Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Cerita Mendidik Anak Indonesia di Luar Negeri

6 Mei 2012   08:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:38 530 0
Sesuai dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, negara berkewajiban melaksanakan penyelenggaraan pen­didikan wajib belajar 9 tahun untuk setiap warga negara baik yang tinggal di dalam wilayah NKRI maupun di luar negeri. Kenyataan di lapangan, Ten­aga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Malaysia, khususnya yang bekerja di sektor perkebunan di sekitar wilayah Sabah, mengalami kesulitan dalam memperoleh pendidikan bagi anak-anaknya.


Dalam pemikiran saya, orang hidup yang paling mulia adalah seberapa besar orang itu bermanfaat atau memberikan konstribusi kepada orang lain. Inventasi bisnis untuk dunia akhirat adalah investasi ilmu. Semua anak bangsa pasti banyak yang tertarik ingin berinventasi ilmu sebagai salah satu ikhtiar untuk memperbaiki hidupnya. Akan tetapi banyak hal yang membatasinya, mahalnya pendidikan, terbatasnya jumlah student body yang bisa belajar di pendidikan tersebut membawa terhempasnya impian dan cita-cita yang mulia karena pintu akses pendidikan hanya untuk jumlah terbatas dan tidak merata. Oleh sebab itu dengan segala keterbasan yang ada saya mempunyai keinginan yang kuat untuk mengabdikan diri kepada generasi penerus bangsa yang ada di negara asing dalam hal ini adalah anak-anak TKI (para pahlawan devisa negara) yang sedang mengais rezeki di negeri jiran, Malaysia melalui pelayanan pendidikan di tengah perkebunan kelapa sawit. Namun demikian mengajar dalam kondisi serba terbatas memang membutuhkan sebuah dedikasi dan kesabaran yang tinggi. Hal ini saya rasakan ketika saya mengajar SMP Terbuka atau di Malaysia lebih dikenal dengan CLC (Community Learning Center). Sejak bulan Oktober 2011 dikirim oleh negara melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam hal ini Dirjen Dikdas / Direktorat P2TKDIKDAS ada beberapa permasalahan yang kami temukan, diantaranya adalah sebagai berikut:


  1. Tempat kegiatan belajar yang jauh dari keramaian (±85km dari permukiman terdekat) serta sulitnya akses transportasi umum, hal ini menyulitkan saya untuk keluar masuk ladang guna keperluan pembelajaran (mengkopi soal, mencari ATK, mencari bahan makan, dsb). Adapun akses jalan yang harus kami lalui juga sangat sulit sekali, sekitar 60 km masih berupa jalan gravel (tanah bercampur batu) dimana saat hujan sangat licin dan sulit dilalui kendaraan apapun. Ketika musim hujan, banyak kendaraan-kendaraan yang terkubur saat melalui jalan ini.
  2. Sarana prasarana sekolah yang sangat kurang bahkan bisa dikatakan tidak ada. Kami menggunakan pusat bimbingan HUMANA (sebuah NGO yang menyelenggarakan pendidikan di ladang kelapa sawit) sebagai Tempat Kegiatan Belajar. Sebagai gambaran, TKB ini hanya tersedia meja dan beberapa kursi yang sudah mulai patah kakinya. Selain itu tidak ada lagi yang lain, bahkan meja / kursi untuk guru pun tidak ada;
  3. Tenaga pendidik dan kependidikan yang masih sangat kurang, di TKB ini di tangani oleh 3 guru bina dan dibantu 1 guru pamong yang berasal dari orang tempatan, jadi rata-rata 1 orang guru bina mengajar 3 mata pelajaran. Hal ini menjadikan proses belajar mengjar tidak bisa maksimal. Guru yang ada di sini adalah Bpk. Zulkarnaen Lubis, SST. dan Bpk. Roni Peterson Bakara, SE. (dua-duanya adalah PNS dari P4TK Medan yang habis masa kontraknya pada bulan Mei 2012) serta saya sendiri. Pada pagi hari kami harus mengajar anak-anak seusia TK dan SD yang belajar di NGO Humana Child Aid Society dengan jumlah murid yang sangat banyak sekali (150 siswa) terbagi dalam 8 tingkatan kelas (Kindergarden 1-2 dan Primary 1-6), jadi 1 orang guru mengajar 2 kelas dalam waktu yang bersamaan. Ini juga menyebabkan rasa lelah yang luar biasa saat mengajar pada sore hari, karena pada pagi hari kami bukan hanya mengajar tapi juga mendidik anak-anak yang secara psikologis ditelantarkan oleh para orang tuanya sehingga terlihat sedikit liar dan nakal.
  4. Media pembelajaran yang masih kurang. Pada saat sekarang ini pendidikan sudah harus ditunjang dengan sebuah teknologi pendidikan yang bagus apabila ingin berhasil dengan baik. Di TKB Morisem 3 estate hanya ada buku modul untuk 10 orang siswa, padahal siswa yang terdaftar ada 12 orang. Beberapa waktu yang lalu kami mendapatkan 1 buah bola takraw dan 1 doz shutlecock itupun tidak ada raketnya. Alhamdulillah pada saat ini saya bisa menulis pengalaman ini di laptop pemberian Kemendikbud setelah sebelumnya digunakan untuk belajar di sekolah. Ya memang TKB ini mendapatkan hak pakai 1  buah laptop untuk menunjang proses pembelajaran di sekolah.
  5. Kesadaran masyarakat (pekerja) terhadap pentingnya pendidikan yang masih sangat rendah. Hal ini sangat menghambat konsep dari CLC itu sendiri, karena proses belajar tidak bisa dilakukan di rumah secara mandiri karena tidak adanya dukungan dari orang tua sehingga proses belajar hanya dilaksanakan di TKB. Mengapa demikian, karena sebagian besar dari mereka adalah pekerja kasar yang tidak pernah mengenyam pendidikan walau tingkat Sekolah Dasar, pola pikir dan ansumsi mereka adalah selama mereka masih kuat, maka mereka masih bisa hidup karena masih bisa bekerja sebagai penombak buah , penabur pupuk, penyabit dan sebagainya yang secara umum tidak memerlukan kecerdasan secara ilmiah. Pola pikir yang demikian secara tidak sengaja tertular dan tertanam kepada anak mereka melalui pengawasan perkembangan proses belajar di rumah.
  6. Waktu/kesempatan belajar siswa yang sangat terbatas karena mereka harus bekerja di waktu pagi hari. Ini menjadi salah satu hambatan dalam belajar karena mereka sudah terlalu capek untuk menangkap materi dalam proses belajar mengajar.
  7. Jarak tempat tinggal siswa dengan sekolah sangat jauh, dengan akses transportasi sangat terbatas. Sarana transportasi yang dipakai adalah kendaraan antar jemput dari perusahaan perkebunan dalam hal ini kami ditempatkan di perusaahn kelapa sawit IOI Group Corporation.
  8. Status yang tidak jelas. Banyak pekerja yang sudah menetap di sini bertahun-tahun sehingga sampai terjadi perkawinan yang tentunya hanya dilakukan sesuai syariat agama karena menikah di negeri asing (tidak ada KUA). Hal ini tentu bermasalah dengan dokumen perkawinan mereka dan berdampak secara langsung terhadap status keluarga utamanya anak-anak mereka. Banyak anak usia sekolah yang belum mempunyai dokumen, baik paspor apalagi Akta Kelahiran. Dalam kondisi demikian maka akan menghambat proses pelayanan pendidikannya.
  9. Ijin tinggal kami yang kadang-kadang dipersulit oleh kantor imigrasi Malaysia padahal Kementerian Pelajaran Malaysia sudah mengeluarkan Teaching Permit. Hal ini sangat mengganggu kami, karena kalau sudah masa ijin tinggal (visa) kami akan habis, kami harus sering keluar masuk ladang untuk mengurusnya, bahkan kadang-kadang sampai 2 minggu harus meninggalkan proses belajar mengajar karena mengurus visa ke kota yang jaraknya sampai 400 km.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun