Agustina-Agustina yang lain. Tinggal tunggu waktu sampai kita diperas sampai mampus!