Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Bisakah Pemeriksaan Ibas Untungkan Demokrat?

27 Januari 2014   16:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:25 242 10
Kalau ada yang berpendapat pemanggilan Ibas oleh KPK bakal lebih menghancurkan Demokrat sebaiknya dipikir ulang. Sebab bisa jadi pemanggilan Ibas jelang pemilu justru berdampak sebaliknya, meningkatnya elektabilitas Demokrat.

Penyebutan nama Ibas dalam kasus hambalang sudah banyak yang mengungkapkan. Dari yang tegas-tegas mengatakan Ibas menerima uang US $ 200.000 seperti yang diungkapkan Yulianis sampai Nazarudin yang sekedar menyentil. Terakhir, Anas Urbaningrum mengaku siap bekerja sama dengan KPK untuk membongkar dugaan keterlibatan pihak lain dalam kasus Hambalang, termasuk Ibas.

Pemanggilan Ibas jelang pemilu pasti akan dimanfaatkan sebaik-baiknya, tidak hanya oleh lawan politik, tetapi oleh Demokrat sendiri. Lawan politik akan menuding Demokrat sebagai partai terkorup, bahkan arah jari telunjuk pun akan sampai ke Cikeas. Sebaliknya, pemanggilan Ibas akan dimanfaatkan oleh Demokrat untuk menunjukkan komitmen partainya dalam pemberantasan korupsi.

Demokrat akan membangun opini bahwa orang tua Ibas yang juga Presiden RI tidak mengintervensi kasus hukum yang melibatkan anaknya. SBY yang juga tokoh sentral Demokrat akan digambarkan sebagai tokoh yang tidak arif bijaksana serta tidak pandang bulu. Hal ini sekaligus menampik tudingan sebagian publik yang mengatakan KPK dikendalikan oleh Cikeas.

Sama seperti Ibas, Besan Aulia Pohan pun terkesan lambat ditangani oleh KPK. Nama Aulia beberapa kali terdengar dalam sidang kasus penarikan dana Rp 100 miliar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia yang melibatkan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah. Namun demikian status tersangka baru disandang Aulia tidak berselang lama setelah vonis 5 tahun dijatuhkan pada Burhanuddin, tepatnya 29 Oktober 2009.

Yang menarik adalah reaksi SBY saat itu. Sebagai pribadi, SBY mengaku secara terus terang dan jujur bersedih atas penetapan status besannya Aulia Pohan sebagai tersangka oleh KPK dan berharap agar yang datang di depan adalah keadilan yang sejati.

"Dalam kapasitas saya sebagai pribadi sebagai Susilo Bambang Yudhoyono, mendengar semua ini tentu saya secara terus terang, jujur, bersedih," ujar SBY dalam jumpa pers di sekretariat negara, Jakarta, Rabu (29/10).

"Kalau Pak Aulia Pohan bersama yang lain dianggap melakukan kesalahan dalam konteks ini, proses penegakan hukum harus ditegakkan. Saya tidak boleh mengintervensi, tidak boleh mencampuri. Seberapa besar kesalahan Pak Aulia Pohan nanti, apakah kesalahan pribadi atau kolektif, marilah kita serahkan sepenuhnya kepada proses penegakan hukum," lanjut SBY. (Sumber: Kompas.com).

"Lihat saja, besan Pak SBY sendiri, mertua dari anak Pak SBY sendiri, bapak dari menantu Pak SBY sendiri, kakek dari cucu Pak SBY sendiri, dan suami dari besan perempuan Pak SBY sendiri, Pak SBY tidak mau campur tangan." Kira-kira seperti itulah opini yang dibangun Demokrat saat itu. Terlebih setelah Aulia ditahan KPK pada 27 November 2008, dukungan terhadap SBY dan Demokrat membesar. Sikap kenegarawanan SBY ini menjadi pelengkap dari kebijakan populernya yang menurunkan harga BBM jelang pemilu 2009..

Sikap SBY yang mampu memisahkan persoalan pribadi dengan negara ini berdampak positif bagi partainya. Terbukti dari rilis survei LSI yang dibacakan pada 16 November 2008, Demokrat menempati posisi teratas sebagai partai terbersih, bahkan melewati PKS yang saat itu belum satu pun kadernya yang terjerat kasus korupsi (Sumber: Detik.com). Atas sikap kenegarawanan SBY tersebut, pada pemilu 2009 dengan penuh kepercayaan diri yang tinggi Demokrat gencar mengampanyekan "Katakan tidak pada korupsi".

Anehnya saat tuduhan korupsi menjerat kader Demokrat, petingginya tidak meneladani sikap SBY dalam kasus Aulia. Petinggi Demokrat justru membela Nazaruddin habis-habisnya, berkilah ini-itu, bahkan disisipi dengan kebohongan-kebohongan seperti dengan mengatakan Nazar sakit sampai berat badannya turun 18 Kg. Pembelaan petinggi Demokrat inilah yang memuakkan publik, terlebih setelah buronnya Nazar dan tersangkutnya Anas Urbaningrum dalam kasus Hambalang.

Atas kesalahan mengelola komunikasi ini, pasca kasus Wisma Atlet dan Hambalang inilah elektabilitas Demokrat terus kedodoran. Berbeda dengan 2008, kini stempel sebagai partai terkorup justru melekat pada Demokrat. Dan nampaknya sulit bagi Demokrat untuk kembali bangkit. Bahkan setelah pidato SBY dari Jeddah yang isisnya tidak jauh beda dari pidatonya saat kasus Aulia pun elektabilitas Demokrat masih jeblok.

"Timbul semacam kegusaran di kalangan Partai Demokrat karena sejumlah kasus kader Partai Demokrat terkesan sengaja dibiarkan berlarut-larut. Sudah hampir dua tahun dibiarkan tak menentu," kata SBY. "Saya sendiri, dari tanah ini, dari Jeddah ini, mengharapkan KPK menjalankan tugas sebaik-baiknya dengan tanggung jawab. KPK tidak boleh tebang pilih. Itu posisi saya." (Sumber: Kompas.com). Inilah pidato SBY di Jeddah pada 4 Februari 2013 yang mirip dengan pidatonya pada 29 Oktober 2008.

Jika saja Demokrat melihat kembali catatan hariannya pada 2008 lalu mungkin elektabilitasnya tidak sejeblok sekarang. Demokrat semestinya menata kembali pengelolaan komunikasinya. Terkait soal desakan KPK agar Ibas segera diperiksa. Sebaiknya Demokrat membiarkannya saja, tanpa mensomasi mereka. Bahkan seharusnya Demokrat menantang KPK untuk segera memanggil Ibas. Toh, panggilan terhadap saksi belum tentu mengubah status hukumnya.

Bukankah dengan mendorong pemeriksaan Ibas sama saja dengan mengatakan, "Lihat saja, anak Pak SBY sendiri, suami dari menantu Pak SBY sendiri, menantu dari besan Pak SBY sendiri, bapak dari cucu Pak SBY sendiri, adik dari anak Pak SBY sendiri. Dan, Pak SBY tidak mengintervensi kasus hukumnya."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun