KPK memang tidak mati dan orang-orangnya berganti. Tetapi gejolak dahsyat yang telah mengharu-biru rakyat dalam menolak BG telah membuat PDIP, Megawati, dan Hasto sebagai wajah yang tidak anti korupsi. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi namun yang muncul di mata publik adalah Hasto, Megawati, dan PDIP sebagai banteng yang membela BG mati-matian bahkan menyerang pimpinan KPK yang telah menggagalkan BG maju sebagai Kapolri.
Megawati mungkin punya pertimbangan lain atau Megawati mungkin melihat Hasto sebagai kader yang loyal [bc; loyal pada Megawati] dan dia tak peduli dengan "image" PDIP lima tahun ke depan. Mega yang mengaku sebagai ahli pidato paling hebat merasa yakin bahwa roh Sukarno dan air mata yang bercucuran di depan orang banyak akan membawa PDIP pada kejayaannya. Dia tidak sadar bahwa dengan air mata masa depan menjadi kabur, dan pandangan menjadi lamur. Hasto, yang tanpa sungkan-sungkan memperjuangkan BG dengan segala cara, termasuk mengkriminalkan pimpinan KPK, di mata Megawati tampak seperti ksatria! Sayang-disayang, Mega tidak bisa melihat dengan mata hati yang lebih jernih sperti yang dilihat rakyat jelata yang menjadi basis dukungannya. Bagi orang kebanyakan, melihat Hasto adalah melihat panglima yang berdiri di barisan paling depan dengan panji-panji merah bergambar buaya yang lapar!
Begitulah, konon kekuasaan yang terlalu lama memang melenakan dan cenderung merusak! Suharto yang sederhana terperangkap dengan harta dan sanak-keluarga yang merongrong kewibawaannya. Megawati yang secara aklamasi dipilih kesekian kalinya mengutamakan juga anak-anaknya dan orang orang dekatnya meski terinidkasi pernah korupsi! Bukankah ini persis seperti rejim yang dulu dilawannya mati-matian pada diri Suharto?
Singkat kata, dengan Hasto sebagai sekjen PDIP, kita tidak akan melihat panji merah dengan banteng yang siap menerjang, tetapi panji merah dengan gambar buaya yang serakah!
Salam Kompasiana! Merdeka!