Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola

Ketika Skuad Terbaik AC Milan Gagal Menangi Final Liga Champions Eropa

1 Juli 2023   07:03 Diperbarui: 1 Juli 2023   07:11 777 4
AC Milan, pada era 2000-an menjadi tim yang sangat mengerikan. Tak hanya di kompetisi Italia saja, panggung Eropa pun turut mereka taklukkan. Deretan pemain bintang yang mengisi line up di setiap pertandingan kerap membuat lawan pusing bukan kepalang. Klub yang pernah dinobatkan sebagai tim terbaik seantero dunia sebelum masuk milenium anyar, kembali menunjukkan jati dirinya di era ketika sepakbola Italia nyaris kehilangan tajinya.

Setelah memenangi gelar Liga Champions Eropa tahun 2003, Milan berhasil rajai Italia di tahun 2004. Lalu, setahun setelahnya, mereka kembali tapakkan kaki di partai final kompetisi paling diikuti.

Skuad AC Milan dalam rentang 2003 sampai 2005 tidak banyak berubah. Mereka masih menempatkan Dida di bawah mistar. Maldini, Nesta, Cafu, Costacurta, sampai Kaladze di lini pertahanan. Gattuso, Serginho, Rui Costa, Pirlo, Seedorf, sampai Ricardo Kaka di posisi gelandang. Serta Andriy Shevchenko, Filippo Inzaghi, dan Jon Dahl Tomasson di lini serang.

Sebelum memulai musim 2004/05, Milan juga kedatangan dua pilar yang cukup penting, yaitu Jaap Stam di lini pertahanan dan Hernan Crespo di lini serang.

Dengan nama-nama yang tentu tak asing di telinga para penggemar sepakbola, bisa dibayangkan betapa dahsyat nya kekuatan AC Milan di era tersebut. Terlebih, sosok pelatih yang tangani I Rossoneri kala itu adalah Carlo Ancelotti, pria Italia yang saat ini terkenal dengan raihan gelar di lima liga top Eropa.

Maka kembali lagi, bukan sebuah kebetulan ketika trofi Serie A berhasil didapat, dan dua final Liga Champions Eropa berhasil dicapai dalam rentang waktu tiga tahun saja.

Perjalanan AC Milan di Liga Champions 2004/05

Pada petualangan mereka di kompetisi Liga Champions Eropa musim 2004/05, AC Milan yang sebelumnya jadi penguasa Italia tentu langsung mendapat jatah otomatis lolos ke fase grup. Ketika itu, Milan bergabung dengan FC Barcelona, Shakhtar Donetsk, dan Celtic. Di atas kertas, Milan berhadapan dengan lawan yang sama sekali tidak bisa diremehkan.

Namun dengan keberadaan skuad yang memang sudah diakui dunia, Milan berhasil duduk di tangga pertama dengan mengungguli FC Barcelona yang berada tepat di bawah mereka.

Berlanjut ke babak 16 besar, Milan dipertemukan dengan tim kuat lainnya. Adalah Manchester United, yang berada di bawah arahan Sir Alex Ferguson, memiliki skuad yang tak kalah mewah. Meski begitu, Milan berhasil melibas dua pertandingan sekaligus dengan masing-masing skor tipis 1-0.

Di babak delapan besar, Internazionale Milano yang jadi penghadang sukses disingkirkan dengan skor agregat 5-0. Di partai semifinal, Milan mendapat tantangan yang cukup mengagetkan. PSV Eindhoven yang sempat ditumbangkan dengan skor 2-0 di leg pertama, tiba-tiba mengamuk di pertandingan kedua.

Beruntung, skor 3-1 yang dimenangkan tim asal Belanda tak cukup untuk membawa mereka lolos ke partai final. Milan unggul agresivitas gol dan berhak atas satu tempat di laga pamungkas.

Lawan mereka adalah Liverpool, yang dalam perjalanannya juga mendapat ujian berat. The Reds bertemu dengan Bayer Leverkusen yang jadi penguasa grup B, Juventus yang menguasai grup C, serta Chelsea yang kita tahu tengah berada di puncak performa bersama Jose Mourinho.

Partai final yang digelar pada tanggal 25 Mei 2005 pun memunculkan sebuah drama tak terduga.

Sebuah pukulan menyakitkan bagi Milan, dan kisah tak terlupakan bagi Liverpool.

Laga Final Penuh Drama

Milan pada saat itu jelas diunggulkan. Selain punya skuad bertabur bintang, mereka juga punya perjalanan lebih hebat dalam beberapa tahun belakangan dibanding Liverpool. The Reds, yang terakhir kali tapaki partai final pada tahun 1985, punya perjalanan yang cukup menguras tenaga. Di kompetisi Liga Primer Inggris, mereka hanya finish di posisi empat atau lima di tahun-tahun sebelum final. Selain itu, pencetak gol terbanyak mereka adalah Milan Baros dengan catatan 9 gol saja.

Pada partai final yang digelar di istanbul, Liverpool menurunkan nama Jerzy Dudek di posisi kiper. Finnan, Carragher, Hyypia, dan Traore di lini bertahan. Alonso, Gerrard, Luis Garcia dan Riise di sektor gelandang. Serta Kewell dan Baros di lini serang.

Dengan menggunakan skema 4-4-1-1, Liverpool nantinya akan kedatangan pemain seperti Smicer, Hamann, dan juga Cisse.

Sementara Milan, skuad unggulan itu menaruh nama Dida, Maldini, Nesta, Stam, hingga Cafu di lini pertahanan. Kemudian ada Pirlo, Seedorf, Gattuso, Kaka, di garis yang lebih kedepan. Sementara itu, Crespo dan Shevchenko jadi pilihan utama di lini serang.

Babak pertama berjalan, Milan langsung membuka keunggulan pada menit ke-1 lewat aksi Paolo Maldini. Saat itu, Maldini langsung jadi pemain tertua yang mencetak gol di final kejuaraan tertinggi Eropa.

Dirundung kepanikan, gawang Liverpool kembali bobol pada menit ke 39. Melalui skema serangan balik, Kaka yang mengirim bola ke arah Andriy Shevchenko langsung dimanfaatkan untuk memberi umpan Hernan Crespo. Dengan satu sentuhan, Crespo berhasil menjebol gawang Dudek.

Tak sampai lima menit, atau tepat pada menit ke 44, Crespo kembali menjebol gawang Liverpool, dimana kali ini dia berhasil memanfaatkan umpan terobosan yang dilancarkan Ricardo Kaka.

Skor 3-0 menutup paruh pertama dan membuat seluruh skuad Milan bergembira terlalu cepat. Di ruang ganti, para pemain disebut telah merayakan kemenangan. Padahal mereka tidak tahu bila itu adalah awal dari kehancuran yang bakal diterima di akhir cerita.

Babak kedua dimulai, entah apa yang dikatakan Rafael Benitez kepada anak asuhnya, Liverpool kini menjadi tim yang memegang kendali permainan. Dengan masuknya Hamann, mereka merubah skema menyerang menjadi 3-5-2.

Asa Liverpool mulai terbuka ketika kapten mereka, Steven Gerrard, berhasil memperkecil keunggulan pada menit ke 54. Belum cukup sampai disitu, dua menit berselang Vladimir Smicer berhasil membuat skor jadi 3-2 usai tendangan jarak jauhnya tak dapat dijangkau Nelson Dida.

Comeback dramatis Liverpool lantas kian temui puncaknya usai Xabi Alonso ikut catatkan namanya di papan skor. Pada menit ke 60, meski tendangan 12 pasnya berhasil digagalkan, pemain asal Spanyol itu berhasil menyambut bola rebound dan membuat skor jadi sama kuat 3-3.

Saat itu, pertandingan jadi kian menegangkan usai Milan tak berhenti lancarkan serangan. Mereka masih tidak percaya dengan gelontoran tiga gol yang tercipta hanya dalam waktu enam menit saja!

Meski terus lakukan gempuran, skor sama kuat bertahan hingga 90 menit lamanya.

Di babak tambahan, kedua sama-sama tak dapat mencetak gol hingga gelar juara pun harus dipastikan melalui drama adu penalti. Dalam hal ini, Liverpool jelas jadi tim yang diuntungkan. Pasalnya, semua orang yang melihat perjuangan mereka dalam menyamakan skor 3-3 saja sudah sangat luar biasa. Apalagi kalau sampai berhasil meraih gelar juara. Maka itu akan jadi malam yang sangat bersejarah.

Sementara Milan, mereka mendapat tekanan yang jauh lebih besar. Jadi tim yang diunggulkan dan sudah memimpin 3-0 di babak pertama tentu membuat semua mewajarkan bila Milan meraih gelar juara.

Akan tetapi inilah sepakbola. Drama yang tercipta masih lebih indah dari film romansa, dan adrenalin yang diciptakan masih lebih menantang dari kisah seorang pria yang akan menyatakan cinta kepada wanita idaman.

Malam itu, tepat di hadapan lebih dari 69 ribu pasang mata, Liverpool menciptakan sebuah mahakarya yang sampai saat ini belum ada tandingannya. Mereka yang tak putus asa setelah tertinggal di babak pertama, berhasil membalikkan keadaan di akhir cerita. Sebuah drama tendangan 12 pas, memunculkan nama Jerzy Dudek sebagai pahlawannya.

Kiper asal Polandia berhasil menepis tendangan Pirlo dan Andriy Shevchenko untuk memastikan kemenangan Liverpool dengan skor 3-2.

Malam Istanbul jadi milik Liverpool. Sementara Milan yang disebut memiliki tim perkasa, harus pulang dengan wajah merana. Mereka tunduk di sebuah laga yang memunculkan nama terbaik dalam sebuah tim yang gagal meraih gelar juara Eropa.

Milan tahun 2005, tak ubahnya menjadi tontonan pria dewasa yang tak sampai membuat pusaka keluarkan tembakan terbaiknya.

Saking memalukannya kekalahan yang diterima Milan, gelandang andalan mereka, Andrea Pirlo, nyaris putuskan untuk berhenti bermain sepakbola. Dia mengaku tertekan dan seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya.

Istanbul memberi kenangan yang tak akan pernah dilupakan seluruh penggemar. Terlebih dengan skuad bertabur bintang, Milan mengakhiri kompetisi akbar dengan status pecundang.

"Malam itu aku belajar kalau takdir di sepak bola sangat aneh. Ada hal-hal yang tidak bisa dilawan. Setelah pertandingan aku bahkan merasa seperti ingin berhenti dari sepak bola," ucap Pirlo.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun