Masih ingat apa yang dikatakan Pak Mahfud tadi?
Waktu itu Pak Mahfud yang masih menjabat Ketua MK. Ditanya soal kasus beredarnya ribuan formulir C1 palsu buatan Tim SBY-Boediono di Kota Tangerang, Banten. Formulir itu beredar di ribuan TPS di Kota Tangerang yang memiliki 2700 TPS. Dan, pada formulir yang ditemukan itu terdapat tanda tangan Ketua KPPS beserta cap stempel basah.
Seharusnya soal kecurangan pemilu 2009 itulah yang dipikirkan penyelenggara pemilu 2014 agar tidak berulang kembali. Eh, ini malah menambah masalah dengan rencana pemerintah-Bawaslu yang akan mendanai saksi parpol. Bukannya rencana ini justru menambah potensi kecurangan. Apalagi sebelumnya kerja sama KPU dengan Lembaga Sandi Negara dibatalkan karena ditenggarai dapat menimbulkan kecurangan. Jadi, jelas pemerintah dan Bawaslu tidak belajar dari pengalaman sebelumnya.
Padahal masih banyak yang harus diperhatikan Bawaslu agar pemilu 2014 ini lebih bermutu dari pemilu-pemilu sebelumnya. Contohnya, bagaimana agar pemilih tidak membawa handphone saat berada di bilik suara. Hal ini untuk mengantisipasi politik uang gaya post paid: coblos dulu, foto bagian yang dicoblos, lalu tunjukan foto kertas suara yang dicoblos kepada pihak yang akan membayar.
Lalu bagaimana mengantisipasi kecurangan lewat polling SMS? Polling SMS jelas bisa dimanfaatkan untuk membentuk opini terutama bagi yang memiliki akses ke operator polling atau operator seluler. Apakah Bawaslu sudah punya mekanisme audit operator polling SMS?
Kita masih ingat bagaimana pada saat pilpres 2009 tim Sukses Mega-Prabowo mengungkapkan kejanggalan pada polling SMS debat capres dan cawapres. Mereka mengaku mendapat diskriminasi soal SMS yang dikirimkan untuk mendukung jagoannya.
Kalau SMS yang mendukung Mega-Prabowo dan JK-Wiranto delivered-nya sampai 30 menit, tapi SMS dukungan kepada pasangan SBY-Boed bisa langsung diterima. Di Metro TV Mbak Najwa Shihab meminta penjelasan dari operator polling. Lucunya, kata operator terjadi error. Lha, error kok cuma pada SMS untuk Mega-Prabowo dan SMS untuk JK-Wiranto. Tapi, SMS untuk SBY-Boed lancar-lancar saja. Bukannya modus ini sebelas-dua belas dengan baliho sosialisasi "contreng yang tengah" yang dipasang KPU di banyak tempat.
Kita juga masih ingat, sekalipun jam tayang quick count pada hari H pemilu dipermasalahkan, tapi saat pilpres KPU seolah tutup telinga. Akibatnya tepat pukul 10.30 WIB (12.30 WIT) di mana masih banyak pemilih yang belum mencontreng, quick count yang isinya kemenangan sementara SBY-Boed sudah diberitakan. Tentu, saja hal ini memancing protes lebih keras. Maka, ketika KPU memutuskan untuk menghentikan tayangan quick count, sudah terlambat. Masyarakat sudah terasuki oleh kemenangan SBY-Boed.
Itu baru segelintir potensi kecurangan yang akan terjadi atau terulang di pemilu 2014. Sekarang, bayangkan kalau honor saksi parpol dibayari pemerintah. Saksi dari parpol, tapi yang bayar pemerintah yang identik dengan parpol tertentu. Lalu, honornya diberikan setelah pekerjaannya selesai. Pembayaran setelah pekerjaan selesai ini justru bisa dimanfaatkan oleh si pemberi uang untuk menyandra saksi parpol agar mau didikte.
Pertanyaannya, dengan cara demikian, kemana loyalitas saksi parpol akan diberikan? Ingat lho, mereka yang mau menjadi saksi selama pemilu berlangsung dari pagi sampai sore (malah pileg 2009 penghitungan suara berlangsung sampai keesokan harinya) sebagian adalah orang yang membutuhkan uang. Dan dengan uang pula loyalitas mereka bisa dibeli. Katakanlah mereka diiming-imingi tambahan honor agar mau didikte oleh si pemberi uang.
Sekarang, di tengah legitimasi pemilu 2014 dipertanyakan pasca putusan lonjong MK, Bawaslu malah terkesan menguntungkan salah satu partpol.
Sumber:
http://news.detik.com/read/2009/08/05/220919/1178198/700/mahfud-md-kecurangan-memang-masif
http://news.detik.com/read/2009/07/01/090222/1156892/700/tim-mega-prabowo-ada-diskriminasi-soal-polling-sms