Mereka memilih merayakannya di hotel itu karena lokasinya berada di kaki gunung, diantara pepohonan hijau yang rimbun. Hotel itu punya taman yang asri, pas buat acara outdoor. Hawanya sejuk, udaranya juga segar dan bersih tanpa polusi.
Sudah jauh-jauh hari mereka memesan sejumlah kamar dan taman hotel untuk merayakan malam pergantian tahun. Kecuali lima mahasiswa dari satu universitas yang memutuskan ikut di menit-menit terakhir, yaitu Biyan, Budi, Sara, Tias dan Katy. Mereka boleh bergabung di acara party namun terpaksa harus mencari tempat penginapan sendiri.
"Lima..., empat..., tiga..., dua..., satuu... Yesss... Selamat datang tahun dua ribu dua puluh tiga..," seru mereka serempak, seraya meniup terompet dan mengangkat ponsel ke atas yang layarnya memancarkan aneka warna.
Bersamaan dengan itu, kru hotel menyalakan kembang api yang dipasang di beberapa sudut taman, membuat suasana semakin meriah. Disusul lagu "Waiting for the Night" dari Jennifer Lopez versi remix yang muncul lewat pelantang suara, membuat setiap orang berdansa-dansi menyambut malam pergantian tahun yang telah mereka nanti.
Sara mendekati Budi yang sedang menggoyangkan tubuhnya mengikuti irama musik sambil membawa gelas kosong yang sebelumnya berisi mocktail apel. Ia menepuk pundak Budi.
"Bud, sudah dapet hotelnya belum?" tanya Sara.
"Apa?" kata Budi setengah berteriak, membuat Sara mengulangi pertanyaannya dengan setengah berteriak pula.
"Waduuh, kayaknya semua hotel di sini fully booked deh Sar. Tahun baru, tahun baru... Unfortunately, aku juga tadi nggak sempat searching sih. Coba tanya Biyan deh," jawab Budi sambil menggoyang-goyangkan kepala dan tubuhnya, seraya menunjuk posisi Biyan yang sedang berada di dekat kolam bersama tiga mahasiswa dari universitas lain.
Sara menghampiri Biyan yang juga sedang menggoyangkan badannya menikmati musik. Sesekali pemuda bertubuh subur itu menghisap rokok elektrik yang ia keluarkan dari saku celananya. Asap rokok elektrik yang ia hembuskan sejenak menciptakan efek kabut di taman.
"Biyan, nanti kita stay dimana?" tanya Sara agak berteriak.
"Wah, jobdes Budi itu...," jawab Biyan.
"Lah, gimana sih? Budi bilang supaya tanya ke kamu," tukas Sara dengan nada ketus.
"Lho, kok jadi aku," kata Biyan seraya menghela nafas. Pandangannya segera menyapu taman mencari Budi akan tetapi ia gagal menemukannya.
"Hmm.... Oke, keep calm Sar. Gampang. Dipikir nanti aja, atau... emmm, nanti kita jalan aja ke atas pasti ada kamar kosong, kok," kata Biyan, mencoba menenangkan Sara dengan jawaban sekenanya.
"Ya wis, awas ya kalau sampai nggak dapet hotel...," kata Sara yang meluruskan telapak tangan kanannya lalu mendekatkannya ke lehernya dan menggerakkannya seperti sedang menggorok leher. Biyan dan ketiga temannya tertawa.
Sara meninggalkan Biyan dengan muka cemberut. Ia berjalan menghampiri kedua temannya, Tias dan Katy, yang sedang duduk di sofa pink menikmati watermelon fizz dan kue berselai stroberi.
"Ya udahh, kita di sini dulu aja. Santai aja kali, Sar... Nggak ada kamar ya kita stay di teras hotel aja sewa selimut. Besoknya kita numpang mandi di kamar siapa aja yang mau kita recokin, hahaha...," ujar Tias terkekeh, begitu pula Katy ikut terkekeh.
"By the way, kue-kuenya enak banget, lho. Masih banyak tuh di meja sana," kata Katy yang menunjukkan area kue kepada Sara dengan kepalanya.
Sara enggan menanggapi. Ia merogoh ponselnya dari tas selempangnya seraya menghempaskan tubuhnya sofa. Raut mukanya masih cemberut.
Ia membuka aplikasi untuk memesan kamar hotel. Namun setelah beberapa waktu scrolling, ia tidak jua menemukan kamar kosong. Malam tahun baru semua kamar hotel pasti penuh.
Sara menyesal menuruti kemauan Tias dan Katy padahal mereka belum mendaftar. Ia memasukkan ponselnya kembali ke dalam tasnya, kemudian bangkit dari sofa untuk mengambil sekaleng minuman soda dan beberapa kue.
Meski sudah lewat tengah malam, musik dance masih menggema bertalu-talu. Para anak muda itu tampaknya masih ingin menghabiskan malam tahun baru di taman itu lebih lama lagi.
Mereka masih bergerak menggoyangkan tubuh mereka sambil menikmati sajian dari hotel yang masih menghampar di meja. Sebagian lainnya membentuk kelompok dan mengobrol dengan suara setengah berteriak.
Kira-kira satu jam kemudian, beberapa orang mulai pergi meninggalkan taman menuju kamar mereka masing-masing. Lagu "Happy New Year" dari ABBA yang bertempo lambat menjadi penutup acara tersebut. Hanya ada beberapa orang yang masih bertahan di taman, termasuk kelima mahasiswa yang sepertinya bakal luntang-lantung di malam pergantian tahun itu.
Biyan dan Budi menghampiri ketiga teman wanita mereka.
"Sorry, ladies...," kata Budi.
"Sorry not sorry...," sahut Sara yang merasa jengkel dengan kedua teman laki-lakinya itu.
"Gimana sih kamu, Bud. Kan kamu yang bilang mau booking kamar buat kita," timpal Biyan sambil mendorong tubuh Budi pelan.
Budi menghela nafas panjang dan berkata, "Maafin, maafin.. Mau gimana lagi? Yahh, terpaksa kita mesti door to door. Semoga ada beberapa kamar kosong buat kita."
"Aku maunya kamar sendiri. Titik," kata Sara dengan nada emosi.
"Ya nggak bisa jamin, Sar. Malam tahun baru gini semua hotel full. Dapet satu kamar aja alhamdulillah," tukas Budi.
Sara melipat kedua lengannya di dadanya. Ia menunduk lesu, sementara Tias dan Katy diam saja.
"Ya udah let's go masuk mobil. Kita coba cari ke atas," ajak Budi.
***
Mobil minibus 7-seater milik orang tua Budi melaju perlahan ke arah puncak bukit, melalui jalan berkelok dengan pepohonan tinggi yang rimbun di sisi kanan dan kiri. Lampu penerangan jalan cukup terang, membuat mereka mudah membaca rambu-rambu atau pun papan penunjuk arah.
Jalan itu sangat sepi, tidak ada satu pun orang lalu lalang. Hanya ada satu dua mobil yang berpapasan atau mendahului mereka.
Ada enam hotel yang mereka datangi, tapi semua kamar penuh terisi. Bahkan di satu hotel dengan jumlah kamar paling banyak di area itu tidak punya satu kamar kosong sama sekali. Area parkirannya dipenuhi dengan puluhan mobil dan bus dari luar kota.
Budi mengendarai mobilnya dengan perlahan di jalan yang agak menanjak ke arah puncak bukit. Biyan yang duduk di sebelah Budi menyisir sisi kanan kiri mencari hotel. Ketiga wanita muda itu duduk di baris kedua, saling berpelukan untuk menghangatkan diri.
Empat hotel berikutnya juga sama saja, kosong. Budi segera menjalankan mobilnya lagi semakin jauh, semakin mendekati puncak bukit.
Kali ini jalan yang mereka lalui benar-benar sepi. Mereka belum melihat satu pun hotel, juga tidak ada rumah warga seperti di ruas jalan sebelumnya. Di kanan kiri jalan adalah pepohonan yang tumbuh rapat dan tidak ada penerangan jalan sama sekali, membuat suasana jalan itu agak creepy.
"Kayaknya hotel tadi itu hotel paling ujung dan kayaknya bangunan terakhir. Kita balik turun aja, Bud. Kalau enggak ada hotel lagi, kita join sama teman-teman aja dehhh. Kita sewa extra bed, entar kita patungan," kata Biyan.
Budi diam saja. Pandangannya menyapu jalanan dan pepohonan di tepi jalan. Kabut tipis perlahan mulai datang.
Beberapa saat kemudian tampaklah secercah harapan.
"Eh, Yan. Coba kamu lihat di sebelah kanan sana. Itu cahaya, kan?" tanya Budi.
Budi memajukan kepalanya hingga dagunya hanya beberapa sentimeter dari dasbor. Ia memicingkan kedua matanya.
"Eh, iya. Itu kayak cahaya dari jendela gitu. Rumah orang, bukan? Hotel? Yang pasti cahaya itu dari bangunan. Kita coba ke situ, Bud," kata Biyan.
Budi mempercepat laju mobilnya. Jalan yang mereka lewati kini lebih landai. Mereka melewati sebuah papan berlampu redup yang bertuliskan "Selamat Datang di Hotel Marun Biru. Hotel 100 meter lagi".
"Wahh, hotel... Semoga kita beruntung, ladies...," kata Biyan dengan rasa girang sambil menoleh ke belakang.
Ketiga mahasiswi itu pun melepaskan pelukan dan membetulkan posisi duduk masing-masing. Mereka, khususnya Sara, sangat berharap ada kamar kosong di hotel itu.
Lampu dim mobil menangkap gerakan seseorang di depan sana. Seorang pria paruh baya yang mengenakan sweater berwarna kuning dan celana jins seraya menenteng lampu senter. Ia mengenakan topi rajut kumal bermotif garis-garis putih di kepalanya.
Pria tersebut berjalan agak ke tengah jalan sambil mengayunkan lengan kanannya, memberi isyarat supaya masuk ke gerbang hotel. Ketika mobil Budi berada di dekat orang itu, Biyan menurunkan kaca jendelanya separuh.
"Kamar kosong, kamar kosong...," teriak pria itu.
Biyan menurunkan jendelanya lagi hingga sepenuhnya terbuka lalu mengeluarkan kepalanya.
"Ada kamar kosong, Pak? Kita berlima," tanya Biyan penuh harap.
"Ada, ada dek. Masuk jalan ini, lurus saja. Nanti parkir dekat gazebo ya," jawab pria itu.
Sara menatap pria itu. Ia berpikir pria itu semacam makelar hotel yang biasanya eksis di tempat-tempat wisata.
Tapi secara bersamaan ia juga merasa ada yang tidak beres dengan pria itu. Tapi perasaan aneh itu segera luntur karena ia ingin segera mandi air hangat lalu tidur.
"Oke, makasih Pak," seru Biyan kepada pria itu, yang dibalas pria itu dengan anggukan kepala.
Budi mengarahkan mobilnya memasuki gerbang hotel. Bangunannya tampak di ujung sana, kira-kira 50 meter lagi.
Sara memutar kepalanya untuk melihat pria itu lagi lewat jendela belakang. Aneh, pria itu malah menutup gerbang hotel.
"Mungkin dia security hotel, Sar. Sudahlah nggak usah mikir aneh-aneh. Kamu tadi kan butuh hotel, nah ini hotelnya. Ada kamar kosong pula," kata Katy dengan nada sinis.
Sara diam saja. Ia merasa lega, tapi secara bersamaan juga merasa ada yang mengganggu pikirannya.
Hotel itu ternyata cukup besar dan luas. Bangunan enam lantai itu bergaya klasik dengan sejumlah ornamen moderen. Lampu-lampunya memancarkan cahaya kuning, menambah kesan vintage.
Area parkirannya sudah dipenuhi dengan sejumlah mobil dari luar kota. Budi mengarahkan mobilnya ke spot parkir dekat gazebo.
Sara, Tias dan Katy pun bersiap. Mereka segera merapikan baju dan rambut mereka.
Sara menghabiskan tetes terakhir minuman kalengnya. Ia membayangkan air hangat hotel yang pastinya akan membuatnya tubuhnya segar.
***
Bersambung ke Bagian 2