Salah satu protokol kesehatan dalam mencegah penularan COVID-19 adalah physical distancing atau menjaga jarak. Nah, cara bekerja seperti itu bisa meminimalisasi kemungkinan orang-orang terinfeksi.
Beruntung, teknologi komunikasi dan informasi yang mumpuni memungkinkan orang-orang bekerja secara WFH. Sejumlah kantor baik pemerintah maupun swasta membekali para pegawainya dengan fasilitas perusahaan seperti komputer jinjing (laptop) agar mereka bisa bekerja di rumah.
Oleh karena pandemi COVID-19 yang belum tuntas serta kabar munculnya sejumlah varian baru, maka sebagian orang masih mempertahankan cara bekerja mereka tersebut. Tidak ada orang yang ingin terinfeksi, bukan?
Menurut riset dari WFH Research dan paper dari Jose Maria Barrero, Nicholas Bloom, dan Steven J. Davis yang berjudul "Why working from home will stick" (National Bureau of Economic Research Working Paper 28731), sektor yang masih melakukan WFH antara Agustus 2022 hingga Januari 2023 antara lain sektor informasi (termasuk teknologi informasi), keuangan dan asuransi serta layanan profesional dan bisnis. Pegawai di ketiga sektor itu melakukan WFH rata-rata dua hari dalam satu minggu (lima hari kerja).
Disusul sektor berikutnya yang melakukan WFH sekira 1,5 hari dalam seminggu yaitu perdagangan besar, seni dan hiburan, real estat dan utilitas. Sedangkan sektor yang paling sedikit melakukan WFH adalah perdagangan retail, transportasi dan pergudangan, serta perhotelan dan kuliner yang mengalokasikan WFH kira-kira setengah hari kerja dalam seminggu.
Apabila kita melihat tabulasi data dalam file spreadsheet yang diunduh dari laman dari WFH Research (yang dicatat sejak 1 Januari 1965), di tahun 2019 lalu cuma ada sekira 4,7 persen orang yang melakukan WFH. Nah, selama pandemi COVID-19, tepatnya di bulan Mei 2020, angkanya meroket di level 61,5 persen.
Artinya, di bulan tersebut tiga dari lima orang pegawai bekerja dari rumah. Pada waktu itu pandemi COVID-19 sedang parah-parahnya, bukan?
Sejumlah perusahaan teknologi seperti Microsoft, Google dan Twitter mewajibkan seluruh pegawainya WFH selama beberapa waktu lamanya. Bahkan Twitter, sebelum Elon Musk masuk, sempat mengeluarkan kebijakan bekerja WFH selamanya.
Tidak hanya pegawai di AS, para pegawai di negara lainnya termasuk Indonesia juga harus WFH. Selama masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), kesibukan kota-kota besar di Indonesia turun drastis. Suasana kota-kota besar menjadi lebih lengang, berbagai moda transportasi umum juga sepi penumpang.
Sebagian pegawai dari daerah memilih pulang kampung dan bekerja dari sana. Suasana demikian terasa sekali di tahun 2020 hingga kira-kira awal atau pertengahan tahun 2021. Di masa-masa itu, ada perusahaan yang menerapkan WFH 100 persen, ada yang hybrid WFO (work from office) dan WFH, serta ada pula yang WFA (work from anywhere). Selain mengikuti kebijakan PPKM oleh pemerintah, cara bekerja pegawai juga mengikuti keputusan perusahaan.
Ketika varian Delta merebak di pertengahan tahun 2021, kantor tempat saya bekerja juga menerapkan WFH. Bahkan semua pegawai sempat diinstruksikan untuk tidak datang kantor selama beberapa waktu lamanya, khususnya ketika ditemukan kasus COVID-19 di kantor perusahaan lain yang berada satu gedung dengan kantor saya.
Pada waktu itu saya sedang ditugaskan di lapangan, jadi saya bekerja secara WFA. Sesekali saya datang ke kantor untuk bekerja selama beberapa jam, tentu saja dengan perasaan was-was.
Kembali ke data yang dihimpun oleh WFH Research, ketika pandemi berangsur mereda di tahun 2021-2022, maka persentase WFH juga berangsur menurun. Yang menarik, angkanya berhenti di kisaran 27 hingga 30an persen alias tidak kembali ke angka satu digit sebagaimana di tahun 2019 dan tahun-tahun sebelumnya.
Dari data tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa cara bekerja secara WFH ternyata masih dilakukan oleh sebagian orang. Sayangnya tidak ada data lebih mendetail mengenai pelaku WFH itu, apakah data itu berasal dari perusahaan yang sama atau perusahaan baru yang berdiri di masa-masa pandemi?
Kita tahu bahwa sejumlah perusahaan di bidang teknologi melakukan pemangkasan karyawan besar-besaran selama pandemi COVID-19. Nah, bisa jadi para mantan pegawai di perusahaan-perusahaan tersebut mendirikan sejumlah start-up baru yang menerapkan cara bekerja WFH atau pun WFA.
Secara menyeluruh, angka persentase WFH di AS pada Januari 2023 masih 27,2 persen. Belum tahu apakah trennya bakal meningkat, atau di kisaran 20an atau 30an persen atau mungkin menurun seiring dengan semakin tingginya kemampuan pengendalian pandemi. Mari kita bahas di bagian berikutnya.
Alasan orang AS lebih suka WFH
WFH Research memberikan sebuah pertanyaan penting kepada para responden yang merupakan kelompok usia produktif (20-64 tahun). Mereka ditanya mengenai keinginan WFH setelah pandemi berakhir dibandingkan dengan rencana WFH dari perusahaan tempat mereka bekerja.
Dari survei yang dilakukan sejak Juli 2020 hingga Januari 2023, para responden menginginkan bekerja penuh waktu secara WFH antara 2,5 hingga tiga hari dalam seminggu. Sedangkan perusahaan tempat mereka bekerja punya rencana memberlakukan WFH antara 1,5 hari (Juli 2020) hingga 2,75 hari (antara Januari 2022 hingga Januari 2023).
Ternyata keinginan responden pegawai tersebut cenderung selaras dengan rencana employer meksipun nanti pandemi dinyatakan selesai. Perbedaan hari WFH antara keinginan pegawai dan rencana perusahaan dalam kurun waktu Januari 2022 hingga Januari 2023 adalah 0,5 hari kerja.
Data ini cukup menarik karena ternyata sebagian orang masih senang dengan WFH. Lebih lanjut, WFH Research menemukan ada enam alasan mengapa pegawai lebih senang melakukan WFH.
Pertama adalah "No commute" atau tidak perlu melakukan perjalanan ke kantor, yang dipilih oleh 49,2 persen responden. Alasan ini logis karena kemacetan di sejumlah ruas jalan di kota membuat orang semakin pening. Sudah pening karena beban pekerjaan dari kantor, masih ditambah pening karena harus macet-macetan di jalan.
Contoh di Indonesia, pegawai yang sehari-hari menggunakan transportasi umum juga punya tantangannya sendiri. Ada yang harus berangkat lepas subuh, ada yang gonta-ganti moda transportasi dan sebagainya. Tak jarang mereka harus berlarian kesana kemari mengejar bus atau kereta.
Di dalam gerbong kereta misalnya, mereka masih harus berdesak-desakan dengan penumpang lainnya. Begitu pula ketika turun di stasiun di tengah kota masih harus saling berimpitan ketika berjalan menuju pintu keluar stasiun. Situasi seperti itu membuat pegawai kelelahan sesampai di kantor.
Nah, selama WFH mereka tidak perlu bermacet-macet ria di jalanan. Juga tidak perlu gonta-ganti moda transportasi yang membuat mereka kelelahan. Keuntungan lainnya, mereka bisa menghemat pengeluaran sehingga bisa menabung lebih banyak.
Alasan kedua orang lebih senang WFH adalah "Flexibel work schedule" atau jadwal kerja yang fleksibel yang dicentang oleh 42,9 persen responden. Karena berada di rumah, maka mereka bisa lebih leluasa membagi waktu antara bekerja dan beraktivitas di rumah.
Para pegawai tidak perlu terikat dengan clock-in dan clock-out. Kehadiran mereka bisa diketahui misalnya dengan status email atau pun aplikasi messenger mereka yang aktif atau online. Tapi kalau perusahaan sudah memercayai stafnya, yang penting pekerjaan selesai dengan baik dan tepat waktu.
Mereka juga tidak perlu bangun pagi buta demi mengejar kereta, jadi tidak perlu berangkat kerja dengan tergesa-gesa. Keluar kamar tidur tinggal berjalan ke spot kerja di rumah, bisa meja makan, meja belajar anak, atau pun meja kerja hasil setup dadakan.
Alasan ketiga orang menyukai WFH adalah "Less time getting ready for work" atau waktu persiapan kerja yang singkat. Ada 40,4 persen responden yang memilih alasan ini.
Selama WFH, mungkin sebagian dari kita berdandan secara "hybrid". Para pria bisa mengenakan atasan kemeja rapi dengan/tanpa dasi tapi bawahannya celana kolor. Begitu pula para wanita mungkin mengenakan daster yang dibalut outer simpel dengan riasan ala kadarnya. Bisa jadi ada yang belum mandi. Hehe...
Bersyukur bahwa ketika pandemi COVID-19 terjadi, ada kemajuan-kemajuan berarti di sektor teknologi. Selama WFH, cloud server kantor menjadi andalan para pegawai untuk mengakses atau meletakkan dokumen-dokumen yang digunakan untuk pekerjaan sehari-hari. Begitu pula aplikasi perusahaan berbasis web misalnya aplikasi supply chain yang bisa diakses dari mana saja.
Pegawai tidak perlu repot mencetak atau fotokopi dokumen. Para manajer tidak perlu lagi membubuhkan tanda tangan basah pada dokumen-dokumen non legal, cukup dengan tanda tangan digital atau menekan tombol "approved" pada email atau pun sistem internal berbasis web.
Alasan keempat WFH adalah "Quiet" alias suasana tenang, yang dipilih oleh 34,2 persen responden. Tetapi rasanya ini relatif dan kurang relevan bagi pegawai yang memiliki anak-anak balita atau yang tempat tinggalnya kerap dilalui kendaraan bermotor.
Tapi secara umum, WFH memang lebih memberikan ketenangan dan terbebas dari suara-suara yang kerap mengganggu konsentrasi bekerja. Tidak ada teman yang berbicara lewat telepon dengan suara keras di kubikelnya, tidak ada suara obrolan teman, tidak diusilin teman, tidak ada suara dering telepon, atau pun suara mesin fotokopi.
Berikutnya alasan kelima WFH adalah "More time with friends/family"atau ada lebih banyak waktu bersama teman atau pun keluarga. Alasan ini dipilih oleh 34 persen responden.
Bagi pegawai yang memiliki anak, masa-masa WFH memberikan hikmah ketika orang tua bisa lebih dekat dengan anak-anak mereka. Para pegawai bisa beraktivitas dengan anak-anak mereka sebelum membuka laptop jam delapan teng.
Ketika lunch break, mereka bisa memasak makan siang sendiri atau pesan makanan lewat layanan pesan-antar makanan. Setelah makan siang, ada banyak aktivitas yang bisa dilakukan selama WFH yang tidak mungkin bisa dilakukan ketika bekerja di kantor. Misalnya, bermain bersama anak-anak atau mungkin tidur siang bareng mereka, sebuah kesempatan parenting yang cuma bisa dilakukan di akhir pekan.
Alasan keenam orang lebih menyukai WFH adalah "Fewer meetings" aatau lebih sedikit meeting atau rapat kantor. Sebanyak 17,3 responden mencentang alasan ini.
Saya pribadi sepakat dengan alasan ini. Menurut saya, rapat secara daring lebih fokus dan to the point daripada rapat secara fisik yang dilakukan di meeting room kantor. Diskusi lebih lanjut mengenai proyek atau pekerjaan tertentu bisa dilakukan lewat email, messenger atau aplikasi tertentu.
Apakah pegawai Indonesia pengin WFH juga?
Sejauh ini rasanya belum ada riset tentang WFH yang komprehensif seperti yang dilakukan oleh WFH Research tersebut. Tetapi data dari Pacmann rasanya bisa memberikan gambaran.
Pacmann mengamati percakapan orang Indonesia mengenai WFH mulai Maret 2020 hingga Desember 2022. Nah, dari 1,07 juta percakapan tentang WFH, ada 45,68 persen cuitan yang bernada negatif, lalu ekira 39,69 persen cuitan bernada positif, dan 14,64 lainnya cenderung netral.
Informasi dari Pacmann tersebut melampirkan sejumlah cuitan bernada positif, negatif dan netral. Cuitan bernada positif misalnya WFH membuat hemat BBM dan WFH jadi hemat ongkos perjalanan dan makan.
Sedangkan cuitan bernada negatif misalnya selama (selama) WFH tagihan biaya listrik meningkat, WFH membuat doyan makan dan lain-lain. Sementara cuitan bernada netral misalnya menginfokan tentang rencana WFH kantor tempat ia bekerja, atau menyatakan ekspresinya tentang WFH yang mereka lakukan.
Lebih lanjut, Pacman mengkategorikan isi percakapan orang-orang menjadi empat topik yaitu aktivitas, kesehatan, utilitas dan lainnya. Untuk aktivitas, merupakan kegiatan yang dilakukan orang-orang selama WFH misalnya isolasi atau karantina mandiri, olahraga, hingga push rank (wah, sepertinya ada yang kerja sambil nge-game selama WFH, hehe...).
Kategori cuitan terkait kesehatan didominasi oleh berat badan. Ada yang berat badannya bertambah seiring dengan nafsu makan yang meningkat ada pula yang berat badannya turun seiring dengan nafsu makan yang turun.
Sedangkan di kategori utilitas ada cukup banyak insight. Pada umumnya kata "hemat" dan "irit" menjadi kata kuncinya, misalnya hemat transport, hemat cucian, irit jajan, irit uang. Cuitan semacam ini bisa dikelompokkan dalam cuitan bernada positif.
Di sisi lain, sebagian orang-orang mengeluhkan sesuatu yang mereka alami selama WFH antara lain koneksi internet putus, listrik padam, dan kebutuhan listrik meningkat. Cuitan ini bisa dimasukkan ke dalam cuitan yang bernada negatif terhadap WFH.
Apabila kita menganggap bahwa cuitan bernada positif, negatif dan netral tersebut sama artinya dengan preferensi orang-orang terhadap WFH, maka ada sekira 45 persen orang Indonesia atau mayoritas tidak mendukung WFH. Kemudian sebanyak 39 persen orang Indonesia mendukung WFH dan 14 persen netral (mereka yang netral ini mengikuti kebijakan tempat mereka bekerja, WFO oke, WFH ayok...).