Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Bukan Pagi atau Siang, Aku Suka Tasik di Sore Hari

23 Oktober 2013   09:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:08 312 0
Sebenarnya tulisan ini adalah tulisan lama sekitar tiga tahun yang lalu dan sudah published di Facebook dan blog pribadiku, namun entah kenapa hari ini saya ingin share ke kompasianer untuk berbagi cerita tentang concern kita pada kota kelahiran yang tentu seiring berjalannya waktu sudah banyak mengalami perubahan yang sangat besar. Apalagi setelah kita pergi meninggalkan kota kelahiran tercinta untuk bekerja mengadu nasib di kota tetangga dan pada saat pulang kampung, kita hanya bisa melongo antara takjub, heran dan penasaran sambil bertanya - tanya tentang perubahan yang terjadi.
17.30 WIB

last night when were talking alone; you gave me a taste what your kisses feel like; today am making a wish I don’t want you to say goodbye; so kiss me now; kiss me now again; I got you in my mind; and I need you right here….”

Begitulah kira-kira Milky bersenandung ditelingaku setelah berakhirnya kelas TOEFL preparation para dosen Sekolah Tinggi Kesehatan yang cukup terkemuka di kotaku . Sekaligus mengawali perjalanan pulangku hari ini. Semoga saja materi Clausses of Concession, Redundancy, Parallel Structure dan Adverbials at the Beginning of a Sentence yang telah di bahas hari ini dapat dipahami oleh beliau-beliau yang sekiranya minggu depan akan mengikuti tes TOEFL lagi di salah satu UPT Bahasa di Bandung.

Seperti yang telah kutulis sebelumnya bahwa bukan pagi, apalagi siang tapi sore hari, aku menyukai Tasik di sore hari. Bukan karena mulai munculnya pedagang bubur favoritku, tapi cuaca sore hari yang begitu teduh apalagi cuaca setelah turun hujan yang menyejukkan, bau tanah yang menyeruak ke atas permukaan memberikan aroma khas. Aku suka rasa ini. Aku suka hujan dan aroma setelahnya.

Bebek merahku masih menemani walaupun akhir-akhir ini banyak menguras tenaga dan isi tabunganku, fuiiiiiiiiih….!

Angin berhembus lembut menyentuh wajahku sore itu, kutatap jalanan dan kunikmati kotaku di sore hari yang menurutku sudah semakin dewasa seiring berjalan nya waktu. Begitu banyak penjaja rasa yang bermunculan setiap harinya, menawarkan berbagai inovasi menu yang menggugah selera. Tapi tetap bubur nomor satu, yang lainnya menyusul. Bangunan-bangunan baru di setiap sudut di sepanjang jalan dr. Soekarjo berdiri dengan angkuhnya menghalangi senjaku sore ini.

Valerie – nya Amy Winehouse berbisik tenang di kedua telingaku dan mengantar pandanganku pada sebuah bangunan di sebelah kiri tepat di jalan OTISTA no.1 . Kuamati bagian samping bangunan itu, sambil berseru pelan “this is the most beautiful ‘hotel’ in town, di pusat kota pula!” How come, ya? Kulewati mesjid Agung Tasikmalaya yang megah tapi tak nampak mang Ohid, ah mungkin sedang persiapan adzan magrib. Di sebelah kanan kulihat kerumunan kecil di sebuah roda cakue yang masih tetap setia menanti pelanggan, tapi aku lebih menyukai cakue yang ada di sebelah toko Agung tidak jauh dari situ. Bumbunya aku suka.

Memasuki kawasan KHZ.Mustofa, kuperlambat laju si merah karena kawasan ini memang salah satu jalur yang cukup padat di Tasik apalagi sore hari. Waktu para karyawan dan orang2 kantoran bergegas pulang untuk beristirahat. Lampu-lampu hias di sepanjang jalan telah siap menemaniku menikmati kota kelahiranku. Tanpa disadari kadang kita tidak terlalu memperhatikan perubahan yang ada di sekitar kita, apalagi sekitar kota kita. Tapi hari ini, entah apa yang membuatku ‘amazed’ tentang kota ini. Di sebelah kanan dan kiriku berjajar toko-toko kain sampai dengan perempatan depan. Toko pakaian jadi seperti busana muslim, seragam sekolah, batik, toko sepatu, tas, mie baso dan toko buku. Oh iya.. ada satu tempat yang sampai kini aku sukai yaitu tempat di sebelah kanan ku yang memamerkan lukisan-lukisan dalam berbagai ukuran. Bagus! Dan hanya ada satu sejauh pengamatanku di sekitar jalan Hazet, tepatnya bukan sebuah toko ataupun gedung tapi garasi yang sudah cukup tua. Pernah aku sekedar melihat-lihat saja tapi waktu itu sedang sepi tidak ada penjaga ataupun pelukisnya, padahal aku ingin tau banyak tentang lukisan-lukisan itu. Masih berdasarkan pengamatanku, di sepanjang jalan Hazet ada beberapa bangunan lama yang masih tersisa; Toko Paris, Toko Pengsin, Toko buku Cerdas, Toko Madju, Toko mas ABC, Toko Sempana, Toko Enam Tiga, Toko Plastik Tawang, Apotek Prima, Toko Sepatu Selamet, Toko Putra, Toko Optik Orbita, Toko sepatu Dynasty dan Toko Irama Jaya. Yang lainnya telah berubah menjadi bangunan-bangunan baru yang telah mengalami renovasi. Saat ini pandanganku tertuju pada banyak toko-toko baru yang memajangkan berbagai mode pakaian yang sedang tren, plus musik yang sengaja diputar dengan volume yang sangat keras. Ada lagu dangdut, pop dan barat “ jiga nu parasea wae silih tembalan, “ keluhku.

“and your love’s a gathered storm; I chased across the sky; a moment in your arms became the reason why; and you are still the only light that fill the emptiness; the only one I need until my dying breath; and I would give you everything just to feel your open arms; and am not sure I believe anything I feel…..”

The Goo Goo Dolls mengalun merdu dan mengiris hati mengingatkanku pada seseorang, sosok yang luar biasa bijaksana, tanpa terasa waktu berjalan tanpa kehadirannya dalam hidupku.

Opening the drawer in the early morn when the dawn was breaking, I found so many pieces of yours; oh my dear God it has been many years how I miss this man and am still here…you have changed everything, everything in me, dad!

Kulihat pak polisi masih bertugas menertibkan lalu lintas yang memang cukup padat. Suara peluitnya bersaut-sautan dengan peluit milik tukang parkir yang terlihat kewalahan sore ini.

Langit sore berubah gelap, senjaku menghilang seiring adzan magrib yang telah berkumandang. Sementara lampu-lampu iklan, neon box dan board2 besar di atasku telah menyala meramaikan kota. Wah, jelas Hazet sekarang berbeda dari sekitar sepuluh tahun terakhir. Si merah terhenti sejenak karena banyaknya lalu lalang orang-orang yang melintas menyeberangi jalan menuju dept. store di sebelah kanan kiriku.

Masih ingat dengan All I really want-nya Alanis Morissette? Yeah…lagu ini mengantarkan ku tepat di depan RM. AMPERA dan mengubah ‘mood’ ku menjadi lebih ceria. Berdiri tegak di hadapanku sebuah tugu tepatnya di bawah sebuah layar televisi besar yang memeriahkan sore ku hari ini. Mungkin jika kupantau dari udara bisa kulihat sepanjang jalan KHZ. Mustofa yang terbentang sampai di ujung sana. Ah betapa telah berubah nya kota kelahiranku, apalagi setelah berdirinya sebuah Mal atau pusat perbelanjaan terlengkap dan terbesar di sini; Asia Plasa.

Seingatku dulu sekali, jauh sebelum saat ini. Pusat perbelanjaan tidak sebanyak ini di kotaku, hanya ada beberapa saja. Waktu aku masih di sekolah dasar, ibu selalu membelikanku baju seragam sekolah di toko Samudera yang pertama, dan dulu juga, nenek suka membelikan baju lebaran untuk cucu-cucunya jika tidak di Toko Paris ya pasti di Toko Pengsin. Bergiliran kami (cucu-cucu perempuannya) di bawa ke toko-toko itu dengan HardTop hijau kebanggaan kakekku, dipilihkannya baju-baju dengan model sama tapi berbeda warna. Jika tidak salah aku kebagian baju balon polkadot berwaran merah muda, sementara kedua sepupuku yang lain berwarna merah dan oranye. Khusus ibu, beliau selalu membelikanku dres-dres panjang berbunga yang bertali di belakangnya. Anggun.

Kemajuan fisik yang terjadi tidak hanya di sepanjang jalan Hazet saja, tetapi juga tentu di belahan kota Tasikmalaya yang lain. Pusat perbelanjaan, distro-distro yang menyediakan baju-baju limited edition, warnet-warnet yang semakin mudah ditemukan di setiap sudut jalan, begitu ramai dan penuh pengunjung mengalahkan perpustakaan umum yang terletak di kawasan Dadaha, Cikalang tepatnya. Jarang sekali kutemukan lagi anak-anak kecil yang bermain di lapangan Voli atau sepakbola akhir-akhir ini, kecuali tentu anak sekolahan yang sedang mengikuti pelajaran olahraga di lapangan sekolah. Kebanyakan mereka, hari ini, setelah pulang sekolah pasti bergegas ke warnet untuk bermain games-online, chating atau sekedar meng-update status di Facebook. Pecle, Enggrang, sorodot gaplok, catcat-an, boyboy-an, galah, ular tangga, ucing sumput menghilang tergantikan permainan2 yang lebih canggih dan individualis.

Sweet Disposition – The Temper Trap menemaniku kali ini…

Sepanjang jalan ini kupastikan kita tidak akan melihat lagi satu petak pun sawah. Semua berganti bangunan-bangunan baru, tempat-tempat baru yang lebih bersifat komersial. Memandangi ini semua mengingatkanku pada satu artikel yang luar biasa kontemplatif yang ditulis oleh Ahda Imran dan telah di muat di harian Pikiran Rakyat, pada hari minggu lalu tanggal 18 bulan April 2010, tentang; “Kota dan Labirin Konsumerisme.” Beliau (Ahda Imran) menjelaskan pendapatnya mengenai kota Bandung yang terinspirasi dari sebuah pertunjukan Instalasi Labirin karya Jejen Jaelani dan Valerie Putti K, peserta Lateral School dalam Final Project yang dipresentasikan di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), 14 April 2010. Final Project mereka berjudul “Kisah Kota yang Terluka”.

Menurut Imran bahwa: “karya yang dipresentasikan oleh Jejen dan Valerie yang terbuat dari material kardus yang dilapisi koran, dengan dimensi 8x5x2 meter merupakan deskripsi dari Kota Bandung sekarang yang semakin sesak dan dikonstruk oleh berbagai kepentinagan komersial. Kota dan seluruh ruang di dalamnya dibangun bukan lagi untuk untuk kepentingan publik, melainkan demi melayani hasrat-hasrat kuasa para pemilik modal. Lihatlah, berbagai penunjuk jalan pun muncul dan memberi informasi ihwal lokasi komersial, mulai dari mal hingga factory outlet sehingga seluruhnya seolah telah menjadi bagian utuh dari tubuh kota. Inilah kisah kota dalam labirin konsumerisme. Kota yang tubuhnya dipenuhi oleh kekerasan simbolis.”

Tentu aku berharap bahwa kotaku, kotamu, kota kita kelak tidak akan seperti ini ataukah sedang menuju kearah sana tanpa kita sadari?

Sejauh manakah keterlibatan kita sebagai generasi muda terhadap kemajuan sebuah kota? Khususnya kota yang kita tinggali sekarang.

Apakah kemajuan dan sehat tidaknya sebuah kota hanya dapat diukur dari munculnya bangunan-bangunan baru yang didirikan untuk kepentingan pemegang modal semata?

Bagaiamana dengan perkembangan sosial generasi mudanya?

Bagaimana pendidikan mereka?

Bagaimana dengan perkembangan jiwa mereka?

Bagaimana kualitas mental mereka?

Apakah seimbang seiring kemajuan kota-nya?

Bagaimana kualitas para pendidik di kota ini?

Sejauh mana kontribusi mereka (pendidik, pengusaha, tokoh masyarakat, dsb.) terhadap kemajuan sebuah kota?

Tidakkah kita dapat melihat bahwa generasi muda sekarang lebih ‘permissive’ terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan atau norma-norma?

Solusi apakah yang tepat yang dapat kita berikan untuk mengantisipasi semua ini?

Kontrol masyarakat seperti apa yang tepat diberikan pada pemerintah yang sekarang sedang berkuasa?

Dalam artikel yang ditulis Ahda Imran, Jejen dan Valerie menuturkan: “ Kota dalam masyarakat modern merupakan representasi dari penguasaan sebuah wacana yang menjadi penguasa. Disadari betapa siapapun yang memenangkan wacana dalam suatu masyarakat, maka dengan wacana itulah ia akan menjadi penguasa. Penguasa yang memiliki otoritas untuk mengontrol dan membentuk cara berpikir masyarakat tersebut. Penguasaan wacana dalam ranah linguistik bisa dilihat dalam penunjuk jalan sebagai bentuk penguasaan simbolis. Ia akan menjadi semacam kejahatan terselubung yang tidak disadari masyarakat.”

Mengutip tulisan Imran bahwa: ”Jejen dan Valerie meminjam teori sosiolog Prancis Bourdieu, yakni ihwal kekerasan simbolis (symbolic violence). Dalam teori itu mengemuka pemikiran kritis bahwa terdapat bentuk tersembunyi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bahasa. Kekerasan simbolis merupakan kekerasan dalam bentuknya yang halus dan lembut. Kekerasan yang dikenakan pada agen-agen social tanpa mengundang resistensi, malah sebaliknya menjadi sebuah kompromi karena telah mendapat legitimasi yang juga terjadi secara terselubung dan halus.”


Lalu bagaimanakah teori ini jika disandingkan dengan ‘quotation’ Mahatma Gandhi mengenai Seven Social Sins (Tujuh Dosa sosial) yang aku baca dari buku catatan harian Dr. Dino Patti Djalal yang berjudul HARUS BISA! Seni memimpin ala SBY.


Adakah relevansi yang semakin meluas jika diungkap ke permukaan?

“Politics without principle; wealth without work; pleasure without conscience; knowledge without character; commerce without morality; science without humanity; worship without sacrifice.” (Mahatma Gandhi ‘in Young India,’ 1925)

Must be dreaming of- nya Frou Frou pun berakhir digantikan First Train Home – nya Imogen Heap yang kemarin datang ke Indonesia dan interview nya di tayangkan TV one dalam acara Tatap Muka bersama MC terkenal Farhan.

Memasuki kawasan Siliwangi menuju Jl. Peta jalanan dipenuhi oleh mahasiswa yang berlalu lalang mencari kudapan malam. Ada yang berkumpul di depan sebuah roda Nasi Goreng, roda Goreng Ayam, Pecel lele dan sebagianya. Kos-kos an baru berjajar disebelah kiriku, sedangkan di sebelah kananku merupakan rumah-rumah dinas TNI dan bagian belakang dari kampus (UNSIL). Tidak jauh dari sana sedang dibangun gedung baru entah apa, aku kurang tahu. Yang aku tahu adalah dulu tempat itu adalah sawah-sawah dimana aku selalu melihat teman SD ku Away (nama aslinya Anwar) yang sedang membajak sawah ditemani dua ekor kerbau yang berbadan subur.

Sebelum ada jalan hotmik yang aku tapaki, kawasan ini adalah kawasan persawahan yang hijau terbentang sampai ke perumahan tempatku tinggal. Setiap pergi dan pulang sekolah aku selalu melalui jalan kecil berbatu yang dikelilingi oleh sawah-sawah hijau. Apalagi jika musim panen tiba, para petani bersama-sama memanen sawah dengan tidak lupa membawa buntelan rantang berisi nasi timbel dan lauk pauknya yang di simpan di ‘galengan’. Begitu rindu aku dengan senyum dan sapa mereka setiap aku melewati jalan ini. Pelajaran hidup yang luar biasa aku dapatkan dari mereka. Kebersahajaan! Pernah aku bertemu dengan salah satu petani yang Alhamdulillah masih sehat, dan saat aku bertanya; “asa tara ningali deui nyawah ayeuna mah bu?.” “wah neng asa mending janten bos Kost-kost an we ayenamah.” Jawabnya sambil tersenyum.

Memang tidak semuanya, masih ada beberapa petak sawah di jalan ini, tapi kemungkinan besar untuk lima tahun kedepan, sawah-sawah ini akan ‘disaeur’ untuk dibangun tempat-tempat baru. Semoga sepuluh tahun kedepan kawasan Dadaha dan sekitarnya masih dapat dinikmati masyarakat umum. GOR Sukapura yang diharapakan dapat diperbaiki dan dimanfaatkan secara optimal. Begitu pula dengan Situ Gede yang akan tetap lestari. Semoga ada penanganan yang lebih baik dan maksimal untuk tempat-tempat yang memang diperuntukan untuk kepentingan orang banyak. Tentu aku berpikir positif tentang kemajuan kotaku yang akan berjalan seimbang dengan kualitas sumber daya manusianya, jelas dalam berbagai bidang.

Berbelok kanan memasuki tempat dimana aku tinggal. Lampu rumah-rumah sudah dinyalakan, masjid At-Taqwa pun penuh oleh jemaat yang sudah melaksanakan sholat magrib. Ku masukkan si merah menuju teras rumah. Kumatikan mesin motor dan kulepaskan ear phone. Kulihat jam tangan, waktu menujukkan pukul 18.34 WIB. Kudengar hentakan kaki kecil berlari dari dalam rumah. Si jelita Ainun membukakan pintu belakang dan menyambutku. Tangan kecilnya dilingkarkan ke kakiku. Sambil menengadah menatapku, suara cempreng nya berseru, “ateu Endah.” Matanya yang jernih berbinar mengendurkan syaraf-syarafku. Tidak ada alasan untuk tidak meraih dan menciuminya bertubi-tubi. “Am home, baby. Onty is home…!”

Gedah Gantini

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun