Kontan saja pengakuan Andi yang disampaikan kepada media tersebut membuat beberapa akun yang diduga sebagai akun milik kader dakwah girap-girap kegirangan. Akun-akun itu lantas mengata-ngatai Presiden Jokowi sebagai “tukang baca teks”.
Bukan hanya akun-akun yang diduga milik kader dakwah, Barisan Relawan Jokowi for Presiden (Bara JP) pun ikut merespon. Bedanya, kalau akun-akun yang diduga milik kader dakwah menistakan presiden, relawan Jokowi marah karena menganggap pengakuan itu sebagai bentuk merendahkan bangsa Indonesia.
Coba kita simak dengan hati bahagia apa sebenarnya yang dikatakan Andi kepada media. Andi mengungkapkan pidato itu disusun oleh tim substantif. Tim itu beranggotakan Kepala Kantor Staf Kepresidenan Luhut Pandjaitan, Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto. Tim substantif dibantu tim dari Kementerian Luar Negeri, Sekretariat Negara, dan Kantor Staf Kepresidenan.
Tidak hanya itu, ada juga tim khusus yang melibatkan Rizal Sukma Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), Sukardi Rinakit (peneliti Soegeng Sarjadi Syndicate), dan Teten Masduki (Staf Khusus Sekretaris Kabinet). Ditambah lagi dengan Deputi I Bidang Monitoring dan Evaluasi Kantor Staf Kepresidenan Darmawan Prasodjo dan Deputi II Bidang Pengelolaan dan Kajian Program Prioritas Kantor Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho.
Menurut Andi, dengan dibantu tim tersebut, Jokowi melakukan pembahasan pidatonya beberapa kali. "Setelah draf awal ada, finalisasi dilakukan melalui beberapa pertemuan langsung dengan Presiden. Konsultasi final dengan Presiden dilakukan Minggu sore di Istana Merdeka," ungkapnya Andi.
Dari pengakuan Andi tersebut jelas jika Jokowi bukan sekedar tukang baca teks seperti yang dikata-katai oleh akun-akun yang diduga milik kader dakwah. Dalam proses penulisa pidatonya, Jokowi terlibat dalam proses penyusunan hingga finalisasi. Dengan kata lain, Jokowi tidak menerima matang-matang pidato yang dibacakannya, tatapi, ikut pula menggorengnya.
Proses penyusunan pidato presiden yang dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari beberapa pakar dari berbagai disiplin ilmu adalah sebuah kelaziman. Karena pidato presiden di samping harus berbobot juga harus diterima oleh audien. Terbukti pidato Jokowi mendapat tepuk tangan meriah dari yang mendengarkannya. Bandingkan dengan pidato SBY sewaktu menyambut hari anak yang membuat anak-anak yang mendengarkannya tertidur hingga membuat presiden marah. Entah siapa saja yang menyusun pidato SBY tersebut.
Seorang yang menduduki jabatan presiden dalam seharinya bisa lebih dari sekali membacakan pidato. Sedangkan menulis naskah pidato itu butuh ide. Setelah ide didapat, barulah dikembangkan, dan kemudian diedit hingga tersusun rapi. Serangkaian proses ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Dan tidak mungkin seorang presiden di tengah kesibukannya sanggup menyusun sendiri naskah pidatonya.
Jangankan presiden yang harus mengerjakan banyak hal dalam 24 jam setiap harinya, seorang ustadz yang sedang naik daun dan laris diundang ke berbagai acara saja harus menyiapkan tim khusus untuk menyusun naskah ceramahnya. Padahal kesibukan seorang ustadz tidak lebih menumpuk dari seorang presiden. Begitu juga dengan kompasianer, jika kesibukan meningkat tentunya kompasianer tidak lagi memiliki banyak waktu lagi untuk menulis.
Dradjat benar, pengakuan Andi tersebut tidak lazim, tetapi tidak lazim bukan berarti salah. Justru, kalau Andi mengaku jika naskah tersebut ditulis sendiri oleh Jokowi tanpa bantuan tim, nantinya akan menjadi bahan bully lagi. Akun-akun yang diduga milik kader dakwah itu akan mengata-ngatai presiden sekelas dengan juru tulis di kantor desa.
Sebagai tambahan, apakah benar pidato Jokowi itu “goblok” seperti kata Prof. Tjipta Lesmana. Tjipta menilai pidato tersebut goblok lantaran kritik Jokowi terhadap PBB tersebut tergolong basi, sebab sejak masa Soekarno pun PBB berada di bawah kendali pemegang hak veto. Masalahnya, dominasi The Big Five pemegang hak veto dalam tubuh PBB itu masih ada. Merekalah yang sampai sekarang memiliki kekuatan tawar yang tinggi dibanding negara-negara anggota lainnya. Jadi kritik Jokowi dalam pidatonya tersebut masih sangat relevan.
Dan dalam sejarah, dominasi kekuatan politik, ekonomi, militer dan budaya tidak mungkin bergeser hanya dalam hitungan satu abad. Jangankan menggeser kekuatan politik, ekonomi, militer, dan budaya suatu negara, dalam skala yang lebih kecil, untuk menggeser dominasi Real Madrid dan Barcelona saja tidak mungkin dilakukan dalam hitungan satu abad.
http://www.tempo.co/read/news/2015/04/22/244659998/Mereka-Ini-di-Balik-Dahsyatnya-Pidato-Jokowi-di-KAA