Bagaimana kisahnya?
Perjalanan Leicester City Meraih Gelar Juara
Ini dimulai ketika Leicester City berhasil promosi ke Liga Primer Inggris musim 2014/15. Sebelumnya, atau ketika tampil di divisi Championship, mereka berhasil mengalahkan Sheffield United dengan skor tipis 2-1, dimana pada saat yang bersamaan, Queens Park Rangers dan Derby County yang bermain di hari berikutnya gagal memetik poin penuh. Dengan begitu, Leicester City berhasil menempati posisi pertama dan mendapatkan tiket otomatis lolos ke Premier League.
Di musim tersebut, Leicester City berhasil kumpulkan 102 poin, dengan mengungguli tim kuat seperti Burnley, Derby County, Queens Park Rangers, dan Wigan Athletic.
Namun ketika sudah resmi tampil di kasta tertinggi, bukan hal mudah bagi Leicester City untuk bisa meraih gelar juara. Jangankan jadi juara, untuk bertahan dari sentuhan api degradasi saja mereka harus berjuang sampai titik penghabisan.
Musim 2014/15, atau sekitar lebih dari sepuluh tahun Leicester City tampil di kompetisi Liga Primer Inggris untuk pertama kali, tempat ke-14 jadi posisi terakhir mereka. Dari total 38 pertandingan, hanya 11 pertandingan yang diakhiri dengan kemenangan. Sisanya, mereka harus delapan kali bermain imbang, dan menelan 19 kekalahan.
Ketika hasil yang didapat tidak sesuai harapan, maka evaluasi secara keseluruhan menjadi momok yang terbilang menakutkan. Ketika itu, langkah pertama yang diambil Leicester City adalah dengan memecat Nigel Pearson dan menggantinya dengan sosok Claudio Ranieri. Kemudian, mereka memilih untuk mempertahankan Steve Walsh sebagai kepala pemandu bakat sekaligus asisten pelatih, dimana sosok tersebut kemudian berhasil mendapatkan bakat yang amat mengagumkan dari pinggiran Prancis, bernama N'Golo Kante.
Meski berbekal pemain yang kurang populer, Claudio Ranieri tetap percaya diri. Dia yang sebelumnya sempat diragukan oleh banyak pihak, tetap memilih fokus untuk menyelesaikan tugasnya.
Diawali dengan kemenangan 4-2 melawan Sunderland, mereka mengakhiri pertandingan di bulan Agustus tanpa menelan satupun kekalahan. Berlanjut ke bulan September, Leicester City yang lebih banyak menerima hasil imbang dan menelan satu kekalahan melawan Arsenal dengan skor 2-5, harus memaksa mereka untuk duduk di tangga ke 8 klasemen sementara.
Namun pasca kekalahan melawan Arsenal, mereka berhasil meraih banyak kemenangan termasuk di laga melawan Chelsea, dan menahan duo Manchester. Hasilnya, di akhir tahun 2015, Leicester City berhasil duduk puncak klasemen dengan koleksi 38 poin, unggul dua poin dari Arsenal.
Ketika mulanya semua menganggap bahwa langkah yang ditunjukkan Leicester City hanya kejutan di awal putaran saja, keadaan berbalik mulai pekan ke 22. Mereka yang berhasil menduduki peringkat pertama usai mengalahkan Tottenham Hotspurs dengan skor tipis 1-0, sama sekali tak tersentuh di sisa pertandingan berikutnya.
Tercatat sejak pekan ke 22, Leicester City konsisten duduk di tangga tertinggi, hingga gelar juara pun menjadi sesuatu yang akhirnya diraih.
Penyerahan trofi yang dilakukan pada 7 Mei, atau tepat setelah mereka mengalahkan Everton dengan skor 3-1, menjadi sebuah momen tak terlupakan bagi semua. Seluruh pemain tertawa bahagia. Pun dengan seluruh penggemar yang tak bisa menyembunyikan kegirangannya.
Peran Pelatih dan Kombinasi Pemain Kunci
Sejak didatangkan Leicester City sebagai pelatih anyar, Claudio Ranieri banyak menerima cibiran. Salah satu pemain The Foxes, Robert Huth, bahkan menyatakan ketidaksukaannya kepada mantan pelatih Chelsea itu. Huth mengaku sudah sangat percaya dengan Nigel Pearson. Dia bahkan setuju dan siap mengikuti rencana yang disiapkan oleh pelatihnya itu. Akan tetapi, ketika Ranieri datang, Huth secara blak-blakan berkata bila Ranieri tak akan cocok melatih Leicester City.
"Seberapa hebat orang ini?" kata Huth mengomentari kedatangan Ranieri.
Namun dengan keyakinan yang sudah memuncak, Ranieri tak ragu untuk terus menerjang segala rintangan. Melalui skema 4-4-2, Ranieri mengandalkan pola serangan baik dan pertahanan yang solid. Dia tidak peduli dengan penguasaan bola, yang terpenting baginya adalah seberapa tangkas para pemainnya memanfaatkan peluang yang diciptakan. Maka wajar bila kemudian Leicester City menjadi tim yang hanya menciptakan rata-rata 42,4% penguasaan bola, terendah ketiga di musim tersebut.
Selain itu, Ranieri yang dikenal sebagai pelatih yang kerap merubah susunan tim inti, pada akhirnya menjadikan Leicester punya pemain-pemain yang selalu mendapat kesempatan. Pada musim 2015/16, Ranieri mengandalkan pemain seperti Kasper Schmeichel, Robert Huth, Wes Morgan, Christian Fuchs, Simpson, Drinkwater, Kante, Albrighton, Okazaki, Mahrez, sampai Jamie Vardy.
Susunan pemain tersebut telah tampil dalam 13 pertandingan secara bersama-sama sejak menit awal. Dengan konsistensi itu, Leicester bisa menjadi tim yang solid.
Dalam memaksimalkan bakat anak asuhnya, Ranieri berhasil menjadikan pemain seperti Kasper Schmeichel catatkan 15 clean sheet di musim tersebut. Selanjutnya, dia juga menjadikan Wes Morgan sebagai pemain outfield yang selalu tampil dalam setiap pertandingan yang dijalani tim. Dengan catatan tersebut, Wes Morgan bersanding dengan nama hebat lainnya seperti Gary Pallister (Manchester United 1992/93), John Terry (Chelsea 2014/15), Csar Azpilicueta (Chelsea 2016/17) dan Virgil van Dijk (Liverpool 2019/20).
Dengan skema yang diandalkan, pemain seperti Christian Fuchs dan Albrighton juga mampu memberi kontribusi sempurna dengan ciptakan 44 dan 68 peluang. Masing-masing juga berhasil catatkan 4 dan 6 assist.
Sementara itu dari lini tengah, N'Golo Kante dan Danny Drinkwater berhasil menciptakan kombinasi sempurna. Kante berhasil melakukan 156 intersep dan 175 takel sepanjang musim. Sementara Drinkwater yang jadi penyeimbang berhasil membuat Leicester lihai dalam melakukan ball recovery.
Dua nama hebat yang paling disorot dari keberhasilan Leicester City dalam ciptakan musim ajaib tentu Riyad Mahrez dan Jamie Vardy. Mahrez yang beroperasi di sisi kanan lapangan berhasil meraih gelar pemain terbaik liga. Dia menciptakan 17 gol dan 11 assist, yang sekaligus membuatnya terlibat dalam 28 gol yang diciptakan The Foxes.
Sementara Jamie Vardy, berhasil mencetak 24 gol dan catatkan 6 assist. Vardy bahkan berhasil ciptakan gol dalam 11 pertandingan beruntun, dimana itu kemudian memecahkan rekor yang diciptakan Ruud van Nistelrooy yang catatkan gol dalam 10 pertandingan.
Claudio Ranieri tidak hanya menerapkan taktik yang membuat seluruh pemainnya bekerja dengan baik. Di luar itu, dia juga punya satu rahasia lagi mengapa pemain Leicester City bisa sangat solid. Adalah motivasi yang berbentuk pizza. Ya, setiap kali Leicester City berhasil catatkan clean sheet, maka Ranieri akan dengan senang hati membawa pemainnya ke gerai pizza dan mempersilahkan mereka untuk memilih menu favoritnya sendiri.
Motivasi yang diberikan itu pun sekaligus menciptakan semangat tim yang berbau kekeluargaan.
"Dari semua faktor, yang paling penting adalah semangat tim,"
"Para pemain tidak berbicara tentang diri mereka sendiri. Ini adalah upaya kolektif -- 'kami punya semangat dan keinginan untuk menang.'" kata mantan bek Leicester, Matt Elliott, kepada CNN.
Mengingat memori yang diciptakan bersama Leicester City, Riyad Mahrez mengatakan bila gelar juara itu tercipta dari sebuah penolakan yang kemudian berubah menjadi kebersamaan. Artinya, Leicester City bukanlah tim yang diunggulkan. Malah, pemain-pemain yang membela klub tersebut kebanyakan hadir dengan membawa pengalaman ditolak oleh sejumlah klub, sebelum sama-sama berkumpul di King Power Stadium.
"Kami menjalani hidup dengan banyak ketidakpedulian. Kisah kami adalah yang paling mustahil untuk menjadi kenyataan,"
"Gelar ini adalah bentuk balas dendam dari orang-orang yang dicampakkan," ujar Mahrez.
Peran Teknologi di Balik Kesuksesan Leicester City
Selain peran pelatih dan kombinasi pemain kunci yang begitu luar biasa, keberhasilan Leicester City dalam melahirkan mahakarya tak terlupakan juga tercipta dari kesadaran klub terhadap pentingnya peran teknologi.
Selama bertahun-tahun lamanya, Leicester City telah menggunakan sejumlah data yang dihasilkan dari alat analisis canggih. Itu bertujuan untuk menciptakan sistem latihan yang benar, cara bermain tersusun, serta strategi yang tepat.
Menurut Chris Mann, seorang eksekutif pemasaran di Prozone Sports, Leicester City telah menggunakan produknya selama 10 dari 11 musim terakhir. Produk yang digunakan diantaranya prozone 3, yang bisa mendukung peningkatan kebugaran dan pengkondisian pemain melalui berbagai metrik fisik, seperti jarak yang ditempuh, sprint, dan lari intensitas tinggi.
Data semacam ini dapat digunakan untuk menyesuaikan regimen pelatihan pemain yang sesuai kebutuhan individu.
Buah dari digunakannya alat ini, kasus cedera yang dialami pemain jadi jauh berkurang.
Kemudian ada OptimEye S5 dari Catapult Sports, yang merupakan perangkat kecil berbasis GNSS. Teknologi ini juga memungkinkan pemain untuk mengurangi resiko cedera.
Untuk meningkatkan performa pemain, Leicester tak lupa untuk menggunakan produk berteknologi tinggi seperti Opta Pro. Laporan yang dihasilkan sebelum dan sesudah pertandingan dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi kelemahan dan meningkatkan kinerja.
Dalam hal ini, Leicester memiliki ruang analitik spesialis mereka sendiri yang terhubung langsung ke ruang ganti pemain, untuk mengakses data melalui Portal Opta Pro di babak pertama. Sebelum memasuki paruh kedua, data yang diterima dari Opta Pro seringkali menjadi kunci untuk mengubah pendekatan permainan di atas lapangan.
Di musim 2015/16, keberhasilan Leicester City dalam memenangi liga pun menjadi bukti, bahwa memanfaatkan alat untuk menganalisa data sangat penting bagi setiap klub sepakbola.