Di kota Solo, Mahbub Djunaidi belajar di sekolah Muhammadiyah, pada siang hari hingga sore ia teruskan menimba ilmu di sekolah agama Madrasah Mamba'ul Ulum, dibawah bimbingan kyai Amir Hamzah. Di tempat inilah, kali pertama Mahbub Djunaidi bersentuhan dangan banyak buku. Yang kelak akan memengaruhi gaya penulisannya. Jenaka, halus, dan apa adanya.
Aktivitas menulis ini ia teruskan sepanjang hidupnya, bahkan sewaktu SMP, cerpennya berjudul 'Tanah Mati' di publikasikan oleh majalah Kisah, majalah kumpulan cerita pendek saat itu yang dikelola oleh HB Jassin. Luar biasa, cerpen Mahbub Djunaidi di komentar dan dinilai langsung oleh HB Jassin.
Keberaniannya mengibarkan kebenaran dan membela orang-orang kecil tidak perlu diragukan.
Tulisan tulisannya padat memberi perhatian dan pembelaan kepada kaum miskin. Termasuk kepada anak-anak pedagang asongan dan para pengemis cilik di persimpangan-persimpangan jalan. Baginya semua orang tak ada bedanya, tidak bermartabat lebih tinggi dan lebih rendah, hanya karena jabatan dan pekerjaannya. Mahbub Djunaidi membela dengan kata-kata.
 Menjadi Ketua PB PMII
Pada tahun 1960, ia terpilih menjadi ketua umum PMII. Selama menjadi ketua umum PMII, Mahbub berusaha dengan sungguh-sungguh menjadikan PMII wadah pembentukan kader, sebagaimana diamanatkan kepadanya oleh Musyawarah NU seluruh Indonesia.
Selain itu, ia juga pernah memimpin dan kontributor aktif berbagai media massa, sejak tahun 86 sampai 95 Ia rutin menulis di kolom Kompas yang kelak dibukukan menjadi Asal Usul. Tulisan-tulisannya di kolom ini disinggung dan dipaparkan secara ringan dan lebih menekankan pada sisi humornya. Karena rutinya Mahbub Djunaidi dalam menulis di kolom, tulisannya tembus ke angka 200. Dan masih banyak tulisan lainnya.
Ia sempat di penjarakan dengan alasan yang tidak jelas juga tanpa pengadilan, barangkali ini yang dimaksudkan dengan, "Melawan dengan kata-kata".
Mahbub Djunaidi aktif dalam mengkritisi pemerintah, penguasa yang lupa masyakarat. Ini ia sajikan dibanyak tulisan tulisannya. Ia Mengkritik sambil menghumor. Inilah Mahbub Djunaidi.
Sebagai selingan, Wijhi Thukul dengan puisinya mengkritik-melawan pemerintah, ia hilang tanpa bekas. Jasadnya hilang entah kemana, tapi puisi-puisinya, tetap ada 'abadi' dimana-mana menghantui para penguasa.
Sejak saat di penjara, kesehatan Mahbub Djunaidi makin menurun, hari Raya Idul Fitri tahun itu, Mahbub masih berada di rumah sakit dalam status tahanan. Anak istrinya datang dan berlebaran bersama di kamar yang sempit itu. Mengenang manisnya berkumpul keluarga dan ingin memberi pegangan anak-istrinya, ia menulis surat:
"Alangkah bahagianya papa berlebaran bersamamu semua, walaupun tidur berdesakan di lantai. Ketahuilah, kebahagiaan itu terletak di dalam hati, bukan pada benda-benda mewah, pada rumah mentereng dan gemerlepan. Benda sama sekali tak menjamin kebahagiaan hati. Cintaku kepadamu semuanya yang membikin hatiku bahagia. Hati tidak bisa digantikan oleh apapun. Hanya kejujuran, kepolosan, apa adanya yang bisa mengingat hatiku. Bukan hal-hal yang berlebihan."
Mahbub Djunaidi tutup usia pada 1 Oktober 1995. Indonesia mesti bersyukur karena dalam sejarah republik ini, pernah hadir tokoh luar biasa dan multi talenta.
Selamat bung ! Karya mu abadi. Melawan dengan kata-kata.